[caption id="attachment_198698" align="aligncenter" width="350" caption="ilustrasi diambil dari fineartamerica.com"][/caption]
"Ngapain kowe nangisi lonte itu? Biar...biar saja dia minggat!"
Retno menghisap rokok putihnya dalam-dalam sebelum kemudian menghembuskan asapnya perlahan. Tangan kirinya mempermainkan bungkus rokok yang tinggal separuh saja isinya. Dihentak-hentakkan pelan bungkus itu ke atas bangku kayu panjang yang didudukinya.
"Sekali lonte tetap lonte! Nggak pernah bener!"
Retno menarik tangan emaknya yang memegang sebuah tas besar. Tangisnya dikuat-kuatkan, berharap perempuan itu akan iba dan mengurungkan niatnya. Dewi, adiknya yang masih berumur satu setengah tahun, merengek dalam pelukan simbahnya. Tangan kecilnya mengapai-gapai ingin meraih emaknya. Bapaknya masih berkacak pinggang. Lelaki bertubuh tambun itu terus saja memaki. Tak peduli tangisan Retno, tak peduli rengekan bayinya.
"Jangan pergi mak, jangan tinggalkan Retno dan adek..." dalam sedunya Retno memohon.
"Maafkan emak Ret, emak harus pergi."
Perempuan yang dipanggil emak itu melepaskan genggaman Retno dari tangannya, membuat gadis kecil itu sedikit terjungkal. Menyadari apa yang dilakukannya hampir membuat anak perempuannya jatuh dia berhenti dan menatap buah hati yang dilahirkannya tujuh tahun silam itu. Kedua bola matanya berkaca-kaca. Dengan suara yang nyaris tak terdengar dia berucap pelan.
"Maafkan emak..." ucapnya sambil setengah berlari, pergi.
"Mak! Jangan tinggalkan Retno mak...Retno ikut emak!"
Retno meraung sejadi-jadinya. Dia bahkan bermaksud lari mengejar emaknya tapi tangan bapaknya keburu mencengkeram kedua lengannya.