Mohon tunggu...
Rina R. Ridwan
Rina R. Ridwan Mohon Tunggu... Penulis - Ibu yang suka menulis

Pembelajar Di Sekolah Kehidupan Novel: Langgas (Mecca, 2018) Sulur-sulur Gelebah (One Peach Media, 2022) Kereta (Mecca, 2023) IG: rinaridwan_23

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Kemarahan

12 Februari 2020   08:59 Diperbarui: 12 Februari 2020   09:01 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemarin, terjadi kehebohan dengan kejadian saling melempar kursi pada sebuah konggres yang isinya kaum terpelajar.

Membuat saya teringat kalimat dari Robert Green Ingersoll,"Amarah adalah angin yang memadamkan cahaya lentera yang menerangi pikiran."

Jadi kemarahan memang bisa menyulut siapa saja, baik yang terpelajar, ataupun tidak.

Bukan hal yang mengherankan sebenarnya, karena dalam beberapa tahun terakhir ini, kemarahan sudah jadi bagian keseharian negeri ini.

Kemarahan, yang berasal dari kata marah, adalah suatu emosi yang secara fisik mengakibatkan antara lain peningkatan denyut jantung, tekanan darah, serta tingkat adrenalin dan noradrenalin. Kemarahan juga dapat memobilisasi kemampuan psikologis untuk tindakan korektif.

Mengapa kemarahan sekarang makin mudah tersulut?

Sebagaimana kita ketahui, sejak beberapa tahun terakhir ini, tercipta dua kubu dengan julukan masing-masing, yang hampir setiap hari membuat gaduh. Dua kubu ini dipenuhi dengan manusia dengan beraneka latar belakang pendidikan.  Jika diamati, kedua kubu ini sama-sama meluahkan kemarahan. Yang satu marah dengan situasi yang tidak sesuai dengan yang dijanjikan, yang satu marah karena alasan yang lain.

Kritik, saran atau apa pun namanya, berujung dengan tersulutnya kemarahan demi kemarahan. Hingga akhirnya kata kritik dan saran diserupakan dengan sebuah kenyinyiran.

Masyarakat lain, juga semakin banyak yang mudah marah, karena semakin sulitnya kehidupan. Banyaknya korupsi yang dibiarkan, dan jadi tontonan semata. Yang jujur menjadi hancur, yang curang dinaikkan dan didukung, karena melakukannya beramai-ramai.

Harga kebutuhan pokok yang semakin mencekik, bahkan untuk berobat pun, iuran terus dinaikkan karena salah kelola. Yang tak bersalah dibebankan untuk membayarnya, sementara yang bersalah dibiarkan untuk terus mengisi penuh pundi-pundinya untuk bisa menghilang, atau kabur ke luar negeri. Subsidi untuk rakyat terus dicabut, sementara untuk yang lain malah diberikan begitu besar.

Beberapa pakar mendefinisikan marah, sebagai emosi yang muncul karena adanya persepsi ketidak adilan.

Terjadi semakin banyaknya perundungan, kekerasan baik secara verbal atau fisik, tak lepas dari semakin kerasnya kehidupan ini, hingga dari anak-anak juga sudah terjangkit virus kemarahan. Bukan hanya karena kurangnya perhatian orang tua, namun juga pembiaran tontonan di media yang jauh dari tuntunan. Lihat bagaimana sebuah tontonan di televisi nasional yang sarat dengan caci maki, kemarahan dan lainnya. Semua lolos dan baru ditegur bila sudah ada kejadian. Entah kemana para pemerhati dan pengawas dari lembaga yang berwenang.

Lihat juga bagaimana pula seorang yang ditangkap polisi marah-marah bahkan menantang petugas dan menjadi viral.

Adanya ketimpangan, pasti disertai dengan adanya penyakit sosial.

Kemarahan memang wajar bila terjadi sesekali, namun bila setiap hari, bahkan setiap waktu, maka itu sudah menjadi penyakit jiwa. Sayangnya di sini, sebagian besar masyarakat kita belum begitu aware dengan penyakit-penyakit jiwa. Kebanyakan hanya penyakit tubuh yang selalu dikeluhkan dan diperiksakan. Padahal penyakit jiwa jauh lebih berbahaya karena dampaknya sepanjang hidup bila tak ditangani dengan tepat.

Seminar Anger Management, tiba-tiba saja mulai merebak. Buku tentang kemarahan juga mulai merangkak naik penjualannya. Namun demikian, walau sudah ikut seminar sekalipun, tak menjamin mereka mampu memahami sepenuhnya. Yang mau mengikuti juga masih sedikit sekali.

Ada banyak cara untuk bisa menyembuhkan kemarahan, itu juga tergantung pada seberapa besar mereka mau sembuh. Untuk pribadi dengan ego yang tinggi, memang akan sulit sekali.

Beberapa cara yang bisa digunakan adalah dengan mengakui kemarahan yang sudah Anda lakukan. Lalu buat analisis dan identifikasi sumber kemarahan --seringkali problem yang sesungguhnya sangat kecil tetapi bingung dengan perasaan negatif lainnya atau sudah menyimpan beberapa masalah dengan orang yang bersangkutan. Berikutnya, analisis perasaan marah tersebut. Alasan mengapa harus marah? Apakah alasannya masuk akal?

Seorang psikolog mengatakan, ransel emosi memang harus dikosongkan. Realitasnya memang hanya sedikit orang yang mampu mengosongkan ransel emosi tersebut. Karena banyak di sekitar kita yang mengaku hidup tenang dan damai, sebenarnya juga masih memiliki dendam yang terus disimpan. Terlebih pada yang suka mengolok, menghina, menghakimi dan ... suka berprasangka buruk.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun