Mohon tunggu...
Rina Sutomo
Rina Sutomo Mohon Tunggu... Berfantasi ^^ -

Hening dan Bahagia menyatu dalam buncahan abjad untuk ditorehkan sebagai "MAKNA"

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Ilmu Tentang Harta, Saya Belajar dari Tukang Becak

18 Agustus 2016   16:31 Diperbarui: 18 Agustus 2016   18:17 1742
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi ini dunia sangat redup, tak ada awan yang terlihat menggantung di langit sana. Saya masih duduk di ranjang, bersahabat dengan dinginnya AC di ruang kamar. Tangan saya memainkan lembar demi lembar sebuah majalah pemberian dari seorang teman, bulan lalu. Akhir-akhir ini saya sibuk dengan kegiatan organisasi yang menangani buruh migran, sehingga saya tak banyak waktu untuk membuka media cetak. Terlebih lagi kemampuan berbahasa Inggris saya sering patah-patah, terpaksa pelan-pelan saya berusaha menikmati majalah berbahasa Inggris ini.

Dari Majalah TIME (July 11 / July 18 2016) pada halaman 52, iklan ini begitu menarik perhatian saya pagi ini, terlebih lagi ada cipratan syair pendidikan di dalamnya. "Hirabai began walking to school when she was a little girl. It was an exhausting, dangerous two-mile journey from her home in rural India. At 14, she started attending a high school even farther away, unsure of how she would complete her education....." Iklan tersebut mengingatkan saya betapa pentingnya pendidikan, bagaimana banyak orang yang haus akan pendidikan meskipun pada akhirnya pendidikan itu tak mengantarkannya pada karir yang mapan.

Itu hal yang wajar, seperti ketika Tuhan tak pernah menjanjikan pelangi sehabis hujan. Ketika masuk ke bangku SMA atau kuliah, mereka (Kepala sekolah dan Rektor) juga tidak pernah menjanjikan sebuah pekerjaan setelah yang bersangkutan menyelesaikan pendidikannya. Pada sambutan-sambutan di ospek yang mereka tegaskan adalah proses belajar mengajar dan ilmunya, bukan tentang karir setelahnya.

Ketika otak saya meramu berbagai makna dan fakta pendidikan yang sesungguhnya, pagi ini ingatan saya melesat kencang ke lima tahun yang lalu. Saya tak pernah menyesali musibah yang terjadi, karena yang saya tahu, Tuhan selalu punya rencana yang baik untuk hamba-Nya. 

Saya berusia sembilan belas tahun waktu itu. Dan pagi itu, saya harus berangkat ke kampus untuk mengikuti UAS semester empat di IKIP PGRI Madiun. Namun tak seperti biasa, hari itu saya harus naik bus karena suatu keadaan. Adik saya baru kecelakaan dan motornya rusak parah. Motor butut yang biasa saya kendarai harus saya tinggal di rumah untuk mengurus keperluan lainnya. 

Sejujurnya saya bukan orang yang mudah akrab dengan bau solar dengan kondisi bus yang seharusnya sudah pensiun. Saya tak punya pilihan lain. Trenggalek tidak memiliki stasiun kereta api, sehinggga bus lah harapan saya satu-satunya.

Setelah tiga jam naik bus dan sempat oper satu kali, akhirnya saya sampai di perlimaan Te'an, Kota Madiun. Hari belum terlalu siang, saya masih punya dua jam lagi sebelum ujian dimulai. Karena sudah tidak kuat mabuk solar, akhirnya saya memutuskan untuk turun di perlimaan itu. Saya bingung, itulah pertama kalinya saya naik bus dari Trenggalek ke Madiun. 

Waktu itu saya juga sudah cukup teler dengan bau solar, rasanya saya tidak ingin naik angkot. Beruntungnya saya, tak jauh dari situ ada beberapa tukang becak yang sedang "cangkruk". Setelah menunjukkan alamat yang saya tuju, salah seorang dari mereka bersedia untuk mengantarkan saya.

Kami menuju perumahan Bumi Mas yang tak jauh dari kampus IKIP PGRI Madiun. Bapak tua itu sesekali terbatuk dan mengayuh lebih pelan. Mungkin karena jarak yang kami tempuh agak jauh, atau karena saya yang terlalu berat, saya juga kurang yakin. Untuk memecahkan suasana akhirnya saya ajak beliau berbicara.

"Bapak capek ya, maaf ya Pak."

"Tidak Mbak, memang beberapa hari ini saya tidak enak badan."

Begitulah awal mula pembicaraan kami. Hingga akhirnya beliau bertanya kepada saya tentang jurusan yang saya ambil serta rencana kedepannya. Lama setelah perbincangan itu beliau mulai menceritakan pengalamannya dibangku pendidikan hingga dunia kerja. 

Beliau menceritakan pada saya bagaimana ia menempuh pendidikan hingga lulus dan berganti-ganti profesi. Pernah juga beliau bekerja di luar Jawa, namun menurut beliau itu tidak bagus bagi keharmonisan rumah tangganya, sehingga beliau memutuskan untuk pulang. Setelah bekali-kali gagal mendapatkan pekerjaan karena usianya yang sudah tidak muda lagi, akhirnya beliau memutuskan untuk membeli beberapa puluh becak untuk disewakan. Mulai saat itu beliau juga menjalankan becak sehari-harinya.

"Dulu saya kuliahnya di IKIP Surabaya, sekarang jadi UNESA itu lo Mbak. Saya tak pernah berhenti bersyukur, meskipun keluarga kami pas-pasan istri saya sangat baik, dia tidak pernah menuntut lebih. Pernah sesekali waktu saya berangan-angan jika saja saya bisa sukses seperti teman yang lain. Namun diwaktu itu juga saya kembali berfikir, jika saya sesukses teman-teman yang lain belum tentu rumah tangga kami akan sedamai ini." 

Saat itu saya hanya mengiyakannya saja, karena saya sendiri masih cukup muda untuk memahami ucapan beliau mengenai karir dan rumah tangga. Namun mengapa saya tak melupakan hari itu? Karena inilah yang saya alami saat ini. 

Berkali-kali teman sekelas (di bangku kuliah) yang saat ini berseragam sebagai guru honorer, dengan pertanyaan yang merendahkan, mereka datang menyapa saya. "Kamu jadi TKI?", "Kamu jadi pembantu?", "Kok mau sih?", "Ngga malu apa?"

Saat itu juga saya mulai berandai-andai seperti bapak tukang becak tadi. Jika saja saya tetap memilih bekerja sebagai guru honorer, mungkin saya akan puas dipanggil ibu guru oleh murid-murid saya, namun adik saya tidak akan bisa mengikuti ospek di IAIN hari ini.

Rencana Tuhan kita tidak bisa menebaknya, kemarin cerah hari ini bisa hujan bersama petir menyambar. Siapa sangka, beberapa hari setelah wisuda ternyata usaha ayah saya bangkrut. Dan jauh sebelum itu, ayah sudah pensiun dari pekerjaannya sebagai seorang guru. Saya anak pertama, sementara adik saya baru duduk di bangku SMA waktu itu. 

Jika saya hanya menuruti apa yang teman-teman saya bilang, mungkin saya tidak sebahagia hari ini. Seragam guru yang telah saya lepaskan (resign) itu bukanlah apa-apa bagi saya. Menjadi seorang guru memang cita-cita saya sejak kecil, namun tanpa orangtua dan adik saya, saya tidak ada artinya. 

Mengajar memang mimpi saya, membantu anak dari yang tidak berilmu hingga berilmu adalah harapan saya, namun harapan terbesar saya, adalah saya dapat membantu orangtua saya terlebih dahulu sebelum akhirnya saya dapat membantu orang lain. Setiap kali pertanyaan sengit itu datang, saya jawab dengan ringan. "Saya yang lebih tahu, apa yang terbaik bagi saya."

Dan saya tidak pernah lupa hari itu, saat bapak tukang becak menerima uang sepuluh ribu karena telah mengantar saya sampai di Perumahan Bumi Mas, beliau bilang, "Mbak... Harta itu tidak harus uang. Pertama keluarga, kedua hati yang baik, hanya itulah harta yang sangat berharga."

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun