Mohon tunggu...
Rina R. Ridwan
Rina R. Ridwan Mohon Tunggu... Penulis - Ibu yang suka menulis

Pembelajar Di Sekolah Kehidupan Novel: Langgas (Mecca, 2018) Sulur-sulur Gelebah (One Peach Media, 2022) Kereta (Mecca, 2023) IG: rinaridwan_23

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Renungan Kecil di Akhir Minggu

13 Juni 2020   09:23 Diperbarui: 13 Juni 2020   09:25 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiap hari, kita disuguhkan beragam peristiwa yang terangkum dalam berita. Setiap hari juga kita dilintasi kejadian di sekitar tanpa kita minta, atau juga buah dari apa yang memang kita tanam sebelumnya. 

Setiap hari kita mendengar, berbicara, juga melihat, tetapi adakah semua itu memberi pelajaran pada kita? Adakah menyadarkan kita pada hal kecil yang sering kita abaikan?  Waktu yang tak lagi kembali, usia yang terus menuju pada ujungnya, adakah turut menjadi pemikiran?

Rasisme, kezaliman, kesombongan, dan ketidak adilan di dunia ini, adakah mengusik nurani kita? Atau kita hanya biarkan saja, hanya karena tak terjadi atau menimpa kita.

Berapa banyakkah kepedulian, juga berapa banyakkah yang tak peduli, hanya karena tak menimpanya?

Tak semuanya mau belajar sejarah. Kejadian yang dianggap kuno dan tak relevan dengan keadaan, serta dianggap membuang waktu semata. Padahal, jika kita mau sedikit saja berpikir pada apa yang sedang terjadi atau juga nanti terjadi, semua kembali dan kembali pada kejadian masa lalu yang kita anggap sebagai sejarah.

Rasisme sudah terjadi sejak dahulu. Bukanlah hal yang baru. Bagaimana seorang budak kulit hitam bernama Bilal bin Rabah disiksa karena beda keyakinannya dengan tuannya, dibebaskan dan diperlakukan setara oleh Rasulullah karena keimanannya. Karena dalam Islam yang menjadikan manusia mulia bukanlah kulit, wajah indah atau dari mana dia berasal, tetapi keimanannya.

Rasisme akan terus terjadi sepanjang adanya kehidupan ini. Walau segala penyebab telah terbuka, tak semua manusia mampu seterbuka itu hatinya menerima perbedaan.

Kezaliman, sejak dulu juga sudah ada dan terjadi. Hanya karena secuil kekuasaan, mereka membelokkan kebenaran dengan suka hatinya, mengikuti kehendak diri untuk dijadikan sebagai hukum bagi yang lain. Pelaku kezaliman mengambil peran dan kuasa Tuhan. Mereka tidak memiliki keberanian berjalan sendiri. Mereka menembus pekatnya hati yang bengis dalam berbagai rupa.

Satu hal yang pasti, mereka lupa, bahwa nyawa sendiri tak mampu mereka kuasai ujungnya. Lupa bahwa kekuasaan mereka hanyalah sebatas kabut yang pasti akan hilang saat matahari terbit dan bersinar. Juga lupa, bahwa ada Sang Maha Adil nantinya yang akan mengadili sekecil apa pun kezaliman yang telah mereka perbuat.

Kesombongan dipertontonkan setiap hari, dari cara yang samar hingga yang terang benderang. Kesombongan adalah selendang Allah, pakaian Allah. Beraninya mereka menggunakannya. Melupakan, bila kesombongan, sekecil apa pun akan menjegal jalan mereka menuju surga. Kembali ... penyakit hati merasa lebih baik, lebih cantik, lebih kaya, atau juga lebih pintar, menguasai.

Pun dengan ketidak adilan, semua hanya karena adanya kekuasaan secuil yang sedang mereka pegang. Bukan amanah yang dilakukan, tetapi malah mempermainkan hukum sesuai dengan kemauan dan kesepakatan dengan para kroninya. Tak ada dalam benak mereka bila apa yang menimpa seseorang bisa juga menimpa dirinya, atau keluarganya suatu hari nanti. Menganggap ringan semuanya saat dirinya masih kuat dan mampu.

Bukankah segala kejadian itu terus terjadi dalam putaran kehidupan di dunia ini?

Rasisme, kezaliman, kesombongan juga ketidak adilan. Adakah sesuatu yang baru dari apa yang terjadi sekarang? Tidak. Karena dunia selalu berputar, sebagaimana kehidupan ini, yang akan terus bergerak dan menggantikan. Yang muda menjadi tua, yang mati digantikan yang hidup. Tak perlu jauh mencari kebenaran sebuah perputaran. 

Lihat bagaimana diri sendiri, bagi yang dikaruniai usia panjang dan menjadi tua. Pastinya merasakan betapa kekuatan tubuh yang dulu dibanggakan semakin melemah, kecantikan juga memudar. Belum lagi kelakuan kembali seperti anak-anak. 

Dulunya kita yang menyuapi, kini kita yang disuapi. Dulunya kita yang mengajar untuk mengingat, sekarang kita yang diajarkan untuk mengingat. Lalu adakah hati Anda, para pelakunya masih hidup dan berfungsi?

Belajarlah dari yang pernah terjadi, bahwa kekuasaan sebesar apa pun, tidak akan pernah mampu memutus sambungan jiwa manusia yang berakal sehat untuk bersatu dan berjuang melawan kesewenang-wenangan.

Belajarlah juga dari sejarah, sebelum sejarah yang akan mengajarkan Anda bagaimana pergerakan sejati kehidupan ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun