"Tapi..."
"Ini, bacalah."
Aku dan Li sempat beradu pandang namun hanya sekilas. Sementara wanita-wanita yang sedang menghadapi kasus-kasus itu hanya menunduk dan sesekali melemparkan senyum, mungkin untuk mengurangi kekhawatiran mereka akan permasalahan masing-masing.
Banyak kalimat yang sebenarnya ingin aku sampaikan kepada mereka, sebagai motivasi yang bukan dari motivator namun aku yakin itu akan lebih berguna daripada mengajak mereka ngobrol tanpa arah yang jelas.Â
Tentang aku, untuk menyukai seseorang seperti Li aku selalu berkaca lebih lama dari yang seharusnya. Hanya karena aku juga berangkat dengan visa buruh meskipun selama ini Li tak pernah mempermasalahkan itu. Karena apa yang telah kami lalui bukan hal yang biasa untuk kami umbar, begitu pula ketika mata kami tiga hingga tujuh detik bertatap pelan. Satu tahun ini Li adalah lelaki kedua yang mengenalku dengan baik - setelah ayahku.
Teringat kembali olehku, bagaimana awal musim semi di bulan Maret itu menghadiahkan kami perasaan yang lebih tajam hingga berakhir dengan sedikit pertengkaran. Bukan hal yang mudah untuk mengembalikan suasana sehingga aku dan Li bisa duduk berdekatan kembali.Â
Aku meragukannya sejak hari pertama ia memelukku, untuk menyukaiku dibutuhkan lelaki yang setengah waras, yang dengan sukarela mau bersamaku didua keadaan - jatuh dan berdiri. Meskipun Li sudah pernah bersamaku di kedua waktu itu namun itu tidaklah cukup, lebih tepatnya aku yang tidak cukup baik untuk disukai lelaki sepertinya. Meskipun aku berperang dengan beberapa sudut di hatiku yang dengan waras mengatakan aku menyukai Li dan tatapan datarnya. Hingga aku tak menyukai Li yang tak mempunyai pendirian jika itu adalah tentang karir di organisasinya.
Tentang mimpi, aku tak suka mendebatinya saat ia tergila-gila dengan cita-citanya bersama organisasi besar itu. Li telah membangun karirnya sejak lulus dari Lingnan University, lima tahun yang lalu. Rasa sukaku sudah sangat cukup untuk mendukungnya menjadi yang lebih baik dan lebih baik lagi, itu juga bukan masalah jika aku tak memilkinya. Karena tanpa orang lain tahu, Li yang membawaku hingga aku bisa berdiri setelah jatuh dari kekerasan dan penyiksaan yang dilakukan oleh majikanku beberapa waktu yang lalu.
Juga dipagi-pagi yang lain saat Li menemuiku untuk selalu menyuruhku menulis di blog pribadiku, mengembangkan potensiku, hingga pada waktu-waktu berikutnya saat ia menemuiku tanpa tujuan yang jelas. Aku tak mungkin lupa, bagaimana Li memelukku dengan mengumbar rasa suka yang ia coba katakan, meski berakhir percek-cokan karena aku tak mempercayainya.
Hingga rapat mereka telah selesai dan aku masih berdiri di samping pintu di ruangan itu, Susan menggandeng tangan Li untuk keluar ruangan meski dengan jelas aku bisa melihat - Li mencoba menjauhkan tangan itu.
Aku mengambil tasku dari ruangan satunya dengan maksud untuk undur diri, sekaligus aku akan mempunyai kesempatan untuk berbicara dengan wanita-wanita di ruangan tadi. Meski tak membutuhkanku untuk dapat membantu menyelesaikan masalah mereka seperti Li, setidaknya mereka adalah orang yang patut untuk disemangati. Perhatian kecil akan membuat mereka lebih tenang, aku memahami - aku pernah berada di posisi itu sebelum hari ini.