Mohon tunggu...
Roro Asyu
Roro Asyu Mohon Tunggu... Freelancer - #IndonesiaLebihLemu

suka makan, suka nulis, suka baca, tidak suka sandal basah www.rinatrilestari.wordpress.com www.wongedansby.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Pulau Sempu, Surga Kecil di Malang Selatan

4 September 2012   23:33 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:55 21580
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_197235" align="aligncenter" width="635" caption="Segara Anakan (foto oleh Rina, dok. pribadi)"][/caption]

Ini bukan kali pertama aku ke pulau kecil yang terkenal indah ini, tepatnya ini adalah yang kedua. Pulau Sempu, sebuah pulau kecil yang terdapat di Kabupaten Malang, Jawa Timur ini bukan hanya memiliki pantai yang indah tapi juga sebuah laguna yang diberi nama Segara  Anakan. Jika sebelumnya aku hanya menyebrang ke pulau ini tanpa trekking menuju lagunanya karena sampai terlalu sore dan tak berniat kemping, maka di kesempatan yang kedua ini perjalanan pun dibuat lebih terencana.

Berangkat dari Malang kota aku dan temanku menuju Terminal Gadang dengan naik angkot. Lanjut ke Turen kami naik bus kota dan memakan waktu sekitar satu jam. Di pasar Turen kami harus menunggu angkot yang akan mengantarkan kami ke Sendang Biru penuh. Beruntung, sebuah rombongan besar, anak-anak dari Bandung rupanya berniat ke Sempu juga. Angkot pun langsung penuh sesak dengan penumpang juga barang bawaan kami. Dua orang bahkan harus naik di atas angkot karena tidak muat.

[caption id="attachment_197236" align="aligncenter" width="640" caption="Angkot mogok (foto oleh Yula, dok. pribadi)"]

1346800783574647228
1346800783574647228
[/caption]

Medan yang menanjak membuat angkot yang kelebihan muatan terseok. Bayangkan saja, dua puluh orang ditambah carrier-carrier besar dalam satu angkot mungil. Pikiranku mulai tidak enak manakala suara gas terdengar kasar dan tidak kuat. Benar saja, baru beberapa menit berjalan angkot mogok, tepat di tanjakan. Cemas tentu saja, membayangkan angkot mundur. Si kernet yang sigap langsung turun mengambil batu besar di pinggir jalan dan mengganjal ban angkot agar tidak mundur. Tak berani ambil resiko, sang sopir pun meminta sebagian dari kami pindah ke angkot lainnya.

[caption id="attachment_197237" align="aligncenter" width="640" caption="Pantai Sendang Biru (foto oleh Yula, dok. pribadi)"]

13468008481684029807
13468008481684029807
[/caption]

[caption id="attachment_197238" align="aligncenter" width="640" caption="Mulai trekking (foto oleh Yula, dok. pribadi)"]

1346800892144856729
1346800892144856729
[/caption]

Tadinya berpikir kami akan di angkot ini sampai Sendang Biru, rupanya hanya sampai melewati tanjakan saja. Selanjutnya kami kembali berjubel di angkot tadi. Kurang lebih dua jam akhirnya kami sampai di Sendang Biru. Mencari perahu adalah yang kami lakukan selanjutnya. Tak sampai limabelas menit kami sudah sampai di seberang, di Pulau Sempu. Trekking menuju Segara Anakan kami harus melewati hutan dengan pohon-pohon besar dan monyet yang bersliweran. Tak sampai dua jam kami sudah tiba.

[caption id="attachment_197239" align="aligncenter" width="426" caption="Pohon besar (foto oleh Yula, dok. pribadi)"]

1346800979274831039
1346800979274831039
[/caption]

[caption id="attachment_197240" align="aligncenter" width="640" caption="Si cantik di tengah hutan (foto oleh Yula, dok. pribadi)"]

13468010211242355975
13468010211242355975
[/caption]

[caption id="attachment_197241" align="aligncenter" width="640" caption="Tenda-tenda sudah berdiri (foto oleh Yula, dok. pribadi)"]

13468011081010336315
13468011081010336315
[/caption]

Dari cerita seorang teman kemping di tempat ini menyeramkan. Hutan lebat yang jarang terjamah dengan binatang buas juga "makhluk lain" menambah cerita tentang pulau ini. Tidak yang kami jumpai sore itu. Beberapa tenda sudah berdiri ketika aku dan temanku sampai di Segara Anakan. Beberapa orang juga asyik mengambil foto dan bermain air. Semakin sore semakin banyak yang berdatangan untuk kemping. Satu-satunya yang menyeramkan yang kami temui di sana adalah sampah-sampah yang berserakan, kotor.

[caption id="attachment_197242" align="aligncenter" width="640" caption="Pantai Pasir Panjang (foto oleh Rina, dok. pribadi)"]

13468012231604837542
13468012231604837542
[/caption]

[caption id="attachment_197243" align="aligncenter" width="426" caption="Panjat tebing (foto oleh Yula, dok. pribadi)"]

13468012862135942988
13468012862135942988
[/caption]

[caption id="attachment_197244" align="aligncenter" width="640" caption="Hampir terbenam (foto oleh Yula, dok. pribadi)"]

1346801323153510822
1346801323153510822
[/caption]

[caption id="attachment_197245" align="aligncenter" width="640" caption="Bulan malam itu (foto oleh Yula, dok. pribadi)"]

13468013741476253199
13468013741476253199
[/caption]

Tak hanya ingin di Segara Anakan, setelah mendirikan tenda aku dan temanku melanjutkan trekking mencari pantai lain. Pantai Pasir Panjang, begitu namanya. Pantainya mengingatkanku pada pantai-pantai di Gunung Kidul, Jogjakarta. Pasirnya putih, airnya terlihat hijau jernih, bertambah indah dengan langit biru serta awan putih di atasnya. Menjelang matahari terbenam, temanku mengajak naik ke tebing karang. Jangan ditiru karena selain tidak memakai pengaman masuk area ini memang dilarang, berbahaya begitu seperti tertulis di sebuah papan kayu.

Selesai menyaksikan matahari terbenam dari atas tebing kami pun kembali turun untuk menyiapkan makanan. Tenda depan yang membawa bekal cukup banyak tampak sedang membakar ikan segar. Aku dan temanku cukup mie instan saja ditambah satu dua potong roti dan teh panas. Malam ketika bulan mulai menampakkan dirinya kami memilih menggelar sleeping bag di depan laguna, mendengarkan musik dari telepon genggam serta celoteh anak-anak yang kemping.

Pagi, matahari terbit tak terlihat dari tempat kami kemping. Tenda-tenda sebelah sudah ramai. Beberapa anak tampak berenang di laguna. Air laut yang pasang masuk ke laguna lewat karang yang berlubang atau Karang Bolong membuat air yang tadinya surut melimpah. Selesai sarapan, kami pun tak sabar untuk berenang. Air yang jernih, terlihat hijau, dingin menyentuh kulit begitu kumasukkan kakiku. Ikan-ikan kecil juga besar terlihat jelas, berenang bebas bersama kami. Karena tak pandai berenang temanku menyarankanku untuk meniti karang saja. Sebagian tubuhku di air kecuali kepala dengan tangan berpegangan pada karang. Sakit karena karang yang tajam tak mengurangi semangatku menuju Karang Bolong. Apalagi ikan-ikan di bawah yang cantik mengiringi. Sungguh pengalaman yang luar biasa.

[caption id="attachment_197246" align="aligncenter" width="640" caption="Lompat (foto oleh Rina, dok. pribadi)"]

13468014471743555270
13468014471743555270
[/caption]

[caption id="attachment_197247" align="aligncenter" width="640" caption="Ikan (foto oleh Rina, dok. pribadi)"]

13468014831464601079
13468014831464601079
[/caption]

[caption id="attachment_197248" align="aligncenter" width="640" caption="Karang Bolong (foto oleh Rina, dok. pribadi)"]

13468015171683374760
13468015171683374760
[/caption]

Setelah puas bermain air aku dan temanku, juga penghuni tenda-tenda yang lain berkemas. Anak-anak Bandung yang kemarin seangkot dengan kami rupanya akan melanjutkan perjalanan ke Bromo. Karena sudah janjian dengan kernet angkot yang kemarin kami pun kembali satu angkot ketika kembali ke Malang. Mereka bahkan menyewa angkot sampai Terminal Arjosari. Kami pun berpisah di Gadang.

Untuk informasi saja, angkot di Malang (kota) rata-rata 3.000 rupiah. Dari Gadang ke Turen naik bus biaya 5.000 rupiah. Sedang dari Turen ke Sendang Biru 15.000 rupiah. Sewa perahu 100.000 PP, jangan lupa catat nomor telepon perahu yang ada di tiangnya untuk janjian dijemput. Selamat menjelajah!

[caption id="attachment_197249" align="aligncenter" width="640" caption="Segara Anakan dilihat dari tebing (foto oleh Yula, dok. pribadi)"]

13468015611879125169
13468015611879125169
[/caption]

"Kehidupan sekarang benar-benar membosankan saya. Saya merasa seperti monyet tua yang dikurung di kebun binatang dan tidak punya kerja lagi. Saya ingin merasakan kehidupan kasar dan keras ... diusap oleh angin dingin seperti pisau, atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai kecil ... orang-orang seperti kita ini tidak pantas mati di tempat tidur," - Soe Hok Gie

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun