Mohon tunggu...
Rina R. Ridwan
Rina R. Ridwan Mohon Tunggu... Penulis - Ibu yang suka menulis

Pembelajar Di Sekolah Kehidupan Novel: Langgas (Mecca, 2018) Sulur-sulur Gelebah (One Peach Media, 2022) Kereta (Mecca, 2023) IG: rinaridwan_23

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kesabaran dan Kesadaran di Tengah Pandemi

1 Mei 2020   18:52 Diperbarui: 1 Mei 2020   18:59 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dua bulan sudah kita semua banyak berada di rumah. Hampir semuanya harus dilakukan di rumah. Dari bekerja, sekolah hingga beribadah. Beberapa kota juga sudah melakukan PSBB. Terutama yang sudah masuk zona merah, di mana penderita covid-19 cukup banyak.

Melihat perkembangan covid-19 di Indonesia, akhirnya larangan pulang kampung dibuat.

Tak semua manusia punya kesabaran. Tak semua manusia punya kesadaran. Hingga tak lagi mampu membedakan di mana kebaikan, dan sebaliknya. Yang tak terbantahkan, selalu ada hikmah di balik setiap kejadian. Baik kejadian sehari-hari, juga kejadian seperti pandemi ini.

Terlihat betapa nyawa menjadi begitu berharga, saat virus menyerang hampir ke seluruh dunia. Sebagian panik, sebagian lagi bersikap waspada, dan sebagian lagi bersikap masa bodoh. Begitulah manusia dengan segala karakternya.

Dari apa yang sudah terjalani, terlihat betapa tak semua mampu bertahan di rumah saja dalam waktu yang cukup lama. Gejala halu merebak subur. Dari yang awalnya hanya berniat mengisi kegabutan dengan bersenang-senang lewat aplikasi, di mana bisa bergoyang sendiri atau sekeluarga, bahkan para napi yang dikeluarkan juga melakukannya. Hingga membuat video-video lucu dengan beragam aplikasinya.

Tak ada yang kebal menjadi gila, terbukti sudah. Dari anak-anak hingga orang tua. Semua bisa menjadi halu hanya karena banyak di rumah. Bukti bila bertahan di rumah butuh kekuatan. Padahal sebelumnya, banyak sekali para lelaki juga perempuan yang punya karir bagus, dan merasa hebat menjadi tulang punggung dengan selalu keluar untuk bekerja mengolok-olok para ibu rumah tangga atau siapapun yang tak bekerja dengan kalimat."Kamu sih enak, cuma di rumah doang dan tinggal terima uang!"

Sekarang saat mereka di rumahkan, baru tahu bahwa untuk di rumah terus itu bukan sesuatu yang enak dan mudah. Masih mau sepelekan orang yang memang harus di rumah? entah itu yang memang seorang ibu rumah tangga, para orang tua di panti jompo dll.

Tak ada satu pun manusia yang boleh merasa lebih baik dari yang lain. karena setiap diri punya perjuangan sendiri atas apa yang dia jalani. Yang bekerja, juga yang masih menganggur. Yang selalu di luar, juga yang selalu di rumah.

Pandemi ini menguak banyak sekali pelajaran, antara lain:

  • Bahwa apa yang kita makan memang sangat mempengaruhi kesehatan kita. Baik kesehatan jiwa, juga raga.
  • Tak ada yang lebih baik dari yang lain dalam menjalani peran di rumah atau di luar rumah.
  • Kelimpungan membayar kredit bagi para pelakunya juga menjadi pelajaran, untuk tak memaksakan diri membeli sesuatu bila tak miliki kemampuan membayar lunas. Dunia dipenuhi dengan ketidak pastian, di mana pun itu Anda tinggal. Satu-satunya yang pasti di dunia ini hanyalah mati.
  • Kesehatan jiwa itu tak kalah pentingnya dengan kesehatan tubuh kita. Saat pikiran kita sudah sakit, maka tubuh hanya menunggu waktu untuk mengikutinya.
  • Tak banyak manusia yang tahu bagaimana mengisi kegabutan. Bagaimana menyesuaikan diri dengan cepat pada keadaan yang tak terduga.

Dan entah apa lagi, bisa Anda tambahkan sendiri.

Banyak yang merutuk keadaan. Entah berapa banyak juga yang langsung bermuhasabah dan memilih bersabar. Masing-masing punya kebutuhan, baik yang tak bisa ditunda seperti rasa lapar, juga kebutuhan yang bisa ditunda, tetapi maunya dilakukan juga saat ini.

Pandemi telah banyak menampakkan karakter sesungguhnya setiap pribadi. Yang memang pemurah, tak menunggu yang lain, langsung bergerak dan berinisiatif membantu siapa saja dengan apa yang dimilikinya. Yang bakhil menutup diri. Yang suka perhatian, menunggu momen untuk bisa kabarkan pada semua orang betapa baiknya dia dengan segala aksinya. Yang bersabar memilih tetap berikhtiar. Yang nafsi-nafsi terlihat panik dengan tagihan cicilan rumah, mobil dan lainnya yang selama ini menopang gaya hidup yang dipaksakannya sendiri. Yang mental pengemis tak kalah banyaknya muncul dalam beragam ujud.

Pandemi di bulan suci Ramadan ini tak akan terlupakan. Saat setiap ibadah dilipatgandakan pahalanya, semua harus dilakukan di rumah. Semua ada maksudnya. Tetap berpikir baik. Karena dengan kejadian ini, keluarga jadi berkumpul dalam waktu yang cukup lama. Yang mungkin biasanya apatis, kini bisa saling mengingatkan untuk sama-sama menjaga kebersihan. Yang tadinya tak tahu bagaimana ribetnya menyusun menu harian dan memasaknya, jadi tahu. Begitu juga yang tadinya apatis dengan harga-harga kebutuhan dasar, akhirnya jadi ikut tahu, mengingat yang berpenghasilan pas-pasan juga harus menghitung agar keluarganya masih bisa makan.

Bagi yang keuangannya tak terbatas, seharusnya banyak bersyukur dan mau berbagi. Jika tidak, ada baiknya menahan diri untuk tidak memamerkan segala yang bisa mereka dapatkan. Banyak yang kurang seberuntung Anda, maka berempatilah. Ini masalah global.

Saatnya saling peduli, saling melihat kanan kiri, depan belakang, pada tetangga juga pada saudara yang mungkin sedang kesulitan. Bahkan jika Anda tinggal di daerah elite sekalipun, tengoklah kampung di sekitar lingkungan, siapa tahu ada yang membutuhkan sedikit bantuan Anda. Tak ada ruginya menolong orang lain, tanpa melihat siapa dia, selama dia masih manusia. Menolong orang lain, sama artinya Anda juga menolong diri sendiri.

Teruslah bergerak walau Anda di rumah. Gerakkan batin agar terasah dengan melihat lebih dalam pada situasi yang serba tak pasti ini. Jangan hanya mendengar slogan, saatnya bersatu melawan covid-19, namun laksanakan dalam realitas.

Satu pesan yang saya baca pagi tadi, semoga membuat kita mampu terus berada dalam kesadaran dan kesabaran.

"Tidaklah Allah melambatkan suatu perkara, kecuali untuk kebaikan. Tidaklah Allah menghalangimu terhadap sesuatu, selain untuk kebaikan. Tidaklah Allah timpakan ujian padamu, kecuali untuk kebaikan Maka jangan sedih, Allah Pemilik kebaikan takkan datang kecuali dengan kebaikan."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun