Mohon tunggu...
Roro Asyu
Roro Asyu Mohon Tunggu... Freelancer - #IndonesiaLebihLemu

suka makan, suka nulis, suka baca, tidak suka sandal basah www.rinatrilestari.wordpress.com www.wongedansby.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Mat Lontong Serial Arek Penceng, Episode Sarung Mlorot

18 Agustus 2010   00:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:56 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

"Yok opo Min?"

"Sip bang, jo kuatir. Kene ngko ngetem disik nang pos, lek areke lewat ngko dibarengi."

"Pasti budhal tha areke?"

"Jelas bang, Noer iku lak rajin areke. Wes sampeyan tenang ae."

Mintho terus menyakinkan Mat Lontong sahabatnya. Besok puasa akan dimulai dan seperti tahun-tahun sebelumnya warga akan berbondong-bondong ke mushola untuk sholat tarawih, termasuk Noer. Sudah satu bulan lebih sejak Mat Lontong resmi berpacaran dengan Noer tapi hubungan mereka berdua tak juga menunjukkan perubahan. Hanya status yang saat ini Mat Lontong miliki, itupun harus disembunyikan.

"Yo wes lek ngono aku tak mulih disik. Siap-siap Min, ojo sampek telat. Bar magrib tak enteni nang pos," kata Mat.

"Oke thok pokoke," jawab Mintho sambil menunjukkan jempolnya.

Mat Lontong pun bergegas pulang. Dia ingin mempersiapkan diri agar bisa tampil maksimal di depan pujaan hatinya. Noer harus melihatnya, dia harus tahu kalau kekasihnya itu bukan hanya pintar menyanyi tapi juga rajin beribadah. Mat ingin Noer tahu kalau dia tidak salah memilih kekasih. Dia adalah laki-laki berkualitas yang layak diperhitungkan, bukan diabaiakan seperti saat ini.

"Mak, sarungku sing anyar wingi nang ndi?"

"Nang lemari," sahut emaknya dari dapur.

"Lemariku opo lemarine sampeyan?"

"Yo nang lemarimu, lapo nang lemariku."

"Ora ono mak," keluh Mat sambil terus mengaduk-aduk isi lemarinya.

"Digoleki dishik. Wong wingi aku sing ndekek kono kok."

"Wes tak goleki mak tapi ora ono."

Emak yang kesal karena mendengar keluhan anaknya itu pun lalu bergegas. Dilihatnya Mat yang cemberut karena belum juga menemukan sarung baru yang dibelikannya kemarin di pasar, khusus untuk menyambut bulan puasa.

"Byuh...byuh, thok apakno ae iki klambimu sampek koyok kapal pecah ngene?"

"Lha aku kesel'e mak ora nemu-nemu."

"Matane lek golek-golek iku digawe, ojo merem ae. Sarung sak mene gedine ora kethok," kata emak sambil melemparkan sarung yang terselip di antara baju-baju Mat yang berantakan.

"Lah mau ora ono ki mak."

"Yo matamu iku sing siwer. Kate nang ndi kon yah mene nggoleki sarung?"

"Traweh lah, nang ndi maneh."

"Sejak kapan kon traweh? Solat ae ora tau."

"Yo mulai ngko bengi tho mak, wong posone sesuk. Ojo ngono tha mak iki yo usaha, sampeyan opo ora seneng lek anakmu sregep nang langgar?"

"Paling awakmu kate njaraki arek-arek wedhok tho? Dapurmu ae lho," cibir emaknya sambil berlalu.

"Suudon sampeyan iku mak, ora apik."

"Suud sopo?" tanya emak yang tak begitu jelas mendengar suara Mat.

"Mbuh!" jawab Mat kesal.

Seperti yang sudah dia rencanakan bersama Mintho, selepas magrib Mat pun bersiap-siap menuju pos untuk menunggu Noer lewat. Sampai di pos, Mat disambut oleh Mintho yang ternyata sudah siap dengan sarung dan pecinya.

"Wah, sampeyan kethok ganteng bang," puji Mintho.

"Jelas. Yok opo sip kan penampilanku iki?"

"Iyo bang, sip tenan sampeyan. Sarunge yo sek mambu toko."

"Sik anyar iki, ditukokno mak nang pasar wingi. Yok opo Noer wes siap tha?"

"Aku mau lewat omahe, durung siap-siap sih tapi pasti budhal lah bang."

"Ora tok takoni mau?"

Mintho menggeleng lemah, "Ora wani bang, ngko bengak-bengok areke. Dienteni ae lah, diluk engkas lak lewat areke."

Jadilah Mat Lontong dan Mintho menunggu Noer di pos tongkrongan mereka. Seperti juga jika ingin ke sekolah, Noer dan warga lain harus melewati pos atau tepatnya gubuk di pinggir sawah itu untuk bisa sampai ke mushola desa. Setengah jam kemudian segerombolan orang tampak dari kejauhan.

"Iku bang, wong-wong wes mulai budhal," kata Mintho.

"Iyo."

Tak jelas wajah mereka, hanya cahaya dari obor yang mereka bawa yang terlihat oleh Mat dan Mintho. Tapi semakin dekat mereka mulai bisa mengenali gerombolan itu yang ternyata hanya sekumpulan anak-anak kecil.

"Ayo lek, budhal," kata salah satu dari mereka begitu melewati Mat dan Mintho.

"Lek..lek gundulmu ambleg. Arek gak duwe dugo," kata Mintho kesal.

Anak-anak yang melihat Mintho kesal bukannya takut malah tertawa-tawa. Tapi karena Mintho menghardik akhirnya mereka pun lari tunggang langgang dengan tetap tertawa.

"Arek-arek edan!" kata Mintho kesal.

"Wes, ojo diurusi arek-arek cilik iku. Suwine Noer iki."

"Iyo bang. Eh, iku bang ono sing kate lewat maneh."

Dan benar juga dari kejauhan cahaya obor terlihat lagi. Kali ini lebih banyak. Jantung Mat berdebar-debar, tidak salah pasti Noer ada di antara rombongan itu. Hatinya tidak pernah salah, begitu batinnya.

"Bang, Noer," bisik Mintho.

"Hooh, aku wes ngerti."

Beberapa orang tua dan anak kecil lewat di hadapan Mat dan Mintho, mereka masih tak bergerak tapi begitu melihat Noer semakin dekat Mat pun langsung bersiap-siap.

"Assalamualaikum Noer," sapa Mat.

"Kumsalam," sahut Noer asal-asalan.

Meski tidak mendapat sambutan yang hangat tapi Mat tak bisa menyembunyikan kebahagiannya. Asal dijawab saja sudah cukup baginya. Meski tanpa senyum, bahkan dengan bibir yang manyun pun dia terima. Cinta memang gila.

"Ayo Min," ajak Mat.

Sampai di mushola orang-orang sudah ramai, terutama anak-anak kecil. Bukannya duduk tenang atau mengaji mereka malah berlarian, bermain. Anak-anak dimana-mana sama saja, bertemu teman dan langsung menemukan permainan yang mengasyikkan.

"Ojo rame!" kata Mat pada anak-anak itu.

Noer yang mendengar suara Mat yang lumayan keras ikut menoleh, sejenak. Mat pun langsung melempar senyum termanisnya. Dalam hati dia senang sekali karena telah berhasil mendapatkan perhatian dari kekasihnya.

"Ayo ndang mlebu, ngaji. Nang langgar kok playon," katanya lagi.

Mintho yang tadi diam kemudian ikut-ikut menertibkan anak-anak itu. Meski tak rela dan sedikit mengomel anak-anak itu pun menurut. Perlahan mereka masuk ke mushola lalu duduk berjajar rapi di belakang. Di antara mereka bahkan ada yang berbisik-bisik. Barisan jemaah sudah di bagi antara yang perempuan dan laki-laki. Jemaah laki-laki di sisi kanan dan yang perempuan di kiri dengan dipisahkan sebuah kelambu sebatas dada orang dewasa. Hal seperti ini yang sering dimanfaatkan anak-anak muda untuk saling melirik incarannya.

Tak ingin kehilangan momen, Mintho pun mengambil posisi yang strategis. Tepat di sebelah kelambu yang berbatasan dengan jemaah perempuan dia berdiri. Di sampingnya Mat dan jemaah lainnya yang muda-muda. Di belakang mereka anak-anak kecil yang tadi ramai bermain. Sholat sudah dimulai, semua kusyuk mengikuti imam. Sesekali terdengar suara cekikikan dari arah belakang tapi begitu jeda sholat kembali Mat dan Mintho memperingatkan mereka.

Sholat tarawih sudah hampir separuh, masih dengan semangat yang sama Mat terlihat kusyuk. Dalam hatinya saat ini Noer pasti sedang mempertimbangkan dirinya. Mat baru saja bangun dari rukuk ketika tiba-tiba sesuatu yang tak terduga terjadi. Sarung barunya yang tadi bertengger dengan manis di pinggangnya tiba-tiba melorot. Kontan saja hal itu mengundang tawa anak-anak kecil yang ada di belakangnya. Tak bisa ditahan mereka bahkan tergelak seolah lupa kalau sedang sholat.

"Ha..ha...ha, sarunge mlorot!"

"Sempake coklat!" teriak yang lainnya.

Dengan sigap dan tentu sambil menahan malu Mat membetulkan sarungnya dan kemudian kembali mengikuti imam meski konsentrasinya sudah hilang. Hatinya kesal bukan main, apalagi anak-anak kecil di belakangnya masih saja tertawa-tawa. Ingin rasanya Mat pergi dari mushola tapi itu akan merusak apa yang sudah dia perlihatkan pada Noer tadi. Begitu sholat selesai para jemaah pun bertanya-tanya apa yang membuat anak-anak kecil itu berisik dan tentu saja sambil memperingatkan mereka dan begitu mereka tahu apa yang terjadi tak urung mereka pun ikut tertawa meski ditahan, sebagian senyum-senyum saja sambil geleng-geleng kepala.

***

episode lainnya bisa dibaca di http://www.wongedansby.wordpress.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun