Mohon tunggu...
Roro Asyu
Roro Asyu Mohon Tunggu... Freelancer - #IndonesiaLebihLemu

suka makan, suka nulis, suka baca, tidak suka sandal basah www.rinatrilestari.wordpress.com www.wongedansby.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Merah

14 Juli 2010   02:54 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:53 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

“Trus bapak maunya gimana?”
Suara Mirna terdengar lantang, menantang. Membuat bapaknya yang emosi kehilangan kendali.
Plak!
Sebuah tamparan yang cukup keras mengenai pipi kirinya. Bukan hanya membuat pipinya merah tapi juga membuat keduanya matanya panas. Air matanya menetes tak tertahankan.
“Sudah berani kamu mbentak-mbentak bapakmu. Sudah bisa mencukupi hidupmu sendiri trus kamu seenaknya sama bapakmu. Anak tidak tahu trimakasih!”
Ibu yang hanya bisa melihat suami dan anaknya bertengkar dari atas ranjang tak bisa berbuat apa-apa. Belum juga suaranya mampu mencegah, mencoba menghentikan anak dan bapak yang sedang saling menyakiti itu batuk sudah menerjangnya. Nafasnya tersenggal, tangannya mengapai. Tak ada yang peduli.
Mata Mirna nyalang menatap bapaknya. Dia sudah tidak peduli meski jika bapaknya itu membunuhnya. Baginya sosok laki-laki yang saat ini tegak dengan keangkuhannya itu sudah lama mati. Seperti hatinya yang juga sudah tak menyisakan lagi ruang untuk bapaknya itu. Dadanya naik turun menahan gejolak amarah yang sudah begitu sesak, ingin meledak.
“Bapak tidak peduli. Kamu harus menikah dengan Anton, titik!”
“Kenapa tidak bapak saja yang menikahinya? Bukankah bapak begitu menyukainya?”
Bibir Mirna begitu sinis ketika mengucapkannya membuat bapaknya kembali meradang. Ketika tangan bapaknya sudah kembali siap melayangkan tamparan ke pipinya terdengar suara benda jatuh, berdebum ke lantai.
“Ibu!”
Mirna berlari menuju ibunya yang saat ini sudah di lantai. Karena ingin menghentikan suami dan anaknya, ibu Mirna memaksa bangun. Tapi tubuhnya yang sudah hampir setahun tak pernah bisa meninggalkan ranjang tak kuat menahan berat tubuhnya sendiri dan membuatnya terjatuh. Dari pelipisnya keluar darah. Mata perempuan setengah baya itu berkerjap pelan, mencoba mempertahankan kesadarannya.
“Ibu!”
Mirna masih terpaku di samping sebuah nisan. Tanganya meremas tanah yang masih merah itu. Bunga mawar bertebaran bersama dengan bunga setaman di atas gundukan tanah. Gundukan tanah yang menjadi tempat istirahat ibunya untuk yang terakhir kali. Sepoian angin menyapu kerudung hitamnya, membuatnya jatuh ke atas pundaknya, memperlihatkan mata Mirna yang sembab oleh air mata.
Semua orang sudah pulang, kembali ke rumah masing-masing. Mirna menolak ketika tetangganya mengajaknya pulang. Dia masih ingin menemani ibunya, ibu yang tidak akan bisa lagi dilihatnya. Sakit yang diderita ibunya selama bertahun-tahun itu telah merenggut satu-satunya keluarga yang dia miliki, untuk selama-lamanya. Sakit yang diyakini Mirna karena bapaknya. Ibunya yang dulu begitu kuat, membanting tulang setiap hari demi memenuhi kebutuhan hidupnya sampai akhirnya Mirna berhasil menyelesaikan sekolah, harus tunduk pada kanker yang menggerogoti paru-parunya.
Ingatan Mirna melayang kembali ke masa-masa itu. Masa dimana hanya ada dia dan ibunya. Masa yang begitu sulit tapi tak buram karena baginya masa buramnya adalah ketika harus melihat bapak ibunya bertengkar. Melihat laki-laki yang meski masih dipanggilnya bapak tapi tak lagi mendapat penghormatan sebagai seorang yang patut dihormati melayangkan tamparan bahkan pukulan pada perempuan yang telah melahirkannya. Maka ketika laki-laki itu pergi Mirna merasa bersyukur, setidaknya tidak lagi ada orang yang akan menyakiti ibunya.
