[caption caption="SDN 03 TUMPAKPELEM SAWOO PONOROGO"]Tumpukan buku yang harus saya baca terkadang membuat saya tertegun, heran dengan buku-buku itu akankah ilmunya masuk diotak saya. Sejujurnya saya tidak segenius mereka, terutama dalam Matematika, saya selalu berada di garis bawah. Tak jarang saya harus belajar berjam-jam malam hari sebelum saya mengajar.Â
Bahkan, kadang saya harus bertanya kepada ayah saya karena beliau yang sudah mejalani profesinya sebagai guru SD selama berpuluh-puluh tahun tentu ilmunya tak diragukan lagi, menurut saya. Selain itu saya memilih pekerjaan ini karena terinspirasi dari semangat juang beliau dalam mengenalkan A menjadi Anggur  kepada bocah yang hanya bisa bilang Apel tanpa tahu bagaimana menuliskannya.Â
Karena itu pula saya harus membagi waktu antara Trenggalek, Ponorogo, dan Madiun. Rumah, sekolah, dan kuliah. Saya tinggal bersama kedua orangtua saya di Trenggalek, sedangkan saya kuliah di Madiun, dengan jarak yang lumayan jauh terpaksa saya harus tinggal di kost dihari-hari tertentu. Selain itu saya juga bekerja sebagai guru honorer di salah satu SD daerah terpencil di Kabupaten Ponorogo.
Karena faktor padatnya tugas, enam hari dalam seminggu saya bagi dengan baik. Senin hingga Kamis saya kuliah di Madiun, Jumat dan Sabtu saya mengajar di Ponorogo. Dan terkadang hari Minggu saya juga harus membina Pramuka sehingga saat itu saya tak cukup istirahat.
Seberat-beratnya tantangan yang pernah saya hadapi selama bekerja di SD terpencil tersebut adalah "Kondisi Jalan." Jalan yang menanjak ke puncak gunung, belum diaspal, banyak tikungan, penuh lubang, jalan setapak, dan jalan yang rata dengan tanah, seperti itulah kondisi jalan yang harus saya lalui setiap harinya dengan mengendarai sepeda motor.
Jika musim hujan tiba saya terbiasa ke sekolah dengan sandal jepit. Sepatu yang akan saya pakai untuk mengajar telah saya masukkan ke dalam tas agar tidak terciprat air dan lumpur. Jalanan menanjak yang kadang masih penuh dengan tanah itu akan menjadi lumpur ketika musim hujan.Â
Tak hanya itu, kondisi jalan yang basah sering membuat saya hilang keseimbangan dan jatuh di jalanan menanjak. Tentu saya tidak dapat mengangkat motor saya yang terguling, berdiri dan menarik kaki saya yang ditindihi motor saja sudah kesulitan karena saya memakai rok panjang. Karena posisi jalan yang menanjak saya hanya bisa menunggu sampai ada warga yang melintas yang bersedia membantu saya.
Pernah suatu ketika hari Jum'at tak ada warga yang melintas sama sekali. Saat itu hujan deras, saya berkali-kali telepon ke orangtua saya tetapi tidak bisa karena tidak ada jaringan. Akhirnya lagi, saya harus menunggu relawan datang untuk membantu saya. Perjuangan keras itu saya lakoni dengan sabar hingga lelah saya sudah mencapai puncaknya. Sambil menangis sesenggukan karena kaki saya berdarah akibat jatuh dari motor akhirnya saya bilang kepada ayah bahwa saya akan berhenti mengajar. Namun jawaban ayah masih sama, "Kalau ingin sukses jangan manja."
Siswa yang mengajarkan saya untuk selalu bersabar. Saat saya tak dapat meng-handle kegaduhan di dalam kelas, saat mereka tidak mengerjakan tugas, saat-saat seperti itulah saat terpenting dimana saya dapat belajar untuk mengikat perasaan saya yang berkecamuk agar tidak berhamburan. Terkadang saya hanya bisa gigit jari saat saya merasa sangat lelah teriak sana-teriak sini. Dari situlah kesabaran saya di gembleng.
Warga yang tak menilai dari segi uang. Hangatnya gotong royong yang tak pernah mereka dapat dari bangku sekolah ternyata mereka justru mempraktekkannya secara langsung. Mereka yang membuat mata saya terbuka lebar, banyak teori yang tidak dapat saya jelaskan apalagi saya lakukan. Dibanding mereka saya bukanlah apa-apa.
Cinta alam semesta dari diri sendiri. Tak banyak berharap pemerintah memberikan perubahan besar bagi mereka, namun dengan segala kemampuan mereka selalu berusaha memanfaatkan alam dan menjaga kelestariannya. Pohon pinus dan kayu jati yang berjejer di sepanjang jalan menambah suasana hangat jika kemarau datang. Beberapa menit di jalan pulang saya biasa menghentikan motor saya dan menikmati nyanyian burung serta hembusan angin yang menerobos sela-sela dedaunan. Nikmatnya udara yang belum tersentuh polusi itu bagi saya sangatlah mahal harganya.
Murid, warga, dan alam telah membekali saya banyak hal. Tutur sapa, berbagi dalam kesederhanaan, membantu dengan ketulusan, tak akan saya pelajari jika saya tak sampai di desa ini. Kebahagiaan itu ternyata bukan tentang kemewahan, namun penerimaan dalam kesederhanaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H