Umar abai dengan kebutuhan anaknya bermain, kebutuhan anaknya bersosialisasi dan lainnya. Hingga dia membelah bola plastik yang dibeli Sato Reang dengan menabung lebih dahulu, karena abai dengan waktu shalat. Juga membakar boneka panda yang dihadiahkan Sato pada adik perempuannya.
Bayang-bayang kata shalat menjadi identik dengan ketidaknyamanan bagi Sato. Dan itulah yang membuat dia tidak ingin melakukan shalat. Dia membakar bioskop di pasar tanpa merasa bersalah. Mengencingi apel-apel yang hendak dijual, juga mengajak anak kyai untuk melakukan segala yang dia lakukan, seperti nonton film porno, meminum miras dan lainnya.
Jamal, si anak kyai yang menerima ajakan Sato Reang dkk, akhirnya tewas ketika sedang mabuk. Ibunya merutuk dengan kata cukup menampar,"Enambelas tahun anakku hidup dalam kasalihan, kalian merusaknya dalam lima hari!"
Sebuah peringatan luar biasa bagi kita semua. Enam belas tahun selalu dipupuk untuk menjadi salih, Â dilibas habis hanya dalam lima hari. Betulkah ada keimanan kuat pada diri Jamal yang selama enambelas tahun hidup dengan label anak salih?
Tak hanya mempertanyakan kesalihan Jamal, setidaknya buku ini juga turut mempertanyakan diri sendiri, sudah seberapa kuat keimanan diri ini?
Meski buku ini hanya sekitar 133 halaman. Pelajaran yang bisa diambil melebihi halaman itu sendiri. Dan ketika usai saya baca, saya berkata dalam hati,"Alhamdulillah ayah rahimahullah  tidak seperti Umar dalam mendidik agama putra putrinya."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H