Mohon tunggu...
Rina R. Ridwan
Rina R. Ridwan Mohon Tunggu... Penulis - Ibu yang suka menulis

Pembelajar Di Sekolah Kehidupan Novel: Langgas (Mecca, 2018) Sulur-sulur Gelebah (One Peach Media, 2022) Kereta (Mecca, 2023) IG: rinaridwan_23

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Penyimpan Derita Terhebat

22 Desember 2024   07:42 Diperbarui: 22 Desember 2024   07:42 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Adalah kebohongan bila kukatakan aku tak terpengaruh, bahkan berniat meninggalkannya, sampai aku curhat pada seseorang.

"Ibumu punya luka, Nak. Bukan hanya luka dari bapak atau bapak sambungmu. Ibumu tak pandai berkata atau mengeluh. Semua disimpan sendiri ... andai dada itu bukan bikinan Allah, bisa jadi sudah meledak dari dulu. Ibumu menahan deritanya sendiri ... ingatlah, seorang ibu akan selalu menyayangi dan menerima anaknya apa pun keadaannya. Jadi, berusahalah untuk memahami ibumu dan bersabar."

Aku menitikkan air mata, mengingat hampir menyerahnya diri ini. Terlebih ketika melihat ibu telah tidur. Di wajahnya yang telah mulai turun, aku melihat bagaimana dia bertahan dari gempuran hinaan, fitnahan dan lainnya tanpa menangis, atau melawan. Ibu memilih menyingkir dan hanya mengadu pada Allah.

Aku melihat lampu di kamarnya selalu menyala setiap pukul dua dinihari. Mendengar ibu mengaji lirih hingga subuh. Dan setelahnya keluar untuk membereskan rumah dan memasak. Dalam  keadaan pas-pasan, ibu tak pernah lupa bersedekah, juga memberi makan kucing liar.

Dijauhi saudara dan kerabat karena kemiskinan kami, ibu tak sekalipun terlihat gusar. Tak diundang ketika mereka punya hajat pun ibu tak peduli. Bahkan ketika hendak diberi baju bekas dan tas mereka yang katanya lebih bagus dibanding milik ibu, ibu menolak. Membuat mereka tersinggung dan menganggapnya sombong.

Ibu diam.

Bagaimana aku bisa menghakimi ibuku sendiri? Perempuan yang tak memiliki pengalaman sebagai ibu sebelumnya. Tak memiliki pengalaman menghadapi pahitnya kehidupan. Dia hanya berjalan dan terus berjalan menjalani semua, tanpa takut apalagi harus menunduk pada yang sok berkuasa.

Setelah kubelikan rumah, ibu berkata,"Ibu tak mau hidup denganmu ketika kau sudah menikah nanti. Ibu tak mau ikut campur pada kehidupan rumah tanggamu, apalagi untuk kau titipi anakmu. Ibu mau kau menjadi manusia yang tahu betul arti konsekuensi sebuah perbuatan, sekecil apa pun. Berani menikah, berani hidup mandiri. Berani mengambil keputusan mempunyai anak, maka beranilah juga dengan konsekuensinya untuk merawat dan membesarkan bersama istrimu, bukan untuk kau titipkan pada siapa pun. "

Ibuku sudah melanglang derita sepanjang hidupnya. Tidak dengan meratapi, tetapi dia jalani. Ibu sadar, bahwa beginilah hidup berlaku. Pada dua kuadran yang tak putus, diantara sedih dan gembira, diantara menemukan dan melepaskan.

Ibu tak suka sok alim, sok ini atau itu. Baginya diam adalah kunci terbaik untuk meluruhkan segala. Tak membalas ketika dihina, difitnah. Tak berkomentar ketika dihakimi. Ibu hanya mendengar, lalu memilih pergi.

Walau tantrum itu kadang masih terjadi, aku tak lagi marah apalagi jengkel. Kesakiatan demi kesakitan yang pernah ibu terima, jadi ladang kesabaran yang selalu kusuburkan. Karena dibalik semua itu, ibu adalah perempuan tak tertandingi, ataupun terkalahkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun