Mohon tunggu...
Roro Asyu
Roro Asyu Mohon Tunggu... Freelancer - #IndonesiaLebihLemu

suka makan, suka nulis, suka baca, tidak suka sandal basah www.rinatrilestari.wordpress.com www.wongedansby.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Diary Seorang Kupu-Kupu Malam

22 September 2010   04:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:04 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kuhempaskan tubuhku ke atas kasur. Kasur? Jika yang seperti ini masih bisa disebut kasur. Capek sekali. Kucoba memejamkan mataku tapi entah kenapa mata ini sepertinya sedang tidak bersahabat. Hari ini memang sial sekali. Hampir semalam suntuk aku memasang umpan tapi tak seorangpun yang tertarik memakannya.  Kuambil tasku dan mengeluarkan isinya. Lipstik, sisir, bedak, sebungkus rokok, dompet yang entah tinggal berapa ribu isinya, tak ketinggalan kondom sisa pembagian dari seorang pekerja dari lembaga sosial yang sering sekali datang ke tempatku bekerja, langsung berhamburan. Kuambil tempat bedakku, sejenak kuamati bayangan yang muncul di cerminnya. Lesu. Kubanting benda yang selalu menemaniku pergi itu tanpa menutupnya.

[caption id="attachment_265377" align="aligncenter" width="200" caption="gambar diambil dari google"][/caption]

Anganku mulai melayang ke masa lalu. Masa yang tak mungkin kulupa, masa yang merubah hidupku seratus delapan puluh derajat. Aku yang dulu seorang gadis yang hampir mempunyai segalanya, cantik, kaya, digilai banyak laki-laki tapi sekarang? Aku tak pernah menyangka hidup yang begitu sempurna akan hancur tak tersisa.  Kuambil sebatang rokok lalu menyalakannya. Saat seperti ini rokok adalah benda yang paling kuinginkan. Kepulan asap mulai memenuhi kamarku, membuatnya tambah pengap.

"Uhuk..uhuk," aku mulai terbatuk. "Jangkrik!"

Melihatku saat ini pasti membuatmu mual. Make up tebal yang mulai luntur karena murahan, rambut panjang dengan cat merah menyala yang sudah acak-acakan, perut yang tidak bisa dibilang langsing dalam balutan kaos dan celana super ketat. Belum lagi wajah yang meski masih menyisakan gurat-gurat kecantikan tapi mulai lapuk dimakan usia. Semua ini karena laki-laki sialan itu.

Sekali lagi, "Jangkrik!"

Mengingatnya membuatku pingin muntah, muak. Kalau saja, ya kalau saja saat itu aku tidak tergoda rayuannya pasti aku tidak akan seperti ini. Saat ini aku pasti sudah punya dua atau tiga anak, suami yang sabar dan penyayang, rumah yang dipenuhi bunga dan tentunya sudah menikah. Tapi lihat keadaanku sekarang. Aku tidak lebih dari seorang perempuan kisut dalam sebuah kamar yang mungkin lebih tepat disebut gubuk, yang hari-harinya hanya ditemani kepulan rokok dan malamnya dihabiskan di pinggir jalan, menunggu laki-laki yang butuh kehangatan.

Laki-laki itu. Laki-laki sialan itu. Tidak, aku tidak akan menyebutkan namanya. Najis. Dua puluh tahun lalu dia datang dengan sejuta rayuan. Jalan-jalan, makan di warung sambil cekikikan karena harus kuakui dia memang pintar membuatku tertawa atau bahkan hanya duduk sambil ngobrol, hampir tiap hari itulah yang kami lakukan. Dia tidak tampan tapi perhatiannya, kata-kata manisnya telah menyeretku untuk menikmati sesuatu yang belum waktunya kurasakan.

Dia meninggalkanku ketika aku bilang aku telat dua bulan. Jangkrik. Karena malu orang tuaku yang memang terpandang memaksaku menggugurkan kandungan, kesalahan terbesar kedua dalam hidupku. Dan ternyata aku memang tidak pintar mengambil pelajaran. Hal yang sama berulang beberapa kali. Aku jatuh dari laki-laki satu ke lainnya. Bagiku semua itu hanya pelampiasan, hanya permainan, ya hidupku adalah sebuah permainan. Keluarga mengusirku. Aku yang sudah rapuh semakin terpuruk dan akhirnya membuatku jatuh ke lembah nista ini. Aku sudah tidak peduli. Aku dendam.

Dan disinilah aku. Hidup semakin sulit untuk perempuan malam seusiaku. Saingan yang semakin banyak, muda, cantik dan singset. Malam seperti ini, ketika aku harus pulang tanpa sepeserpun sudah biasa kualami. Nasib. Kulihat dinding kamarku yang hanya terbuat dari kardus. Secarik kertas lusuh tampak menempel di dinding yang penuh dengan gambar-gambar artis yang kuambil dari kalender. Coretan itu masih tampak jelas.

Dalam gelap ketika sebagian manusia mulai terlelap dibuai mimpi. Seorang perempuan yang sudah tidak bisa dibilang muda lagi justru sedang memulai harinya. Perempuan yang capek menjadi perempuan. Perempuan yang mengutuk kelaminnya. Baginya hidup tak lain adalah siksaan. Baginya hidup hanyalah penantian semu menuju dunia yang lebih kekal, lebih bebas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun