-Dari balik jendela, di atas sana Cirrus terpoles lembut diantara bentangan biru yang terlalu luas seperti cinta yang tak mudah tertebak akan darimana, kapan dan siapa – bagaimana atau mengapa adalah rahasia langit yang menyimpan dentum keagungan-
Kereta yang kunaiki melaju kencang dengan deru-deru kasar yang menghantam lamunanku, tentang dia. Aito-senpai, aku telah menunggunya selama delapan tahun ini setelah pesta kembang api terakhir di musim panas waktu itu. Perpisahan itu bukan hal yang tidak indah hanya karena aku sangat yakin setelah hari ini aku akan bisa bersamanya, selalu.
Di musim dingin sepuluh tahun yang lalu, aku sempat tergelincir dari lantai saat membawa puluhan buku menuju ruang guru di lantai bawah. Jika banyak gadis membicarakan Clumsy yang pendiam berkacamata tebal, itu adalah tentangku yang terbiasa digosipkan lebih buruk dari adanya aku. Hingga segalanya berubah setelah aku berbicara dengan Aito-senpai di siang itu.
Aku membuka mataku dengan gambar sekitar yang buram, hingga seorang anak lelaki memberikan kacamataku kembali. Tubuhku terbaring di ruang UKS dengan pergelangan kaki yang sedikit sakit.
“Beristirahatlah sebentar, aku akan kembali ke kelas. Nanti sore aku akan mengantarmu pulang.”
“Terimakasih. Aku bisa pulang sendiri, Senpai.”
“Kamu yakin, Yumiko?”
“Hai.Terimakasih.” Jawabku singkat sambil mengalihkan pandangan. Aku merasa tak biasa berbicara dengan orang lain di sekolahan itu. Aku hidup di duniaku sendiri, di mana aku merasa nyaman hanya dengan mempercayai diriku sendiri.
Sore harinya saat jam sekolah telah usai aku bangkit dari ranjang untuk mengambil tas dan pulang ke rumah. Tak ada teman kelas yang datang untuk si Clumsy sepertiku dan aku tak benar-benar mengharapkannya.
“Tunggu biar aku bantu.”
Lelaki itu segera memasangkan sepatu di kaki kiriku yang terkilir. Aku hanya memandanginya dan tak banyak yang bisa kuucapkan. Entah sejak kapan ia masuk dan memperhatikanku, aku juga tak begitu yakin.
“Aku bawa tasmu. Sekarang naiklah, Yumiko!”
“Eh?”
Aku masih berdiri di samping ranjang, sementara lelaki itu tengah berjongkok membelakangiku.
“Ano, maaf Senpai. Biarkan aku pulang sendiri.”
Lelaki itu segera bangkit dan menatapku erat.
“Kamu yakin?”
Aku mengangguk dan menunggunya mengembalikan tas hitamku, namun lelaki itu kembali duduk dan memaksa untuk menggendongku. Sepanjang perjalanan pulang aku tak bisa melakukan apapun kecuali menjaga keseimbangan badan agar lelaki itu tidak jatuh tersungkur. Sementara kudengar nafas lelaki itu semakin berat saat lima belas menit aku tak bersuara di atas punggungnya.
“Apa aku berat?”
Aku mencoba membuka percakapan, meski kutahu aku tidak lebih kurus dari gadis-gadis lain di kelasku.
“Tidak. Hanya saja… Uh, hanya rumahmu terlalu jauh.”
Aku tersenyum mendengar jawaban itu. Beberapa butir peluhnya mulai menetes di lengan tanganku. Sementara saat angin berhembus aku bisa mencium aroma yang akan aku rindukan pada masa-masa setelahnya – bau aqua yang menyeretku pada birunya langit bercampur dengan aroma chocholate yang lembut begitu memanjakan imaginasiku saat angin meniup tubuhnya dengan pelan. Sejujurnya aku sangat menikmati hari pertama yang tak mungkin aku lupakan itu.
“Apa masih jauh? Aku lelah, benar-benar lelah.”
“Bukankah aku sudah bilang aku bisa berjalan sendiri.”
“Kamu sangat berat, Yumiko.”
“Katamu tadi tidak.”
“Ah, turunlah sebentar. Biar aku mengumpulkan kembali tenagaku.”
“Menyebalkan.” Gumamku dalam hati tanpa bisa kuungkapkan. Lelaki itu menurunkanku di bawah pohon di samping sungai.
“Berikan tasku.”
“Eh? Mau kemana?”
“Biarkan aku pulang sendiri. Ini sudah dekat.”
“Aku ini lelaki, pantang hanya menggendongmu setengah jalan. Duduklah!”
“Bukankah ini memang benar-benar setengah jalan?”
“Aku bilang aku akan beristirahat sejenak. Nanti aku akan menggendongmu kembali.”
“Tapi Senpai aku berat, kan?”
“Kamu marah?” Lelaki itu tertawa sambil membaringkan tubuhnya di atas rumput yang menghijau dengan kedua tangannya sebagai bantal. Aku melihat ke sekeliling, rerumputan yang tertiup angin, air yang mengalir, pohon yang rindang, dan suara lelaki itu yang membuatku gusar.
“Duduklah, atau aku akan terus memandangi celana dalammu.”
Rasanya wajahku memerah tertampar kalimatnya. Aku segera duduk sambil menyembunyikan rasa malu. Sejak saat itulah aku mengenal Aito-senpai dengan baik. Sebagai senior yang menolongku aku sangat menyukainya semenjak hari itu. Itu juga menjadi alasan mengapa aku bersedia menjadi manajer tim bola basket sekolah kami saat Kumamoto-senpai memintaku, Aito-senpai juga bermain di sana adalah alasan utama, sementara sang kapten Kumamoto-senpai selalu membantuku untuk beradaptasi dengan kegiatan-kegiatan tim itu.
Siang ini aku telah sampai di Iwafune, aku langkahkan kakiku melewati jalanan kecil menuju sebuah tempat dimana Aito-senpai pernah mengatakan ‘suka’ padaku. Sembilan tahun lalu tepatnya satu tahun sebelum ia lulus dari sekolah menengah kami, dihari ulang tahunku yang ketujuh belas.
Aku telah mempersiapkan diri dengan baik untuk hari ini, jika itu tentang ajakan bertunangan, bahkan pernikahan jika saja mungkin. Kupercepat langkahku hingga aku tiba di sebuah restoran lama yang bangunannya sama sekali tidak berubah.
“Yumiko! Disini!”
Dengan mudah ia mengenaliku setelah perpisahan selama itu. AC tak mampu mendinginkanku disaat seperti itu. Aku sedikit salah tingkah namun aku berusaha menjaganya.
“Yumiko, banyak hal yang harus aku katakan padamu. Dan ini semua tentang keputusanmu.”
“Kurasa Senpai sangat dewasa sekarang.”
Lelaki itu meneguk minumannya untuk yang pertama kali. Ia telah sedikit mendewasa. Senyumnya dapat kulihat dengan samar meski wajahnya sering terlihat datar.
“Yumiko, apa kamu menyukaiku karena aku yang menyelamatkanmu?”
“Tentu, tapi mengapa Senpai bertanya seperti itu?”
“Sebenarnya Kumamoto yang membawamu ke UKS, aku hanya menunggumu dan termasuk sore itu dialah yang memintaku.”
“Kenapa Senpai tak pernah jujur?”
“Aku hanya…”
“Bagaimana dengan hubungan kita? Apakah Senpai juga tak pernah menganggap hal itu?”
Lelaki itu menunduk. Aku tak pernah dibuatnya kecewa seperti hari ini. Ia melihat pada jam di dinding.
“Sebentar lagi Kumamoto akan datang, ada satu hal yang harus kamu tahu.”
“Katakan Aito-senpai. Aku tak ingin menerimamu jika itu dalam kebohongan lagi.”
“Kumamoto menyukaimu jauh sebelum aku mengenalmu. Bahkan ia mengajakmu ikut bergabung menjadi manajer tim dengan harapan ia bisa mendekatimu.”
“Cerita apa lagi ini?”
“Dia datang.”
Aito-senpai menunjuk ke belakangku lalu melambaikan tangan. Sementara airmataku telah menggantung namun aku berusaha menahannya. Aku duduk diantara dua fakta yang tak bisa kucerna – tentang hubunganku dan Aito-senpai juga kebohongannya, lalu tentang Kumamoto-senpai dan segala hal yang tak pernah ku ketahui awal mulanya.
Lelaki kedua telah datang dan aku menjawab sapaannya seperti biasa. Setelah beberapa menit berlalu aku seperti orang bodoh yang berdiri diantara para pembohong. Aku muak, bahkan sangat ingin beranjak jika saja bukan karena Kumamoto yang menjelaskan beberapa hal yang ingin aku mengerti.
“Yumiko, aku menyuruh Aito menungguimu siang itu karena aku ada ujian. Tapi aku harap itu tidak merubah hubungan kalian saat ini.”
“Mengapa Senpai memintaku untuk menjadi manajer tim kalian?”
“Itu hanya sebelum aku tahu bahwa kamu menyukai Aito juga.”
“Kalian mempermainkan perasaanku dengan cara seperti ini.”
“Yumiko, Kumamoto hanya berbicara apa adanya.”
Aku sibuk dengan pikiranku yang tak menentu. Sementara mereka berdua menatapku untuk menanti jawaban. Sebuah permainan kotor yang sangat tidak adil untuk penantianku selama ini.
“Baiklah, tak ada lagi yang harus kita bicarakan. Aku terlalu sibuk hari ini. Selamat tinggal.”
Aku mempercepat langkahku menuju stasiun, airmataku meleleh menahan kecewa yang terlalu sempurna. Seolah aku sebagai badut yang datang ke acara reuni mereka berdua. Dan selebihnya, tentang Aito-senpai mungkin memang ia tak pernah menyukaiku seperti yang aku rasakan.
Biar angin mengoyak rapinya rambutku, aku terus berlari hingga lelah. Aku kecewa atas harapan delapan tahun tentang pertemuan kali ini.
“Yumiko!” suara Aito-senpai kembali menghentikan langkahku. Aku akan membencinya setelah hari ini. Tapi, “Tapi aku tak bisa melewatkannya, jika itu harus menjadi pelukan terakhir kami.” Aku menahan kalimat itu bersama airmata. Lelaki itu berjalan ke arahku.
“Yumiko, apa perasaanmu berubah hanya karena aku bukan orang yang menolongmu?”
“Aku hanya…”
“Apakah kamu mau memilih?”
“Aku tidak bisa. Aku tidak mengenal Kumamoto-senpai.”
Aku menatapnya dengan wajah basah. Lelaki itu semakin mendekat.
“Apa kamu keberatan untuk memilih?”
“Aku tidak bilang ini berat, aku hanya kecewa. Kalian membuatku seperti orang bodoh!”
“Yumiko, menikahlah denganku.”
“Senpai, aku…”
“Kenapa lagi?”
“Aku tak punya alasan untuk menolaknya, Senpai.”
Dari samping kuil tempat kami berdiri aku memahami halnya cinta yang luas dan tak mengajarkan batas. Tentang aku dan Aito-senpai adalah rencana langit yang menyimpan polesan-polesan Cirrus di bawah langit yang lain – hingga hari selanjutnya saat semua dewa memberkati kami.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H