Mohon tunggu...
Roro Asyu
Roro Asyu Mohon Tunggu... Freelancer - #IndonesiaLebihLemu

suka makan, suka nulis, suka baca, tidak suka sandal basah www.rinatrilestari.wordpress.com www.wongedansby.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Warga Negara adalah Raja, Kita Harus Dilayani

9 Desember 2011   03:01 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:39 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_147420" align="aligncenter" width="400" caption="ilustrasi diambil dari google"][/caption]

Pernah bermasalah dengan sinyal telekomunikasi anda? Jika anda berada di wilayah NKRI saya yakin jawabannya pasti pernah! Malah mungkin ada yang menjawab sambil teriak, sering! Bukan pertama kali ini saya bermasalah dengan sinyal telekomunikasi saya, sebelumnya juga sudah sering. Itu juga bukan satu-satunya keluhan saya. Dan saya yakin saya bukan satu-satunya.

"Mbok ya sabar, nanti juga normal lagi."

Menyebalkan. Ya bagi saya kata-kata yang niatnya mungkin untuk menenangkan itu menyebalkan. Seolah-olah saya tidak berhak mengeluhkan pelayanan buruk yang saya terima. Lebih menyebalkan lagi karena saya sendiri juga sering mengatakan hal yang sama, pada diri saya sendiri juga pada orang lain.

Apa benar yang mengucapkan kata-kata seperti itu orangnya lebih sabar? Lebih arif? Nrimo mungkin? Bodoh kalau kita harus nrimo dengan perlakuan tidak adil yang kita terima. Bodoh karena kita tahu betul hak kita sudah dilanggar dan kita harus diam saja, menerima sebagai nasib, suratan takdir. Apalagi ini!

"Mbayar mung limang ewu kok njaluk slamet."

Ini tidak kalah menyebalkan lagi. Kata-kata yang jika diartikan dalam Bahasa Indonesia menjadi, "Membayar hanya lima ribu saja kok minta selamat," ini sering sekali saya dengar. Sebuah bentuk kepasrahan atas kesewenang-wenangan yang kemudian mendarah daging dan sepertinya tidak pantas lagi digugat.

"Ya sudah, memang seperti itu. Mau diapakan lagi?"

Parah!

Makanan basi yang kemudian menyebabkan keracunan masal di sekolah-sekolah ketika, ironisnya, sedang menerima penambahan gizi. Jadwal transportasi yang molor. Jam karet yang bukan lagi hal baru bahkan sepertinya sudah menjadi tradisi. Penyedotan pulsa oleh provider-provider nakal yang sering mengklaim menjadi nomer satu, tercepat, terluas, terdahsyat dan ter-ter lainnya. Provider yang kemudian sering berputar-putar jawabannya ketika dimintai keterangan kenapa sinyal sering hilang, tidak bisa diakses tapi pulsa jalan terus dengan alasan semua dilakukan sesuai prosedur. Listrik byar pet bahkan pet alias tidak nyala-nyala di banyak daerah di wilayah NKRI yang sudah merdeka selama enam puluh enam tahun ini. Air tidak mengalir sudah beberapa hari.

"Perusahaan sedang merugi."

Dari mana? Kok bisa? Sedang perusahaan-perusahaan itu kita tahu pelanggannya berjuta yang masih saja setia meski ditipu berkali-kali. Jika kemudian perusahaan milik negara juga mengatakan rugi, lelucon apalagi sedang kita tahu mereka sudah memonopoli. Tidak perlu mencari pelanggan. Setiap bulan juga membayar tagihan. Telat sedikit saja diputus layanannya.

Mungkin saya tidak mengerti tetek bengek kebutuhan sebuah perusahaan. Tapi disini saya adalah konsumen yang ingin menuntut hak saya sesuai dengan apa yang sudah saya bayar. Tak mau peduli karena ketika diminta membayar mereka pun juga tidak peduli kita punya uang atau tidak. Harga sudah dibayar sesuai dengan yang ditentukan, pelayanan yang pantas tentu harus saya dapatkan. Mau murah atau mahal toh bukan saya yang menentukan tarifnya. Lagipula berani bilang sedang merugi tapi karyawannya mentereng semua, apa tidak lucu? Kalau merugi ya dipangkas dari dalam dulu dong. Keluarkan yang tidak berguna, tidak memberi manfaat untuk kemajuan perusahaan. Potong tunjangan-tunjangan tidak penting atau bonus-bonus atas prestasi karena memang tidak layak. Pelayanan masih amburadul kok sudah mengklaim berprestasi!

Tadinya saya sempat berpikir yang seperti ini hanya dialami oleh rakyat kecil, orang-orang miskin. Saya salah. Hampir semua konsumen dengan berbagai latar belakang sering mengalami ketidakadilan dalam pelayanan yang seharusnya mereka terima dengan layak. Buktinya? Coba kita tengok kasus-kasus malapraktik yang juga sering terjadi di negara tercinta kita ini. Seperti yang sempat saya lihat ketika menonton Festival Film Dokumneter beberapa hari lalu. Karena keteledoran dokter juga petugas di rumah sakit bayi kembar yang lahir prematur harus mengalami cacat di matanya, yang satunya bahkan dinyatakan buta. Rumah sakit yang memberi embel-embel internasional di belakang namanya tapi nyatanya pelayanannya sangat tidak memuaskan. Bisa dibayangkan, ah tidak perlu, pasti juga sering melihat dan mengalami buruknya pelayanan kesehatan bagi warga miskin. Warga yang sepertinya sudah tidak ada aji-nya di negeri ini.

Telekomunikasi, transportasi, listrik, air dan masih banyak lagi kebutuhan dasar manusia yang tidak bisa kita nikmati dengan layak di negeri yang katanya kaya ini. Undang-undang bukan lagi hal yang bisa menjamin hak-hak kita. Dia tidak lebih dari kertas dengan tinta hitam di atas putih yang kian hari kian pudar juga dilupakan. Orang-orang yang seharusnya menjaga, menegakkan, justru berlomba-lomba mencari keuntungan diri sendiri juga kemudian mencari keselamatan sendiri-sendiri.

Sebagai konsumen lebih-lebih sebagai warga negara hak-hak kita dilindungi, katanya oleh negara. Kita juga punya lembaga yang membantu menjaga agar hak-hak kita bisa kita peroleh dengan layak. Mesti seringnya lembaga itu tidak berdaya manakala berhadapan dengan perusahaan-perusahaan besar yang juga besar kantongnya. Saling menyalahkan, melempar tanggung jawab dari satu bagian ke bagian yang lain sudah biasa kita lihat di televisi juga kita baca di koran-koran manakala terjadi kasus atau skandal. Alam yang dikeruk, alam yang disalahkan. Uang yang dimaling, sistem yang disalahkan, sistem yang mereka buat sendiri. Ini karena A. Ini karena B. Jika C tidak begini maka tidak akan terjadi. Ini bukan tanggung jawab saya. Ini wewenang dia. Apalagi? Semua disalahkan, semua kecuali diri sendiri. Diri yang sebenarnya tahu apa tugas yang dibebankan di pundaknya ketika sebuah jabatan, posisi diterima dengan perayaan yang seringnya tidak murah.

Jika sekarang anda mendengar ada yang mengklaim berprestasi dengan mengatakan telah berhasil menurunkan angka kemiskinan atau pelayanan publik semakin baik, katakan pada saya, lelucon apa ini? Atau anda justru akan berkata pada saya dengan lembut, "Jadi orang mbok yang nrimo, yang bersyukur." Maka akan saya katakan, "Warga negara adalah raja, kita yang harus dilayani!"

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun