“Kok lele mas?”
Wajah Yuli berubah masam begitu membuka bungkusan nasi yang baru dibawakan suaminya. Toni mengelap keringat yang bercucuran di wajahnya dengan handuk kecil yang melingkar di lehernya. Tangan hitamnya meraih gelas kopi dan segera meneguknya.
“Lagi sepi dek, nggak ada yang ngangsur. Ibu-ibu pada ribut buat bayar sekolah anaknya.”
“Ya nggak bisa ngono tho mas, kita kan juga butuh duit.”
“Mau gimana lagi dek, wong ya memang belum ada. Dimakan yang ada dulu nanti keburu dingin.”
Setelah menghabiskan kopinya Toni langsung menuju kamar mandi. Yuli memandangi punggung laki-laki yang menikahinya dua tahun lalu itu. Pernikahan yang cukup sulit. Orang tua Yuli, terutama emaknya, tidak merestui pernikahan mereka. Yuli yang kala itu baru setahun kerja di Surabaya memutuskan menikah dengan Toni yang dikenalnya di stasiun kereta api Wonokromo. Waktu itu Yuli sedang menunggu Kereta Api Rapih Dhoho yang akan membawanya pulang ke Kediri, kampung halamannya, ketika tiba-tiba seorang laki-laki yang duduk di sampingnya mengajak bicara.
Toni bilang kalau dia hendak pergi ke Kertosono karena pamannya yang tinggal disana meninggal dunia akibat kecelakaan. Pembicaraan sempat terhenti karena kereta yang ditunggu sudah datang tapi kemudian berlanjut karena ternyata mereka naik kereta yang sama. Pertemuan yang kemudian berlanjut karena setelah perkenalan itu Toni sering datang ke kosan Yuli.
Pekerjaan Toni yang hanya kernet bis kota dijadikan alasan emak Yuli untuk menolak lamarannya.
“Mau dikasih makan apa kamu?”
“Rejeki sudah ada yang ngatur mak. Yang penting kan mas Toni kerja, tanggung jawab.”
“Kerja apa, wong jadi kernet gitu? Bisa-bisa awakmu sing cari duit terus.”
“Kerja apapun yang penting halal mak, ora nyolong. Pokoknya aku mau nikah sama mas Toni, titik.”
“Wes sak karepmu, aku wes ngandani. Kalo ada apa-apa yo tanggungen dewe.”
Yuli menghela nafasnya, teringat kembali pertengkarannya dengan emak. Dipandanginya kembali sebungkus nasi pecel lele yang belum disentuhnya. Karena ingin mendapat penghasilan yang lebih enam bulan setelah menikah Toni memutuskan berhenti menjadi kernet bis dan memilih menjajakan alat-alat rumah tangga keliling kampung. Sebagian dijual kontan tapi banyak juga yang memilih mencicil alias kredit. Yuli sendiri sudah tidak bekerja sejak setahun yang lalu karena di-PHK. Pabrik tempatnya bekerja bangkrut karena kebakaran.
“Nanti lek ada rejeki pasti tak beliin dek. Sekarang makan itu dulu. Lele itu juga banyak gizinya lho,” teriak Toni dari kamar mandi.
Rupanya dia tahu istrinya kecewa karena tidak mendapat makanan seperti yang diinginkannya. Yuli yang sedang hamil muda dari semalam sudah mengingatkan suaminya itu untuk membelikan kepala ikan. Yuli memang belum tahu rasanya. Kemarin ketika lewat di depan warung nasi padang dia melihat kepala ikan besar yang di pajang di depan warung dan dia ingin sekali merasakannya.
“Mas, besok liat pasar malem yuk,” ajak Yuli begitu suaminya keluar dari kamar mandi.
“Mau beli apa?”
Yuli memandangi suaminya. Meskipun dia ingin membeli sesuatu dia sadar ini bukan saat yang tepat, dia tahu suaminya sedang tidak punya uang.
“Jalan-jalan ae. Nggak beli apa-apa.”
Toni menarik kursi dan duduk di depan istrinya itu. Dipandangi perempuan di depannya itu. Ada rasa sakit yang tiba-tiba menjalar di dadanya. Dia masih begitu muda. Toni menangguk pelan. Anggukan yang langsung disambut dengan senyum yang mengembang dari bibir Yuli, istrinya.
“Ayo cepat dihabiskan.”
“Mas sudah makan?”
“Sudah.”
Tidak seperti tadi, Yuli langsung melahap nasinya penuh semangat. Keringat mulai bercucuran dari keningnya. Toni tersenyum melihat istri yang akan segera memberinya anak itu tampak bahagia. Kebahagiaan yang bercampur dengan kegetiran. Sebuah kekhawatiran yang melintas langsung ditepisnya. Pasti bisa. Tangan kanan Toni meraih kepala Yuli, mengusap pelan rambutnya.
“Itu siapa mak?”
“Yo iku bojone Andik.”
“Anak mana mak?”
“Itu kan anaknya Pak Pardi, tukang gawe sumur. Pangling yo? Coba kamu dulu mau nikah sama Andik pasti ya bisa kayak gitu. Kalungnya itu baru beli di pasar kemarin. Gelange loro.”
Yuli hanya diam saja mendengar cerita emaknya. Sudah dua hari ini dia pulang ke Kediri. Dia kangen masakan emaknya. Toni tidak bisa ikut karena harus kerja, cari duit.
“Wes suwi tho nang omah Yul?”
“Dua hari ini Mar.”
“Suamimu kerja apa sekarang? Denger-denger jadi tukang kredit keliling ya?”
Pagi itu ketika Yuli ikut emaknya ke pasar dia bertemu dengan Marni, istri Andik, laki-laki yang dulu menaruh hati padanya. Marni sendiri masih sering cemburu jika melihat Yuli. Dia berpikiran suaminya itu masih menyimpan perasaan pada Yuli meski dua-duanya sudah menikah.
“Kemayu. Kamu nggak kalah ayu dibanding dia Yul. Cuma bedanya dia pake perhiasan ae,” kata emak begitu mereka sampai di rumah.
“Biarin aja mak.”
“Kamu nggak liat tho tadi? Dia itu sengaja mamer-mamerin perhiasane ke kamu. Biar kamu iri. Pasti dia itu sik cemburu sama kamu. Andik iku kan naksir berat sama kamu. Untung dia nggak nekad dulu pas dia tahu kamu mau nikah sama bojomu itu.”
“Wes tho mak, sudah.”
Sudah tiga hari sejak kepulangannya dari Kediri, Yuli sering terlihat murung. Toni yang tadinya diam karena berpikir mungkin istrinya masih ingin di rumah mulai bertanya-tanya.
“Ada apa tho dek?”
“Ndak ada apa-apa.”
“Ndak ada apa-apa kok diem terus. Kalo ada masalah ya ngomong tho, jangan diam gitu mas kan nggak tahu.”
Yuli menarik selimutnya. Bicara baginya saat ini juga tidak ada gunanya. Dia tahu suaminya tidak akan mengerti apa yang dirasakannya. Yuli membalik tubuhnya, membelakangi suaminya.
“Masih pingin kepala ikan tho?”
Yuli menggeleng.
“Trus apa? Kalo kamu diem terus begini mas kan jadi bingung.”
“Mas mana bisa ngerti.”
“Kalo kamu nggak bilang ya mas nggak ngerti. Makanya kamu bilang aja.”
Yuli membalik kembali badannya. Kali ini dia menatap lurus ke langit-langit kamarnya yang sempit. Sedang Toni yang berbaring di sampingnya menunggu. Dia ingin tahu apa yang membuat istrinya selalu murung akhir-akhir ini.
“Kamu sedang hamil dek, nggak boleh sedih. Kasian anak kita, nanti dia ikut-ikutan sedih.”
Yuli menarik nafasnya. Perlahan dia mulai menceritakan kejadian di rumahnya ketika dia pulang kampung kemarin, tentang emaknya, tentang Marni, semuanya. Toni mendengarkan dengan seksama cerita istrinya itu. Hatinya sedikit lega, setidaknya dia tahu apa yang telah membuat istrinya sedih.
“Kamu pingin gelang?”
“Mas mau membelikan?”
“Ya mau tho. Besok kalo uang kreditannya sudah dikasih langsung tak belikan.”
“Bener mas?”
Toni mengangguk. Senyum tipisnya mengembang, terlihat manis meski tak seperti rasanya yang saat ini begitu getir di bibir Toni.
“Mau yang berapa gram?”
“Terserah mas,” kata Yuli sambil mengumbar senyum.
Dia tidak menyangka suaminya akan menyanggupi permintaannya. Tadinya dia hanya ingin cerita karena meminta baginya terlalu mustahil untuk saat ini. Toni mengenggam jemari istrinya itu. Saat ini pandangan mereka berdua seolah tak terhalangi langit-langit kamar yang kadang meneteskan air ketika hujan datang. Mereka melihat langit yang bertabur ribuan bintang.
“Kamu senang?”
“Iya.”
Malam itu, setelah sekian lama, Yuli bisa merasakan kembali mimpi indah. Senyumnya yang masih terus mengembang terbawa ke alam mimpi. Toni memandangi wajah istrinya yang sudah lelap itu. Semua akan kupertaruhkan demi senyum itu, katanya dalam hati.
Yuli baru saja menyelesaikan cuciannya ketika dia mendengar seseorang berteriak di depan pintu. Tangannya yang masih basah diusapkan ke roknya. Dengan tergopoh-gopoh dia menuju ke pintu depan.
“Yul!Yuli!”
“Mas Tarno, ada apa mas?”
Tarno, tetangga sekaligus teman suaminya tampak terengah-engah. Keringatnya mengucur deras, membasahi wajah juga sekujur tubuhnya. Rupanya dia baru saja berlari.
“Masuk dulu mas. Ada apa tho kok sampai kayak gitu?”
Tarno menarik nafas panjang, mencoba mengatur kembali ritmenya. Aku harus tenang, pikirnya.
“Suamimu Yul…Toni…” Tarno tidak melanjutkan kata-katanya.
“Mas Toni kenapa Mas?”
Tiba-tiba saja kaki Yuli bergetar.
“Toni kecelakaan.”
Tubuh Yuli langsung lemas. Tangannya mencoba meraih pintu, mencari pegangan. Tarno meraihnya, membimbing perempuan muda itu ke kursi.
“Yang sabar Yul.”
Yuli sudah tidak ingat apa-apa. Dia baru sadar ketika tetangganya sudah berkumpul di kamarnya, di rumahnya. Sekilas dia teringat mimpinya semalam, sebuah gelang emas yang sangat indah melingkar di pergelangan tangannya.
“Mas Toniii!”
***
ngono : begitu
awakmu : kamu
ora nyolong : tidak mencuri
wes sak karepmu, aku wes ngandani : terserah kamu, aku sudah bilang
tanggungen dewe : tanggung sendiri
yo iku bojone : ya itu istrinya/suaminya
gelange loro : gelangnya dua
wes suwi tho nang omah Yul? : sudah lama ya di rumah?
kemayu : sok cantik
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H