Mohon tunggu...
Roro Asyu
Roro Asyu Mohon Tunggu... Freelancer - #IndonesiaLebihLemu

suka makan, suka nulis, suka baca, tidak suka sandal basah www.rinatrilestari.wordpress.com www.wongedansby.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Orang-orang Terkutuk

10 Desember 2010   17:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:50 637
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
12920280481010706502

Rasa ini begitu sulit. Tak kumengerti, tak akan dimengerti. Rasa ini terasa salah, dirasa salah. Orang bilang rasa seperti ini suci. Aku percaya meski yang sering kurasa sebaliknya, aku merasa hina, bernoda. Siapa yang menjatuhkan hati? Membolak-balik hingga benci tak lebih dari rindu yang karatan?

Cinta ini terlalu rumit. Datang karena pandangan, sesaat, kemudian bercokol dan tak jua hilang. Jantungku berdebar. Tak mampu menatap matanya tapi tak juga ingin memalingkan muka darinya. Cinta ini menusuk, masuk. Tangan ini ingin merabanya, memeluk dan tak akan melepasnya. Jemari meremas dan kemudian kedua tangan saling menggenggam, menahan gejolak yang disoraki setan. Kalian bilang ini hanya nafsu semata, sementara. Ini bukan cinta, rasa ini tidak keluar dari hati. Ah, terlalu sulitkah cinta ini dimengerti?

Rasa cinta ini anugerah meski yang terasa tak lebih seperti musibah. Jatuh yang tak sakit dan tak membuat jera adalah jatuh cinta, kata siapa? Siapapun yang mengatakannya aku yakin dia tak mengalami apa yang kurasakan. Jatuh cinta itu sakit, jatuh cinta itu bukan hanya membuatku jera untuk merasakannya lagi tapi juga jera dengan hidup ini.

Apa anugerah memilih, pada satu orang dan berubah menjadi kutukan untuk orang yang lain? Kenapa hukum tak berlaku seragam? Toh yang kurasa tak kubuat-buat. Seperti kalian yang diam dan tiba-tiba terpana pada seorang makhluk, aku pun sama. Aku tak memintanya. Aku hanya berjalan dan tak sengaja menjumpainya. Bukankah yang seperti ini takdir? Takdir bagi kalian kenapa tidak juga takdir untukku?

Terkutukkah rasa ini atau terkutukkah aku? Kenapa Tuhan yang katanya sangat penyayang bisa mengutuk hamba-Nya sendiri? Atau kalian saja yang mencatut nama Tuhan sembarangan? Tak mau menjawab atau tak bisa menjawab? Ah, aku tahu. Kata itu lagi yang kalian andalkan. Pikiranku telah sesat, aku orang bejat. Tak boleh bertanya, mempertanyakan apa yang menjadi kehendak-Nya, begitukan? Aku tak akan mampu, tak ada seorangpun yang mampu, itu lagi alasanmu. Alasan yang manis, seperti anak kecil yang terus saja dibungkam dengan  segenggam permen dan coklat.

Aku sesat karena menggugat? Jangan terburu-buru, aku hanya bertanya. Kenapa rasa ini tak kalian lihat sama? Sedang aku dan kalian tak ada beda. Aku hanya orang bodoh yang terlalu muluk untuk menjadi pintar. Hanya tak ingin kebodohan ini terus melekat. Jika pun kalian pikir aku tersesat, tunjukkan padaku. Jangan hanya berteriak dan memakiku, "terkutuklah kamu!"

Lagi-lagi rasa ini semakin sulit. Tak boleh dipertanyakan, tak juga bisa diterima. Semakin cinta ini mencekikku, bukan karena tak mau tapi semua jari telah menunjuk padaku. Tinggalkan aku, kalian semua. Bumi ini begitu luas, banyak yang bisa kalian urusi. Tak mau? Membiarkan yang terkutuk sepertiku akan membuat kalian dikutuk? Baiklah, aku pergi. Bukan tak ingin berjuang tapi bicara dengan kalian tak akan kudapatkan jawaban.

Cinta ini semakin tidak mungkin. Cinta tidak untuk orang dengan label terkutuk sepertiku. Hidup ini tak lagi kumiliki, hanya sebatas ruang di antara terali besi. Bumi ini terlalu suci untuk diinjak manusia yang pantas dibakar di neraka jika nanti mati ini. Biar, biar saja. Kan kutanyakan pada Tuhan kenapa mau-maunya menciptakan manusia terkutuk sepertiku.

[caption id="attachment_79416" align="aligncenter" width="300" caption="gambar diambil daro google"][/caption]

Sebelum aku pergi ada satu yang ingin kukatakan pada kalian, aku yakin kalian sudah menunggu. Manusia seperti kalian pasti suka yang seperti ini, untuk disebarkan, dibahas di warung-warung kopi juga emperan. Berita yang kemudian berubah menjadi gosip murahan. Ya, mulut kalian memang suka barang murahan. Atau perlu kubilang mulut kalian murahan? Hahaha, tidak perlu kurasa, kalian harusnya sudah sadar.

Beni, Doni, Hendra dan entah siapa lagi namanya aku sudah lupa. Mereka juga orang-orang terkutuk, sama sepertiku. Apa aku sedang membela diriku? Tidak, sebaliknya aku membela mereka, aku juga membela kalian. Orang-orang terkutuk seperti kami lebih pantas mati, bukankah begitu? Jadi kubela kalian, kubantu kalian dengan segera mengirim mereka menghadap Tuhan. Biar, biar mereka bertanya langsung pada Tuhan. Salahkah mereka dilahirkan? Sesatkah rasa yang mereka damba? Terkutukkah cinta mereka? Laknatkah hidup mereka? Banyak sekali pertanyaan yang harus dijawab dan biar Tuhan saja yang menjawabnya.

Terkutuklah rasa ini. Terkutuklah cinta ini. Terkutuklah hidupku ini. Sudah kurasakan, sudah kutanggung. Saat ini mereka mungkin tertawa, menertawaiku juga kalian. Menertawai manusia-manusia bejat yang lupa jidat. Sudah kubunuh mereka. Andai kalian tahu wajah mereka sebelum ajal menjemput. Mereka takut, mungkin mereka malu, malu pada Tuhan mereka sendiri. Itu karena kalian selalu teriak di telinga mereka kalau Tuhan pasti mengutuk orang-orang seperti mereka. Itu...itu yang membuat mereka takut bertemu Tuhan mereka.

Tapi sudahlah, tak penting lagi. Toh sekarang mereka sudah mati. Sebentar lagi giliranku. Tak sabar rasanya bertemu Tuhan dan menanyakan semua pertanyaan itu. Bakar, pancung atau tembak aku, terserah. Tak ada bedanya bagiku. Abu tetap akan (kembali) menjadi abu. Dan raga yang kalian sebut terkutuk ini akan membusuk, sama seperti raga kalian nanti ketika tanah menguburnya. Tulang yang digilai para laki-laki gemulai ini akan hancur, sama seperti leburnya tulang kalian ketika nanti bumi menghimpit jasad kalian.

Hukuman mati? Apanya yang menakutkan? Rasa ini, cinta ini jauh menakutkan. Hidup ini lebih menyeramkan. Ketika aku harus tertawa dan menangis di saat yang sama. Ketika  aku terluka dan kalian justru tertawa. Ketika aku mencinta dan kalian berseru dengan lantangnya, "laknat Tuhan atas kaummu!" Laknatlah rasa ini, laknatlah hidup ini, laknatlah aku. Laknatlah jika itu membuat kalian merasa lebih baik dari kami. Karena sebentar lagi aku akan tertawa, menertawai kalian, mungkin, menertawai diriku sendiri.

Tak perlu kutulis namaku. Aku yakin kalian sudah tahu. Baca saja di koran, tabloid-tabloid gosip atau televisi, yang manapun, pasti mereka akan ramai membahasku. Hahaha...gampang sekali untuk jadi orang terkenal sekarang ini. Seminggu, sebulan atau setahun? Ah, nggak usah lama-lama. Aku tahu kalian para pelupa. Membayangkan saja aku ingin tertawa. Membayangkan kalian akan bilang pada anak-anak kalian di meja makan, "Jangan seperti dia, dia itu orang terkutuk, laknat!" Lucu sekali, seolah kalian lupa apa yang kalian jejalkan ke mulut mereka setiap hari. Makanan seperti itu tak akan menjadi daging. Makanan seperti itu hanya akan membusuk, mengutuk hidup mereka. Sekali lagi aku jadi ingin tertawa. Hahahahaha.....

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun