"Liat Selly nggak?" tanyanya begitu sadar Selly sudah tidak terlihat.
"Kayaknya pulang tuh. Tadi aku liat dia jalan keluar kampus."
Tak ingin membuang waktu Dimas langsung berlari. Tak lama dia melihat Selly sedang berjalan sendirian, pulang. Jalanan begitu padat siang ini. Hampir saja Selly berteriak ketika tiba-tiba seseorang meraih tangannya. Tapi kemudian dia diam. Dimas mengangkat satu tangannya, memberi tanda agar kendaraan yang lewat memberi kesempatan untuk menyeberang.
Kalau kamu bisa semanis ini kan enak. Aku tahu sebenarnya kamu baik tapi tingkahmu sering menyebalkan. Â Gondrong itu kan buat cowok. Cewek seperti aku kan biasa berambut panjang, nggak berarti gondrong kan? Tahu gini dari dulu-dulu aja aku ngambek. Selly tertawa dalam hati. Jalan raya dua jalur yang tidak lebih dari sepuluh meter itu terasa begitu panjang, sepanjang lamunannya. Tak terasa bibirnya mulai menggumbar senyum.
"Sudah sampai," kata Dimas.
Selly masih tersenyum. Dimas memandangi gadis di sampingnya itu.
"Mau sampai kapan gandengan tangan?"
Selly tersentak. Buru-buru dilepaskannya tangan Dimas. Wajahnya langsung memerah. Tak ingin terus malu dia pun segera membalikkan badan dan mulai berjalan. Dalam hati dia memaki kebodohannya tapi rasa senangnya tak bisa dihentikan begitu saja. Sekarang dia bebas tersenyum karena Dimas tak melihatnya. Trimakasih Mas, kamu manis sekali hari ini, katanya dalam hati.
"Eh ndrong, ntar malem aku ke kos. Kamu nggak keluar kan?"
Seolah musim yang harus berganti, meski Selly tak mengira akan secepat ini, lamunan indahnya langsung gugur. Dihentikan langkahnya.
"Ndrong?"