Dua tahun lalu laki-laki itu datang lagi. Dengan air mata yang berlinang dia bersimpuh di kaki istrinya, meminta ampun. Mirna menolak ketika laki-laki itu ingin memeluknya. Baginya dia sudah tidak punya bapak dan tidak ingin lagi punya bapak yang sama. Meski akhirnya dia tidak mampu berbuat apa-apa ketika ibunya yang juga merasakan sakit hati ternyata memilih memaafkan suaminya. Mirna tahu bapaknya tidak akan pernah berubah bahkan dia ragu bapaknya bisa berubah tapi melihat ibunya yang begitu bahagia dia tidak tega.
Dan ketika apa yang ditakutkannya benar-benar terjadi Mirna hanya bisa menyesali. Bapaknya memang tidak lagi menyakiti ibunya, tidak secara fisik tapi bapaknya tetap menyakitinya, menyakiti hati juga fisiknya. Mirna tidak tahu apa yang membuat bapaknya begitu ngotot ingin menjodohkannya dengan Anton, seorang supir truk yang juga masih tetangganya. Mirna yang setelah lulus sekolah bekerja di sebuah pabrik elektronik adalah tulang punggung keluarga.
“Ini juga rumah bapak. Kamu tidak bisa mengusir bapak dari sini!”
“Tapi ini rumah peninggalan nenek. Jadi bapak nggak punya hak.”
“Nenekmu cuma ngasih tanah, bapak yang bangun rumah ini. Kalo kamu mau ngusir bapak kamu harus bayar untuk rumah ini!”
Hari-hari Mirna tak ubahnya seperti neraka. Pertengkaran demi pertengkaran masih terus saja terjadi. Ingin rasanya dia pergi dari rumah tapi dia tidak mau melepaskan peninggalan ibunya begitu saja pada ayahnya, bisa-bisa laki-laki itu menjualnya seperti yang akan dia lakukan saat ini. Memaksanya menikah dengan Anton bagi Mirna sama dengan menjualnya. Mirna curiga bapaknya itu punya masalah hutang piutang dengan Anton atau keluarganya.
Mirna baru pulang dari pabrik. Badannya yang lelah setelah seharian bekerja minta diistirahatkan. Meski rasa bencinya sudah di ubun-ubun Mirna ingat betul pesan ibunya, agar dia selalu bersikap baik pada bapaknya. Diletakkannya sebungkus nasi goreng di atas meja. Dia sendiri sudah makan sebelum pulang tadi. Setelah mandi Mirna langsung menuju kamarnya, tidur.
Entah sudah pukul berapa, Mirna terjaga ketika tiba-tiba dirasakan ada yang membelai-belai kepalanya. Meski sudah tersadar Mirna tidak bergerak dari tidurnya bahkan dia pura-pura tidur. Sampai dirasakan tarikan nafas yang cukup berat mengenai pipinya. Tangan Mirna meremas selimut, keringat mulai membasahi pipinya. Mirna mencoba bertahan, berharap laki-laki itu segera menghentikan ciumannya dan pergi.
Air mata Mirna menetes. Dia ingin berteriak tapi bibirnya kelu. Rasa takut menjalari seluruh tubuhnya. Sampai ketika tangan yang cukup kekar itu menyentuh pahanya. Mirna menepiskan tangan itu dan langsung bangun. Dia naik ke pojok ranjang. Di depannya sosok yang sudah tak bisa dia kenali lagi seperti apa menatapnya. Mirna tidak lagi sedang berhadapan dengan manusia tapi monster.
“Maju saja kalau berani. Aku akan…”
“Kamu mau apa? Mukul? Membunuhku? Ayo!”
Seluruh sendi Mirna bergetar. Matanya menatap pintu kamar yang terhalang sosok di depannya. Tangan laki-laki itu mencoba meraihnya dan langsung menyeretnya begitu berhasil menangkap lengannya. Mirna berteriak. Dia meronta, membuat laki-laki itu kewalahan. Laki-laki itu berusaha membungkam mulutnya. Sebuah gigitan membuat laki-laki itu mengaduh. Dilepaskan genggamannya yang mencengkeram lengan Mirna. Secepat kilat Mirna langsung berlari keluar kamar.
“Berhenti! Kalau kamu berani bilang pada orang-orang, aku akan membunuhmu!”
“Bunuh saja, aku tidak takut!”
Mirna masih berdiri di pojok ruangannya. Laki-laki itu memaki dan langsung menuju pintu tapi sebelum keluar dia berbalik menatap Mirna.
“Pokoknya besok kamu harus menikah dengan Anton!”
Lalu laki-laki itu membanting pintu. Mirna jatuh terduduk, tubuhnya lemas. Dia tidak menyangka bapaknya akan tega berbuat seperti itu. Malam itu Mirna tidak bisa tidur, tidak berani tidur. Pintu rumahnya dikunci rapat-rapat. Malam itu dia hanya menangis, menangisi hidupnya, menangisi nasibnya.
Tidak lagi ada jalan keluar yang bisa Mirna pikirkan kecuali segera pergi dari rumah jahanam ini. Dia takut apa yang terjadi semalam akan terulang lagi dan mungkin lain kali dia tidak akan bisa menyelamatkan diri. Dia memutuskan akan membolos kerja hari ini dan mencari kontrakan atau tempat menginap sementara. Bajunya sudah dia masukkan ke dalam tas. Tak banyak yang dia bawa karena memang tak banyak juga yang dia miliki.
“Mau kemana kamu?”
Mirna kaget. Tiba-tiba saja bapaknya sudah ada di dalam kamarnya. Mirna mengangkat tasnya dan segera keluar dari kamar tapi tangan bapaknya berhasil menarik tasnya.
“Lepaskan!”
“Bapak sudah bilang, kamu harus menikah dengan Anton hari ini juga!”
“Aku tidak mau menikah. Aku mau pergi jadi lepaskan!”
“Dasar anak tak tahu diri!”
Dengan sekali hentakan laki-laki itu berhasil merebut tas Mirna dan membuat gadis itu terjatuh ke lantai. Dengan satu tangan dia menjambak rambut Mirna dan menyeret gadis itu. Mirna berusaha berontak. Satu tangannya mencoba melepaskan cengkeraman bapaknya pada rambutnya sedang tangan yang lain berusaha meraih benda-benda yang ada di rumahnya. Perabotan berjatuhan, menimbulkan suara berisik. Bukan tidak ada yang mendengar tapi pertengkaran seperti ini biasa di wilayah yang terkenal keras ini.
Mirna masih meronta, tangan kirinya berhasil meraih kaki meja membuat bapaknya kesulitan menariknya. Tidak lama karena ternyata laki-laki itu masih sangat kuat, begitu pegangan Mirna terlepas meja itu pun ambruk. Sebuah vas bunga jatuh, pecahannya berserakan di lantai. Tangan Mirna meraih sesuatu, kali ini dia pasrah membiarkan bapaknya yang terus menyeretnya ke kamar mandi.
“Anak tidak tahu diuntung! Rasakan!”
Air mata Mirna menetes. Jika tadi dia berteriak kali ini dia diam. Bapaknya yang kalap mengguyurnya dengan air. Sesekali tangannya mendorong kepala Mirna dengan kasar. Laki-laki itu masih mengguyurnya sambil terus memaki, menyumpahinya.
“Bagaimana hah? Masih berani dengan bapakmu?”
Laki-laki berjongkok di samping Mirna. Tawanya membahana. Mirna menatap mata itu. Mata yang dulu sempat dirindukannya. Mata yang kemudian sangat dibencinya.
“Apa liat-liat? Masih berani?”
Satu kali tusukan mengenai mata laki-laki itu, membuatnya meraung tak karuan. Tusukan yang kedua mengenai perutnya dan langsung membuatnya terkapar di atas lantai kamar mandi. Darah muncrat dari perutnya. Mirna menaiki laki-laki itu dan dengan membabi buta menusukkan pecahan vas bunga yang ada di genggamannya ke perut laki-laki itu. Entah berapa kali, yang dia tahu dia hanya ingin mengeluarkan beban yang selama ini menyiksanya.
“Berhenti! Sudah! Lepaskan!”
Sebuah tangan meraih lengan Mirna dan memaksanya melepaskan pecahan vas bunga di genggamannya. Orang-orang berteriak. Mereka berbondong-bondong menyesaki rumahnya yang sempit untuk melihat apa yang terjadi. Mirna terengah-engah, kecapekan. Ada rasa lega yang mulai menjalar ke seluruh tubuhnya. Di antara wajahnya yang tak lagi terlihat jelas karena tertutup darah dia tersenyum, tipis. Saat ini yang dilihatnya hanya merah. Merah di lantai dan dinding kamar mandinya, merah di sekujur tubuhnya dan merah di tubuh yang saat ini kaku di depannya. Sekilas Mirna melihat sosok ibunya.
***

STOP DOMESTIC VIOLENCE!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun