Hari-hari ini kembali kita disuguhkan tontonan bagaimana ibu yang sudah memiliki suami baru berseteru dengan anak-anaknya sendiri.
Bukan hal yang baru. Sebagaimana waktu lalu ketika anak berseteru dengan ayahnya yang sedang menjalin kasih dengan perempuan selain ibunya.
Begitu luar biasa pengaruh media sosial yang semakin hari terlihat juga bisa menjadi media susila.
Perceraian selalu membawa dampak, karena selalu ada yang terluka. Baik luka itu dirasakan terang-terangan, ataupun disembunyikan. Ada yang mampu segera melangkah dan tak lagi ingin melihat bayangan di belakangnya, namun juga sebaliknya.
Apa yang terjadi pada pesohor ini sebenarnya tak akan meledak hebat andai ada kedewasaan pada yang memang sudah harus dewasa, bukan ikut-ikutan menjadi kekanakan dan menjadikan media sosial sebagai bagian perseteruan.
Mereka lupa bila mengunggah apa pun di media sosial, butuh filter karena tak semua orang memahami bahasa tulisan, juga punya reaksi yang beragam. Semua ada konsekuensinya.
Siapapun punya hak memperjuangkan kebenaran yang dia yakini, tetapi jangan hanya bisa meyakini sebelum Anda juga imbangi dengan introspeksi diri. Karena semua saling terkait. Ada sebab, ada akibat.
Orang tua tak selalu benar, sebagaimana anak juga tak selalu salah. Jika anak dianggap durhaka hanya karena dianggap tidak sopan, bagaimana dengan orang tua yang juga sudah melakukan hal yang sama, dengan mengkhianati janji suci perkawinan? Apakah itu sebuah kesantunan? Bukankah mereka juga sudah memerlihatkan kedurhakaan?
Harusnya yang sudah merasa tahu tentang sopan santun, juga menjadi manusia yang demikian. Bukan hanya bisa menuntut orang lain berbuat sopan padanya.
Sebagai orang yang pernah merasakan dampak sebuah perceraian, saya bisa memahami kebingungan anak yang sudah remaja ini menghadapi sang ibu. Didekati memberi batasan, tak diacuhkan memberi kutukan.
Sudah bagus, sang anak mau menerima perusak mahligai rumah tangga orang tuanya. Tak pernah mengatakan hal buruk pada orang tersebut.
Ironisnya, sekarang orang tersebut menjadi pihak yang merasa paling suci hingga berani memaki-maki mereka.
Saya membaca, bila ada peraturan tak tertulis jika seorang janda dan duda menikah dengan membawa paket anak masing-masing yang harusnya mereka tahu. Bahwa masing-masing mereka tak boleh memberi hukuman, apalagi sampai caci maki pada selain anak-anak mereka sendiri.
Perlu diingat, bahwa sebaik apa pun Anda sebagai orang tua sambung, tetaplah ada batas yang tak boleh dilanggar seenaknya. Karena yang paling tahu 'kenakalan' anak adalah orang tuanya sendiri, juga bagaimana menertibkan mereka.
Terlebih jika orang tua sambung itu masuk dengan cara yang menyakitkan, seperti lewat perselingkuhan.
Sadari, bila Anda itu pembuat luka anak-anak yang akhirnya harus melihat orang tuanya bercerai.
Jangan lagi memperburuknya dengan menjadikan mereka sebagai seteru mereka. Bukan rasa hormat yang akan Anda dapatkan, tetapi sebaliknya.
Ingatlah, menjadi orang tua sambung tak serta merta melegalkan diri Anda untuk menghukum anak-anak sambung Anda!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H