Mohon tunggu...
Rina R. Ridwan
Rina R. Ridwan Mohon Tunggu... Penulis - Ibu yang suka menulis

Pembelajar Di Sekolah Kehidupan Novel: Langgas (Mecca, 2018) Sulur-sulur Gelebah (One Peach Media, 2022) Kereta (Mecca, 2023) IG: rinaridwan_23

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Membaca Menjadi Sebuah Kebutuhan

23 Juni 2019   11:45 Diperbarui: 23 Juni 2019   12:10 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hampir semua orang setiap hari membaca, walau apa yang dibacanya berbeda-beda. Dari membaca berita hingga membaca buku. Dari buku pelajaran hingga buku berujud novel dan sebagainya. 

Sayangnya budaya membaca masih tertinggal jauh dengan budaya ngobrol di sini. Pembiasaan membaca dari kecil hanya dilakukan oleh orang tua yang tahu betul manfaatnya. 

Bagi muslim, yang sangat dianjurkan untuk belajar/membaca sejak dalam kandungan hingga ke liang lahat juga tak semua melakukan.

Bersyukur saya memiliki seorang ayah rahimahullah yang lebih suka membaca daripada bicara. Sejak kecil, setiap pagi sebelum berangkat kerja dan sore usai salat asar adalah waktu ayah membaca rutin. 

Jika pagi membaca koran, maka sore membaca buku. Ada kenikmatan sendiri saat membaca, walau disekitarnya ada anak-anaknya yang gaduh bermain dan lainnya. 

Ayah seolah tahu, anak-anak selalu ribut lima menit kemudian sudah akur, jadi tak pernah ikut campur ketika anak-anaknya gaduh. Cukup dilihat dan diperhatikan dari jauh. Begitu pun ibu yang termasuk kategori 'cuek' untuk hal seperti itu.

Kenikmatan ayah membaca itu lama kelamaan membuat kami penasaran. Terutama saya dan dua kakak saya. Kami tujuh bersaudara. Saya suka mendekat dan berdiri di samping beliau untuk melihat apa yang sedang dibaca. 

Lalu jika ayah bergeming, saya menyelusup dan duduk di pangkuan beliau. ayah tak merasa terganggu sama sekali dan membiarkan saya duduk di pangkuannya sampai tuntas membaca.

Suatu hari, ayah sengaja membeli majalah anak-anak 'Bobo' dan diletakkan di lemari dekat meja belajar kami. Karena kavernya yang penuh warna, saya tertarik untuk melihat dan mulai membuka halaman demi halaman. Cerita keluarga kelinci Bobo, Nirmala dan Oki, serta Bona gajah kecil berbelalai panjang dengan Rong Rong begitu lekat sampai hari ini.

Sementara kakak saya jatuh cinta pada buku silat.  Rumah kami dekat dengan persewaan komik, maka kakak menyisihkan uang jajannya untuk menyewa komik Asmaraman Kho Ping Ho yang kecil-kecil dan berjilid-jilid itu. 

Sekarang rasanya sudah tak lagi ada persewaan komik. Saya ikut menyewa komik karya Hans Christian Andersen. Satu komik dihargai Rp2,5. Jadi uang Rp5 bisa dapat dua komik.

Entah bagaimana sejak kami sibuk dengan sewa menyewa komik, rumah terasa begitu sepi dan damai. Terutama di hari minggu saat sekolah libur. Dari pagi, kami kompak membaca sambil gelendotan pada tubuh ayah. 

Saya tidur di paha kanan, kakak tiduran di paha kiri. Tanpa suara, kami bertiga sibuk membaca sampai dihentikan si mbok yang selesai masak dan memanggil kami untuk makan.

Di sekolah, saya dan kakak silih berganti menjadi bintang kelas. Sementara kakak yang tak suka membaca, prestasinya biasa saja. Saat itu, kami tak tahu korelasi suka membaca dengan prestasi. Namanya juga masih kecil. 

Bukan hanya buku komik, ayah juga mengajari untuk mencintai kitab suci Alquran dengan mengajarkannya langsung pada kami semua setiap usai salat maghrib. 

Jadi maghrib hingga isya kegiatan kami adalah mempelajari Alquran. Sementara kakak kami yang sudah mahir, membaca sendiri di kamar masing-masing.

Kegemaran membaca itu melekat erat pada kami, sekali pun timbul tenggelam saat kami berusia remaja, saat sibuk-sibuknya bergaul dan mencari jati diri. Ayah seolah tahu dan tak pernah mengkhawatirkannya sedikit pun. 

Beberapa kali kami sempat membuat jengkel guru karena kesukaan kami bertanya. Sementara di masa lalu, lebih banyak murid diajarkan untuk pasrah saja setiap menerima pelajaran dari guru.

Ketika kami mahasiswa, di saat yang lain sebal dengan tebalnya buku-buku diktat, kami santai saja. Dan kakak memang unggul hingga dia sudah menjadi asisten dosen karena kepintarannya. 

Saya yang menikah muda, tak putus kebiasaan membaca tersebut, dari membaca resep masakan saat belajar memasak, hingga buku lainnya.

Saya baru berkenalan dengan novel saat mahasiswa. Dan novel perdana yang saya baca adalah karya Sydney Sheldon dengan "Kincir Angin Para Dewa". Saat SMA, walau banyak pengarang Indonesia berjaya dengan difilmkannya novel mereka, saya hampir tak pernah membaca novel mereka. 

Saya ingat persis masa jaya Eddy D. Iskandar dengan "Gita Cinta dari SMA" yang diperankan pasangan legendaris Rano Karno -- Yessy Gusman, dr. Mira W yang filmnya banyak diperankan Widyawati, Ike Soepomo dengan Yenny Rachman-Roy Marten seperti pada "Kabut Sutra Ungu" dan lainnya. Kebanyakan tulisan mereka awalnya adalah cerita bersambung di majalah Femina atau Gadis.

Sebagai ibu rumah tangga kebutuhan membaca saya makin meningkat. Entah kenapa, saya seperti mengulang kebiasaan ayah. Selalu ada waktu untuk membaca. Padahal saya tak menggunakan jasa ART dalam keseharian saya dengan dua anak. 

Saya atur waktu saya sedemikian rupa, saya ajarkan kemandirian pada anak-anak sejak kecil, hingga tak ada kerepotan yang berarti sebagaimana yang banyak dikeluhkan ibu-ibu rempong bila tanpa ART. 

Suami saya sampai geleng kepala dengan koleksi buku-buku saya yang makin menggunung. Akhirnya, buku-buku tersebut saya berikan ke perpustakaan di daerah yang membutuhkan.

Sekarang, saat anak-anak sudah menjalani kehidupannya masing-masing, saya makin tenggelam dengan bacaan dan plesiran bareng kawan-kawan lama. 

Kami saling mendukung satu sama lain dengan saling berbagi info buku-buku baru atau klasik yang layak untuk dibaca. Tak jarang oleh-oleh yang diberikan dari berpergian juga buku.

Tak banyak yang saya baca dalam sebulan, sekitar 10-15 buku. Namun saya coba pertahankan sebagai rutinitas yang bermanfaat. Sesibuk apa pun saya. Membaca adalah sudah jadi bagian gaya hidup saya dari kecil, sekarang bertambah lagi dengan kegemaran menulis.

Setiap kegemaran, selalu ada yang harus dipelajari. Menulis membutuhkan kemauan untuk bersahabat dengan KBBI(Kamus Besar Bahasa Indonesia) dan PUEBI(Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia). 

Saya tak pernah keberatan belajar hal-hal baru, maka belajarlah saya. Alhamdulillah, setidaknya sekarang saya sudah mengalami banyak kemajuan menulis sesuai kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Belum sempurna, tapi terus berusaha.

Saya tahu ada penyunting di semua penerbitan yang akan mengoreksi naskah, namun bagi saya meringankan tugas orang lain tak ada salahnya, bukan? Belajar juga sama artinya mengaktifkan otak kita agar tak mudah pikun.

Begitulah jika kita sudah menjadikan kegiatan membaca sebagai suatu kebutuhan. Kita akan selalu senang untuk belajar sesuatu yang baru, dan tak pernah merasa lelah untuk terus mencari ilmu sebagaimana ayat pertama yang turun, "Bacalah" yang diulang hingga tiga kali. 

Membaca sama artinya dengan belajar. Segala sesuatu ada ilmunya, tak lagi soal besar dan kecilnya. Ilmu adalah cahaya. Dengan belajar sama artinya kita hidup dalam cahaya yang akan menuntun kita ke arah kebaikan dan kebenaran. InsyaAllah.

Jangan pernah berhenti membaca selama masih diberi nafas. Bahkan ayah saya rahimahullah yang sudah buta karena glukoma, setiap hari selalu meminta dibacakan buku hingga akhir hayatnya di usia 79 tahun. 

Setiap membaca, kenangan keteladanan ayah selalu hadir begitu saja. Tak jarang saya mendahului dengan menangis karena rasa rindu membaca bersama beliau.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun