Aku memilih diamkan ibu, yang semakin hari semakin menjengkelkan dengan sikap kekanakannya, yang suka marah tak keruan, yang tak berhenti ngomel hanya karena aku salah menaruh sepatu. Entah di mana aku temukan ibu yang sabar, ibu yang pemaaf, ibu yang menenteramkan. Andai tak kuingat kata durhaka, aku akan membentaknya, membalas sakit hatiku.
Aku mengelus dada membaca tulisan seorang anak di sebuah media sosial. Bukan, bukan karena ibuku sempurna seperti yang diharapkan, tetapi bagaimana bisa dia hakimi ibunya secara terbuka, yang dibaca entah oleh berapa banyak manusia.
Sepanjang hidup, aku tinggal bersama ibuku. Melihat bagaimana ibuku bertumbuh dan bertumbuh dengan usia yang terus meranggas. Ibuku yang cantik, ibuku yang enerjik, ibuku yang memilih diam atas segala kezaliman yang dilakukan para perampas kebahagiaan.
Ibuku adalah anak bungsu, ibuku yang paling miskin di antara semua saudaranya, ibuku yang tak takut menegakkan harga diri sepanjang hidup dengan pantang meminta, pantang mencari perhatian pada siapa pun.
Ketika perpisahan tak terelakkan dengan bapak, hanya aku yang memilih ikut ibu. Meski aku tahu bila itu artinya aku harus mau hidup dalam kesederhanaan, dibanding bila memilih bapak. Berkali ibu katakan bila aku tak harus memilihnya, berkali pula kukatakan aku memilihnya.
Ibu yang terluka, tak sekalipun bercerita pada sesiapa. Dia memilih menjalani hari-hari sebagaimana seharusnya. Bekerja dari rumah dengan segala dagangan titipan orang, menjadi reseller, dan apa pun untuk menyambung hidup.
Tidak, ibuku tak bodoh ... karena pernah punya karir mentereng di sebuah perusahaan asing sebagai manajer. Dia dipaksa berhenti oleh bapak yang pencemburu. Tentu saja dia kecewa. Begitupun dia memilih diam dan melanjutkan peran sebagai ibu rumah tangga.
Ibuku pandai memasak, suka membaca hingga bukunya telah cukup untuk membuka perpustakaan kecil. Ibuku juga pintar membuat aksesoris atau pembatas buku unik untuk dijual. Ibuku tak henti bergerak.
Lepas dari bapak, ibu sempat menikah lagi, namun sembilan tahun kemudian berpisah. Kali ini Ibu yang diceraikan tanpa pemberitahuan apa pun. Bapak sambungku mulai berubah ketika melihat ibu mulai didera sakit.
Ibu difitnah, ibu dihina lewat pengacara lelaki pengecut itu. Ibu diam. Tidak, ibuku bukanlah orang yang pasrah. Ibu memang penyimpan derita terhebat yang kukenal. Tidak seperti ibu-ibu lain yang meski bersuami selalu saja mengeluh, dari hal-hal kecil hingga lainnya. Tidak dengan ibuku.
Ibu memang jadi pemarah dan impulsif setelahnya. Tak jarang aku juga menjadi pelampiasan kemarahannya.
Adalah kebohongan bila kukatakan aku tak terpengaruh, bahkan berniat meninggalkannya, sampai aku curhat pada seseorang.
"Ibumu punya luka, Nak. Bukan hanya luka dari bapak atau bapak sambungmu. Ibumu tak pandai berkata atau mengeluh. Semua disimpan sendiri ... andai dada itu bukan bikinan Allah, bisa jadi sudah meledak dari dulu. Ibumu menahan deritanya sendiri ... ingatlah, seorang ibu akan selalu menyayangi dan menerima anaknya apa pun keadaannya. Jadi, berusahalah untuk memahami ibumu dan bersabar."
Aku menitikkan air mata, mengingat hampir menyerahnya diri ini. Terlebih ketika melihat ibu telah tidur. Di wajahnya yang telah mulai turun, aku melihat bagaimana dia bertahan dari gempuran hinaan, fitnahan dan lainnya tanpa menangis, atau melawan. Ibu memilih menyingkir dan hanya mengadu pada Allah.
Aku melihat lampu di kamarnya selalu menyala setiap pukul dua dinihari. Mendengar ibu mengaji lirih hingga subuh. Dan setelahnya keluar untuk membereskan rumah dan memasak. Dalam  keadaan pas-pasan, ibu tak pernah lupa bersedekah, juga memberi makan kucing liar.
Dijauhi saudara dan kerabat karena kemiskinan kami, ibu tak sekalipun terlihat gusar. Tak diundang ketika mereka punya hajat pun ibu tak peduli. Bahkan ketika hendak diberi baju bekas dan tas mereka yang katanya lebih bagus dibanding milik ibu, ibu menolak. Membuat mereka tersinggung dan menganggapnya sombong.
Ibu diam.
Bagaimana aku bisa menghakimi ibuku sendiri? Perempuan yang tak memiliki pengalaman sebagai ibu sebelumnya. Tak memiliki pengalaman menghadapi pahitnya kehidupan. Dia hanya berjalan dan terus berjalan menjalani semua, tanpa takut apalagi harus menunduk pada yang sok berkuasa.
Setelah kubelikan rumah, ibu berkata,"Ibu tak mau hidup denganmu ketika kau sudah menikah nanti. Ibu tak mau ikut campur pada kehidupan rumah tanggamu, apalagi untuk kau titipi anakmu. Ibu mau kau menjadi manusia yang tahu betul arti konsekuensi sebuah perbuatan, sekecil apa pun. Berani menikah, berani hidup mandiri. Berani mengambil keputusan mempunyai anak, maka beranilah juga dengan konsekuensinya untuk merawat dan membesarkan bersama istrimu, bukan untuk kau titipkan pada siapa pun. "
Ibuku sudah melanglang derita sepanjang hidupnya. Tidak dengan meratapi, tetapi dia jalani. Ibu sadar, bahwa beginilah hidup berlaku. Pada dua kuadran yang tak putus, diantara sedih dan gembira, diantara menemukan dan melepaskan.
Ibu tak suka sok alim, sok ini atau itu. Baginya diam adalah kunci terbaik untuk meluruhkan segala. Tak membalas ketika dihina, difitnah. Tak berkomentar ketika dihakimi. Ibu hanya mendengar, lalu memilih pergi.
Walau tantrum itu kadang masih terjadi, aku tak lagi marah apalagi jengkel. Kesakiatan demi kesakitan yang pernah ibu terima, jadi ladang kesabaran yang selalu kusuburkan. Karena dibalik semua itu, ibu adalah perempuan tak tertandingi, ataupun terkalahkan.
Kau tahu kenapa? Ibuku tak pernah berusaha menjadi orang lain. Itulah kenapa aku mantap memilihnya sampai kapan pun. Dia perempuan utamaku, tak ingin kugantikan dengan  perempuan mana pun.
Aku tak menikah ... bukan karena apa pun, karena aku tak mau ibu terluka lagi dengan persaingan menantu perempuan dan mertua.
Catatan anak lelaki ibu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H