Dalam dua hari ini, saya kehilangan dua anak kucing yang sudah menjadi keluarga kami, Bogum dan Woobin namanya. Bagi para pecinta hewan, tentu tahu bagaimana rasanya. Sementara yang bukan, menganggap kematian hewan sebatas kematian biasa, bahkan dianggap alay bila menyaksikan kami menangis sedih.
Selama ini, kucing di rumah mati karena faktor umur, dan luka akibat berkelahi yang parah. Baru kali ini kami harus menyaksikan mereka meregang nyawa akibat wabah Feline Panleukopenia Virus (FPV). Virus yang sangat agresif menyerang. Merusak saluran pencernaan, sumsum tulang, dan kelenjar pertahanan tubuh. Tepatnya menyerang leukosit pada sistem kekebalan tubuhnya.
Kucing yang dikenal sebagai hewan solitaire, suka kebersihan, sangat rentan terhadap virus yang medium penularannya dari air liur, muntahan, dan feses. Selain itu, penularan juga bisa terjadi saat pemilik memegang kucing yang sakit lalu memegang kucing lain yang masih sehat. Itulah mengapa, kucing yang sakit harus diisolasi di ruangan yang terpisah.
Biasanya, setiap kali saya membuka lemari es, semua berkumpul tanpa dipanggil dan melakukan paduan suara, bahkan berusaha memanjat di kaki saya. Mereka tahu, bahwa saya akan  membuka makanan kaleng kesukaannya. Tetapi pagi itu, salah satu dari mereka tak peduli, dan hanya menatap dari kejauhan.
Ternyata itu menjadi awal salah satu gejalanya. Kemudian kucing mulai muntah, dan tak lagi mau membersihkan badannya sendiri. Membuat bulunya menjadi kusam. Pada kucing yang sehat, dia rajin grooming badan sendiri. Gejala lainnya adalah bau mulut dan bau badan yang kurang sedap. Saya tetap bersihkan perlahan-lahan.
Mengunjungi dokter adalah hal yang tak bisa ditawar lagi. Dan ketika dinyatakan kena virus ini, yang di rumah langsung kami isolir di kandang yang sudah dibersihkan dan disemprot disenfektan. Dokter memberikan infus juga suntikan. Bahkan harus rawat inap. Sayangnya, saat yang satu sudah positif kena, ternyata yang lain mulai menunjukkan gejala yang sama.
Ada antibiotik yang harus diminum. Semua makanan dan obat hanya bisa diberikan dalam bentuk cairan. Yang tak boleh diabaikan juga, kucing mengalami stress dan depresi, hingga kita tetap harus memberi perhatian dan kasih sayang selama dia sakit.
Dokter mengatakan bila masa inkubasi virus adalah selama 14 hari dengan masa penyembuhan selama lima hari. Yang tak terlupakan adalah ketika tiba-tiba saja kucing suka duduk diam di dekat tempat airnya. Menurut yang saya baca dia mencari tempat yang sejuk dikarenakan suhu badannya yang tinggi, juga karena stress dan depresinya.
Ketika si Bogum di tahapan itu tengah malam, hati saya sudah tak keruan. Saya menjaga dan terus berusaha membuatnya nyaman, sembari terus memberinya cairan pendukung. Dia juga sudah tak mampu menahan poopnya, hingga bercecer kamana-mana. Saya langsung bersihkan. Sampai akhirnya siang itu, dia sudah tak mampu bertahan. Bogum pergi dalam pelukan saya usai memberikan cakaran terakhirnya di lengan.
Tak lama kemudian kami kuburkan, dan kami membersihkan semua barang bekas yang dipakainya. Kami merawat yang lain, sayangnya hanya dalam tempo dua belas jam, kucing kami yang lain, si Woobin, menyusul kakaknya.
Hingga saat ini, penyakit ini belum ada obatnya. Pencegahan terbaik adalah kucing bisa divaksin untuk mendapatkan perlindungan dari feline panleukopenia. Vaksin diberikan sejak usia 8-10 minggu atau setelah lepas masa sapih dari induknya. Perlu diingat, sebagaimana manusia, kucing harus divaksin dalam kondisi benar-benar sehat untuk mendapatkan hasil yang maksimal.
Yang paling rentan terkena, sekaligus kematian tertinggi terjadi pada kucing yang berusia 2 -- 7 bulan. Anak-anak kucing di rumah masih berusia 2,5 bulan.
Kami sudah berikhtiar, dari menjaga kebersihan, memberi makanan terbaik, susu, vitamin, juga vaksinasi. Allah punya kuasa. Setidaknya kami mendapat pelajaran dari kejadian ini. Bahwa penyakit, apa pun namanya bisa datang kapan saja dan bisa menimpa siapa saja.
Saya juga bisa membayangkan bagaimana lelahnya tenaga medis yang terus berusaha menjaga kehidupan para pasien di masa pandemi ini. Mereka tak mengenal pasien secara personal, tetapi terus berusaha memberi yang terbaik untuk kesembuhannya, sesuatu yang sangat mulia.
Ya, saya menangis melepas kepergian anak-anak kucing yang sedang bertumbuh dengan segala kelucuannya. Dari memanjat apa saja, berlarian dan berkejaran, hingga saling berebut untuk tidur dalam pangkuan bila saya sedang menulis hingga larut malam.
Paduan suara di depan lemari es itu kini tak terdengar lagi. Juga suara gerudukan mereka saat berlari saling berkejaran. Belum lagi suara kuku mereka dikerat pada sandal, kardus dan kursi. Hal-hal kecil menjadi begitu besar maknanya saat yang melakukannya sudah tiada.
Semoga cerita kecil ini bisa jadi peringatan bagi para pecinta hewan, khususnya kucing.
Selamat jalan, anak-anak buluku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H