Mohon tunggu...
Rina Sutomo
Rina Sutomo Mohon Tunggu... Berfantasi ^^ -

Hening dan Bahagia menyatu dalam buncahan abjad untuk ditorehkan sebagai "MAKNA"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bridesmaid Ke-33

12 Desember 2016   23:13 Diperbarui: 13 Desember 2016   07:51 344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lamaran terakhir yang kuterima jatuh pada hari Rabu, tepatnya empat tahun yang lalu.

Aku baru saja melarikan diri dari agenda Sunday Lunch keluarga besarku, hingga akhirnya sampai di tempat itu. Pasir-pasir yang berwarna suram, aku tendang-tendang kesal dengan sneakers abu-abu di kakiku. Tepian laut cerah yang berisik, pasangan yang bergandeng tangan, anak-anak yang berlarian, mereka yang berbahagia – dan aku sendiri, bersandar di tegak batang pohon kelapa. Aku benci mereka yang tertawa, setidaknya untuk akhir-akhir itu saja.

Entah sejak kapan, dunia tertawa dengan menjadikanku simbol wanita matang yang sedang telanjang. Sampai siang itu aku telah menjadi bridesmaid untuk 32 pernikahan kerabat dan sahabatku – meski sebagian dari pernikahan mereka berujung pada surat cerai, “Setidaknya mereka sudah pernah menikah!” seru ibuku suatu pagi. “Aku juga hampir menikah, setidaknya empat kali!” pekikku dalam hati.

Hari itu usiaku genap 31 tahun, dan minggu depannya Flow – sahabatku juga akan menikah. Aku tak bisa menolak untuk menjadi bridesmaid kembali, tepatnya akan menjadi yang ke-33 kali. Aku bersumpah tidak akan membocorkan catatan itu pada siapapun.

We hope you get married soon!” Ucapan Flow sama seperti yang lainnya. Hanya itu doa terbaik yang ia dan suaminya punya setelah melempar bunga ke belakang dalam balutan baju pengantinnya, sialnya – selama 33 kali itu aku bahkan tak pernah berhasil menangkapnya. Tak masalah, bagiku itu hanyalah seikat bunga duka cita.

Aku benar-benar berduka setelah pernikahan orang-orang dekatku. Trust me, aku orang yang baik. Aku bridesmaid senior, selalu ikut membantu pernikahan mereka mulai dari persiapan hingga selesai acara. Aku bahkan sempat memilihkan sexy night dress untuk malam pertama beberapa dari mereka.

Nantinya, akan ada bayi-bayi baru, dan pada saat itu pula satu-persatu dari mereka meninggalkanku. Tak ada lagi yang bersamaku di Starbucks pada sabtu malam dan main basket di minggu sore. Itu hanya caraku bernegosiasi dengan kesepian – diingatanku seakan mereka telah hilang dari daftar kehidupan.

Aku membenci cara hidup mereka yang tak meninggalkan jejak setelah hari pernikahannya. Seharusnya Bela, Voni, Nike, Flow dan siapapun namanya, seharusnya mereka masih di sini – bermain pasir denganku siang ini.

-Rubahlah cara berpakaianmu. Lelaki menyukai baju yang transparan, sepatu high heels. Apa kau tak ingin menemukan lelaki seromantis itu?-  

Hatiku sangat tersentuh saat membaca pesan dari Voni di suatu siang. Aku bukan tak butuh pasangan yang romantis dan agresif seperti Jack Dawson. Tentang baju transparan dan sepatu high heels itu – aku akan menolaknya sampai kapanpun. Aku bukan wanita seperti mereka. Tapi, aku tak pernah lagi jatuh cinta setelah empat tahun berlalu. Setelah aku mengenal mereka – para lelaki yang menghancurkan seleraku tentang pernikahan atau setelahnya.

Tujuh tahun yang lalu aku menolak Ethan, lelaki pertama yang melamarku. Alasannya cukup sederhana, aku tidak ingin menjadi buruh cuci baju, saat dia bilang “Aku ingin kau mencuci dengan tangan. Tagihan listrik terlalu mahal.”

Enam tahun yang lalu, lelaki manis bertubuh atletis. Entah bagaimana ia menyuruhku memasang implan payudara semenit setelah lamaran itu. seharusnya 34A itu cukup acceptable, sudah sangat menunjang untuk berkembang biak.

David, lelaki itu aku tolak sekitar lima setengah tahun yang lalu. Lelaki yang berlutut dihadapanku, mengulurkan cincin emerald untukku, sebelum akhirnya ia pingsan di depan rumah kami. Aku tidak begitu yakin dia melamarku, ibu bilang, “Dia melamar setiap wanita yang berpapasan dengannya sepanjang malam. Percayalah, laki-laki itu hanya sedang mabuk berat.”

Dan terakhir, lelaki berumur 79 tahun yang berjanji akan membayar semua biaya pernikahan kami. Sial! Tentu aku menolak lamaran gila itu. Realistis saja. Dua bulan setelah pernikahan itu aku akan repot membayar biaya pemakamannya!

Semenjak hari itu, aku berhenti. Aku mulai berpikir pernikahan hanya akan membuat perutku mual! Itu bukan tentang awal kehamilan, tapi tentang pria-pria malang yang mengacaukan seleraku.

Sore itu aku menuju café kecil-kecilan di pinggir pantai. Es kelapa muda manis-manis menyejukkan, dan setelahnya aku menuju kasir. Dompetku, aku hanya lupa tidak membawanya. Aku telah berdiri selama sepuluh menit untuk berdebat bahwa aku harus pulang mengambil dompet sebelum akhirnya seorang lelaki tak kukenal membayar tagihanku. Lalu kami pergi dari depan meja kasir itu.

 “Kamu sangat baik. Aku tidak tahu apa jadinya hari ini jika kau tak menolongku.”

“Aku tak sebaik itu.” Jawabnya datar.

“Tapi kamu menolongku.”

“Baiklah jika kamu sangat penasaran.”  Lelaki itu menarik tanganku. Ia menggiringku ke toilet umum. Ya Tuhaaan! Apa yang harus aku lakukan, aku tidak ingin mesum dengannya!

“Pergilah ke kamar mandi. Kurasa hanya wanita bodoh yang melupakan masa menstruasinya.” Lelaki itu menatapku tajam. Rasa panas seakan membakar wajahku. Apa yang terjadi dibelakang celana putihku. Oh, God!

Well, itu sudah empat bulan berlalu hingga akhirnya aku tak pernah kesepian lagi setelah ulang tahunku yang ke-31. Aku habiskan waktuku dengan sempurna. Sabtu aku menunggu lelaki itu bermain basket, dan Minggu kami habiskan di bioskop. Perasaanku menjelma hingga lima belas tahun lebih muda.

Malam itu aku baru pulang dari cinema, Kimi No Na Wa menjadi menu utama kami di satnite itu. Aku sedang menutup pintu saat ibu, ayah dan adik menatapku bersamaan. Aku tak ingin menjadi orang asing meski sering melarikan diri dari pembicaraan seputar pernikahan.

“Duduklah, May.”

“Iya Mam.” Aku melempar tubuhku ke atas sofa, menyandar sebentar lalu membenahi posisi dudukku saat semua mata tertuju padaku, untuk menunggu informasi terbaru.

“Akhir-akhir ini kau terlihat bahagia. Sudah seharusnya kau menceritakan itu pada kami.” Ibu memang sangat peduli padaku.

“Bagimana, siapa, apa, mengapa, dimana, dan kapan.” Aku bergumam lirih sambil melirik tiga pasang mata di sekelilingku. Ayah menaruh majalahnya di atas meja, adikku menutup laptopnya dan ibu tersenyum padaku.

“Ayolah, ceritakan semuanya!” Desak ibu. Keluargaku cukup kolot dalam hal pernikahan, setidaknya aku harus mengabari mereka dengan siapa aku berkencan, secara lengkap – bukan hanya sinopsisnya saja.

Aku ingin mereka tahu, bagaimana jantungku meronta-ronta, pipiku memerah bata, dan tanganku gemetar saat aku mengangkat telepon lelaki itu untuk yang pertama kali. Aku tidak bisa bernafas tenang saat ia tak menghubungiku seharian, saat aku mulai membayangkan memakai gaun pernikahan dengan cincin memeluk jariku.

Aku merasakan terjerat cinta semenjak dia menyiksaku dengan ungkapan jujurnya ‘wanita bodoh’. Sayangnya itu bukan hal yang bisa kuceritakan pada mereka, mengingat usiaku yang sekarang.

“Baiklah, aku berjanji akan menikah. Tapi tolong, sekali ini saja. jangan campuri ini dulu, biar kami berusaha. Jadi jangan terlalu memaksa.” Aku memberikan syarat-syarat demi kenyamananku. Kami masih jauh dalam hal pernikahan.

“Ya, aku sudah cukup senang akhirnya kau berpikir untuk menikah.” Ibuku merendahkan nadanya. Aku tersenyum melihat rona wajah mereka mulai berubah. Seperti telah menemukan harta karun dari perburuan menantu yang selama ini mereka galakkan.

“Siapa namanya?”

“Tom, Mam.”

"Sejak kapan kalian berkencan?"

"Tiga bulan lebih, atau mungkin empat bulan."

“Apa dia orang baik-baik? Dari keluarga baik-baik?”

“Iya, Mam.” Aku sudah merasa akan ada sesuatu yang tidak baik pada pertanyaan selanjutnya.

"Jadi ia akan segera menikahimu?"

"Mam, kami belum sejauh itu!" Protesku.

"Kenapa?" Ayah tak mau ketinggalan. Ini tentang masa depan anak gadisnya, aku paham.

"Hanya masalah umur, Yah."

“Berapa umurnya?” Benar sekali. Wanita itu telah melupakan kesepakatan awal untuk tak mencampuri hubungan kami. Aku sangat lelah dibuatnya. Aku juga tak bisa terus-menerus menyembunyikannya, dia daging yang segar, bukan daging yang alot.

“Delapan belas tahun, Mam. Tenang Mam, dia tinggi dan tubuhnya bagus. Wajahnya manis, aku tak terlihat setua itu saat bersamanya. Perbedaan umur tidak masalah kan, Mam. Jaman sekarang.”

Ibuku tak berkata apa-apa, menggenggam tanganku erat-erat dengan mulut ternganga. Adikku kembali menatap layar laptopnya, dan mata ayah kembali menjelajahi majalah TIME. Gambar cantik Priyanka Chopra menghiasi sampul majalah itu, aku juga tak tahu – apa wanita itu ataukah aku yang akan menikah terlebih dahulu? Dunia pun tak mempertimbangkan itu.

Saat aku memalingkan wajah, aku menyadari ibuku baru saja mengatupkan bibirnya kembali.

“Ayolah, Mam. Setidaknya sekarang aku sudah memiliki rencana untuk menikah. Aku benar-benar jatuh cinta.” Aku meyakinkan wanita yang telah banyak berdoa untuk datangnya jodohku itu.

Aku tak berharap kau jatuh cinta May! Aku hanya mau kau menikah!”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun