Aku memulainya dari ranjang putih di antara matahari yang mulai menuruni merahnya senja.
Telah tiga hari ia tinggal dan menikmati ranjang putihku, terkadang kulihat tubuhnya berbaring meliuk mendekap bantal-bantal putih di ranjangku. Sesekali kulihat wajahnya yang lelap, dia manis, bahkan teramat manis untuk mendapat sebuah paksaan.
Terkadang tanganku tak mampu berhenti menjamahi lekuk wajahnya, matanya yang indah membuatku jatuh pada setiap pandangan yang saling beradu. Aku bahkan menikmatinya meski hanya dari kejauhan dengan tangan yang tak lagi menyentuh. Bahkan jika itu tentang milik, dia sudah bukan lagi hakku.
"Kau tak pulang, Mas?"
Dia hanya menggelengkan kepala sambil terus memeluk bantal dengan matanya yang masih tertutup lelah. Sejak pertama memang kami tak bisa bersama, hanya saja dia dan aku selalu beradu rasa untuk saling memaksa.
"Aku tak bisa mencintainya, seperti kamu mencintaiku, Dek."
Perlahan ia buka matanya, jantungku berdegup lebih kencang dari tujuh tahun yang lalu. Setiap tatapannya yang membuatku jatuh, hingga rongga tenggorokan kadang terasa penuh sekat.
"Kamu tahu orangtuaku, aku tak mungkin menceraikannya, Dek."
"Mas, aku tak pernah memintamu untuk itu."
"Kenapa kau tak memintaku? Apa ada lelaki lain yang membelai ranjangmu?"
"Kurasa kamu lebih mengenalku daripada diriku sendiri, Mas."