Bukankah manusia saat tersakiti punya beberapa tahapan yang dia alami hingga dia mampu menerimanya. Walau tak semua menemukan jalan berdamai dengan diri sendiri hingga akhir hidupnya. Bahwa saat kepahitan atau kekecewaan terjadi, awalnya bukan hanya shocked, dia akan marah hingga puncaknya bila tak dikendalikan, maka depresi dan penyakit psikis lainnya menyertai. Manusia akan mengalami tahap kemarahan, penyangkalan hingga ujungnya adalah penerimaan.
Dalam kehidupan, sekali lagi, batasan itu selalu ada. Jangan masuk dalam ranah 'terlalu' soal perasaan bila kekecewaan tak ingin anda hadirkan. Bersahabat memang baik, namun pilihlah yang terbaik. bukan yang selalu meng'iya'kan anda dalam setiap tindakan. Itu bukan sahabat, namun abdi anda.
Ingatlah filosofi cermin,
Bahwa cermin itu jujur menyampaikan tentang kita apa adanya.
Bahwa cermin itu amanah menampakkan penampilan kita, tidak ditambah atau dikurangi.
Bahwa cermin itu sabar berapa lamapun kita di depan cermin, ia tidak pernah mengeluh.
'Sangatlah baik bila kita punya teman atau sahabat seperti cermin', begitu kata Ustadz Hilman Rahimahullah.
Sahabat yang baik tak pernah melebihkan atau merendahkan diri kita. Ia berani menyampaikan segala tentang kita tanpa punya 'pamrih' apapun, apalagi takut dibenci dan dijauhi. Bisa jadi cara penyampaiannya tak selalu manis, sebagaimana kejujuran yang terkadang pahit untuk disampaikan.
Ia punya kesabaran dan konsistensi menyampaikan kejujurannya tentang segala kekurangan dan kelebihan kita. Bahkan saat kita membencinya, dia memilih untuk tak membalas karena dia sadar bahwa tak semua orang mampu menerima kebenaran tentang dirinya. Bukankah tak semua orang bisa menerima kritik?
"Barangsiapa yang memperingatkan anda, ia seperti memberi kabar gembira kepada anda"- Ali Bin Abi Thalib RA.
Sahabat seperti ini, hanya sedikit. Manusia yang berani beda juga sedikit. Yang sedikit itu memang mahal. Bahkan Ali bin Abi Thalib RA ketika ditanya berapa banyak sahabatnya menjawab,"Akan aku hitung di saat aku tak punya apa-apa."