Mohon tunggu...
Rina R. Ridwan
Rina R. Ridwan Mohon Tunggu... Penulis - Ibu yang suka menulis

Pembelajar Di Sekolah Kehidupan Novel: Langgas (Mecca, 2018) Sulur-sulur Gelebah (One Peach Media, 2022) Kereta (Mecca, 2023) IG: rinaridwan_23

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Hidupkan Aksara hingga di Pusara

8 September 2020   07:23 Diperbarui: 8 September 2020   07:20 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aksara, dimaknai sebagai tanda. Bukan sekadar tanda yang dikenali, namun bisa berarti juga sebagai cahaya.

Aksara, juga dimaknai sebagai huruf, yang jika dirangkai akan menghasilkan sebuah petunjuk. Entah dikemas dalam sebuah buku, sebuah rambu dan lainnya.

Melek aksara menjadi sebuah keharusan, karena dari sanalah jembatan ilmu terbentang. Tanpa aksara, ilmu hanya terbatas untuk disebar lewat pembicaraan, yang semakin jauh akan diragukan kebenarannya. Mulut bisa menjadi berkurang, juga berlebih. Berbeda dengan yang sudah dituliskan lewat buku.

Ilmu adalah cahaya. Yang menjadi penerang perjalanan kita di dunia hingga di akhirat. Semuanya butuh ilmu. Dari hal terkecil, terlebih untuk hal besar. Tanpanya, perjalanan akan tersendat, terjal dan tak jarang tak pernah tiba dengan selamat.

Ilmu juga menjadi kebutuhan dasar setiap diri. Menjadi kewajiban untuk terus mencarinya yang harusnya tak terbantahkan. Ia akan memuliakan bagi yang menggunakan di jalan kebaikan, menjadi sebaliknya bila digunakan di jalan sebaliknya juga.

Ketika ilmu terus dicari dan dipahami, maka banyak temuan yang akan memperkaya bekal menuju pulang dengan selamat. Tentu saja ilmu yang bermanfaat. Banyak mencari ilmu, semakin menyadarkan, betapa sedikitnya yang kita tahu. Sebagaimana kata Imam Syafi'i.

"Dan semakin bertambah ilmuku, semakin bertambah pula pengetahuanku atas kebodohanku."

Tanpa kehendak mencari ilmu, maka semakin bising dunia di sekitar dengan beraneka pengaruh yang tak jarang membingungkan. Ilmu juga harus diiringi dengan kebijaksanaan. Tanpa kebijaksanaan, ilmu bagaikan air di pasir.

Memang ada kelelahan saat mencari ilmu, tetapi jauh lebih baik daripada kita menjadi manusia yang melelahkan bagi manusia lain. Adanya perjuangan, ada pula hasil yang tak mendustai.

Literasi, yang diartikan sebagai kemampuan menulis dan membaca, menjadi dasar yang harus terus dihidupkan di mana saja, dan oleh siapa saja. Kenapa harus ada survey tentang tingkat tinggi rendahnya literasi negara-negara di dunia. Karena banyak sekali pengaruhnya.

Berlomba orang menginginkan anak-anaknya mendaki puncak kehidupan terbaik lewat kemampuan membaca, menulis, serta memahami beragam ilmu yang di ajarkan di sekolah. Beruntunglah yang memiliki kemampuan itu. Lalu, apakah hanya sampai di situ?

Ilmu juga wajib dibagi. Baik secara pribadi, kelompok dan juga secara umum. Di belahan dunia mana pun, selalu ada yang membutuhkan. Atas rasa malu karena merasa tua untuk belajar, atas ketidakmampuan membiayai sekolah, dan atas segala keadaan yang tak mampu dikendalikan.

Jangan pernah merasa cukup untuk mendapatkan ilmu, karena ilmu itu terus berkembang. Selalu ada hal baru yang bisa dipelajari. Selalu ada kejadian baru yang bisa diambil pelajaran. Itulah kenapa yang namanya berita, tak pernah berhenti dikabarkan selama 24 jam keseharian kita.

Pernahkah terbayang bila kita tak bisa membaca, mengakses atau juga tak peduli pada ilmu yang tak henti hadir sepanjang kehidupan ini? Semua akan terasa gelap dan menyesatkan.

Pada ilmu yang dianggap usang, bisa kembali dalam versi yang lebih canggih. Yang dianggap belum terjangkau pun, pada akhirnya juga tiba pada kita. Semua bisa terjadi bila kita mau untuk terus membaca, terus belajar.

Pada kemampuan yang dianggap berlebih, bisa membagikannya lewat tulisan, agar semakin banyak yang mendapat manfaatnya. Jangan sampai cahaya itu redup karena kesombongan atau juga kemalasan kita. Terlebih karena merasa sudah cukup, juga merasa sudah tua.

Tak ada istilah muda dan tua untuk mencari ilmu. Yang berhenti di jalan, akan terlewati oleh yang terus berjalan, bahkan bisa terlindas oleh yang berlari kencang. Ingat, tak ada kata terlambat untuk terus belajar.

Menyadari betapa bodohnya diri dengan terus belajar, jauh lebih baik, daripada merasa pintar yang membuat berhenti belajar. Kebodohan adalah kegelapan. Dia bersuara dan berjalan tanpa tujuan yang jelas.  Tak ada yang lebih menyengsarakan dibanding dengan kebodohan yang dibanggakan.

Betapa zaman selalu menampilkan sisi-sisi pembelajaran. Baik yang tersirat juga tersurat. Bagi seorang pembelajar aktif, dia tak butuh waktu lama untuk mengenali yang sedang terjadi sembari mencari solusi. Tetapi bagi yang tak suka belajar, dia hanya mengandalkan apa yang dilihatnya tanpa mau berpikir, maka kecelakaan besar bisa menimpanya kapan saja, hingga dia sadari kelalaiannya.

Terharap selalu, setiap waktu akan semakin yang menyadari betapa pentingnya literasi bagi kehidupan ini. Melek aksara, meleklah ilmu, yang akan jadi penerang hingga tiba di tujuan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun