Menurut buku pedoman pengawasan perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia, TKI adalah warga negara Indonesia baik laki-laki maupun perempuan yang melakukan kegiatan di bidang perekonomian, sosial, keilmuan, kesenian, dan olahraga profesional serta mengikuti pelatihan kerja di luar negeri, baik di darat, laut maupun udara dalam jangka waktu tertentu berdasarkan perjanjian kerja, yaitu suatu perjanjian antara pekerja dan pengusaha secara lisan dan atau tertulis baik untuk waktu tertentu maupun untuk waktu tidak tertentu yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak.Â
Dari pengertian di atas dapat kita ketahui bahwa TKI memiliki hak dan kewajiban yang telah diatur dalam surat perjanjian kerja. Begitu halnya dengan TKI di Hong Kong, di samping kewajiban untuk bekerja mereka juga mempunyai hak untuk mendapatkan fasilitas yang layak, konsumsi, serta hak libur setiap hari Minggu, juga pada public holidays lainnya. Â
Dunia TKI Hong Kong sepertinya tak pernah lepas dari berita miring yang sebenarnya hanya beberapa TKI saja yang terlibat di dalamnya. Namun ketika kasus tersebut telah menjadi viral di dunia maya, kembali seakan-akan semua TKI Hong Kong akan divonis bersalah secara merata. Sebagai contoh, kasus penipuan antar-TKI, kasus pencurian yang berakhir di penjara, hingga kasus aborsi karena bayi yang tak diinginkannya. Banyak pihak menilai bahwa kasus-kasus tersebut terjadi karena banyaknya hari libur yang dimiliki oleh TKI Hong Kong.Â
Sebenarnya setiap hari libur, majikan memberikan kebebasan yang terbatas tidak sepenuhnya untuk kepentingan mereka, namun juga untuk menjaga keamanan dan keselamatan asisten rumah tangga mereka secara tidak langsung. Meskipun banyak yang masih melakukan pekerjaan rumah sepulangnya dari berlibur, namun banyak juga majikan yang justru menyuruh asisten rumah tangganya untuk segera beristirahat, asal mereka pulang tak lewat dari pukul 8 atau pukul 9 malam.Â
Namun sayang, terkadang cara penyampaian majikan dengan suara yang keras justru menjadi kesalahpahaman di antara keduanya, sehingga si pembantu menilai bahwa majikan tak memberi hak libur sepenuhnya.Â
Yang sering menimbulkan permasalahan baru adalah ketika mereka lupa bahwa mereka hanyalah sebagai tamu di negara Hong Kong. Pada dasarnya tamu harus menghormati tuan rumah jika tamu tersebut ingin dihargai. Namun yang sering terjadi justru sebaliknya. Banyak hal kecil yang diremehkan oleh para TKI sehingga menyulut konflik antara penduduk lokal dengan TKI yang bersangkutan ketika hari libur. Â
Beberapa kali penulis menjumpai TKI yang dengan sengaja membasuh kakinya (untuk wudhu) di atas wastafel yang biasa digunakan untuk mencuci tangan dan mencuci muka. Padahal di dinding toilet tersebut sudah diberi peringatan untuk tidak membasuh kaki di wastafel. Memang tujuan mereka (para TKI) adalah untuk berwudhu, namun hal itu tidak dapat dibenarkan dan tidak sesuai etika.Â
Negara Hong Kong sendiri juga memiliki beberapa bangunan masjid, dan setiap masjid juga menyediakan fasilitas untuk berwudhu. Jika memang mereka ingin beribadah mereka dapat pergi ke masjid tanpa harus menggangggu ketertiban dan kenyamanan di tempat lain. Hal tersebut tak hanya satu atau dua kali terjadi, dan ketika tukang bersih-bersih toilet mengetahuinya, selalu terjadi percekcokan di antara mereka, namun ironisnya jarang sekali TKI yang bersangkutan mau meminta maaf atas kesalahannya. Hal seperti itulah yang membuat orang Hong Kong terkadang tak menyukai para pekerja dari Indonesia.Â
Yang lebih menyedihkan lagi adalah ketika mereka menggelar tikar dan membuat base camp di bawah Jembatan Meifoo, sementara mereka tahu jika bawah jembatan itu merupakan jalan untuk menuju ke Lai Wan Market (pasar tradisional). Seperti yang kita ketahui, pasar adalah tepat yang ramai pengunjung, terlebih lagi di daerah Meifoo hanya ada satu pasar tradisional. Tak hanya itu, bawah jembatan tersebut sebenarnya merupakan area bagi para pejalan kaki yang akan menuju ke stasiun, shopping mall, sekolah, terminal, kafe, juga tempat-tempat lainnya, karena Meifoo merupakan daerah yang sangat strategis.Â
Berdasarkan wawancara penulis dengan salah seorang TKI yang berasal dari Cilacap yang telah sepuluh tahun lebih bekerja di Hong Kong, ia mengaku bahwa ia dan kawan-kawannya sengaja menggelar tikar di bawah jembatan hanya karena rasa malas untuk mencari tempat berteduh lainnya. Tak hanya itu, mereka juga sering membeli makanan yang dijual oleh TKI lainnya di bawah jembatan tersebut.
Banyak yang tak paham bagaimana udara yang pengap serta debu yang beterbangan sangat tidak baik untuk kesehatan mereka. Apalagi biasanya mereka duduk di tempat tersebut dari pagi hingga malam hari. Bahkan sebagian dari mereka (TKI) berjualan makanan dengan peralatan seadanya.Â
Terkadang para pembeli tak mau tahu dari mana air yang para pedagang itu dapatkan, apakah itu air dari toilet atau air mineral, apakah air itu steril atau tidak. Bagiamana pula dengan debu yang bertebangan, tidakkah itu mempengaruhi kebersihan makanan yang dikonsumsi serta kesehatan tubuhnya? Belum lagi udara yang pengap dan tempat yang kumuh karena dekat dengan tong-tong sampah. Sering kali mereka tak menghiraukannya.
Jika mereka peduli akan kesehatan, sebenarnya banyak tempat yang dapat mereka tuju sewaktu liburan. Jika khawatir dengan biaya libur yang mahal sebenarnya mereka juga bisa membuat base camp di taman. Di taman banyak area yang dapat digelari tikar, yang dapat menampung ribuan orang tanpa harus mengganggu para pejalan kaki. Selain itu taman merupakan tempat yang sehat, bersih, sejuk dan udaranya jauh lebih segar daripada di bawah jembatan. Seperti halnya di mall-mall, di taman juga disediakan toilet yang dijaga oleh tukang bersih-bersihnya.Â
Banyak sekali kasus TKI yang telah ditangani oleh beberapa organisasi seperti JBMI dan SBMI. Dengan kerja sama dan solidaritas yang tinggi mereka berjuang untuk membantu menyelesaikan kasus-kasus TKI yang bermasalah. Mulai dari koreksi data paspor, kasus kekerasan oleh majikan, hingga kasus overcharging serta gaji yang tidak dibayarkan. Kepedulian mereka akan sesama tak hanya sampai di Hong Kong. Jika sepulang dari Hong Kong TKI harus berurusan dengan PJTKI yang memberangkatkannya, organisasi-organisasi tersebut juga bersedia untuk membantunya.
Sedang bagi organisasi keagamaan, biasanya mereka menampung para TKI yang ingin mendalami agama. Selain itu biasanya organisasi tersebut juga membuka kursus keterampilan, seperti kursus menjahit, kelas bahasa Inggris maupun kelas komputer. Meskipun hanya ada satu kali pertemuan dalam satu minggu namun mereka masih dapat melanjutkan latihannya di sela-sela kesibukannya bekerja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H