Mohon tunggu...
Rina R. Ridwan
Rina R. Ridwan Mohon Tunggu... Penulis - Ibu yang suka menulis

Pembelajar Di Sekolah Kehidupan Novel: Langgas (Mecca, 2018) Sulur-sulur Gelebah (One Peach Media, 2022) Kereta (Mecca, 2023) IG: rinaridwan_23

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Masihkah Sumpah Itu Ditepati Pemuda-Pemudi Zaman "Now"?

28 Oktober 2018   12:32 Diperbarui: 28 Oktober 2018   15:32 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hari-hari ini kegaduhan cepat terjadi di manapun. Sebagian besar orang bersibuk mencari kelompok. Hingga muncullah banyak kejadian, di mana kelompok dimanfaatkan untuk jadi kepanjangan tangan beragam kepentingan. Anak-anak muda dengan hormon yang masih menggelegakpun turut mengangkat dirinya sendiri sebagai bagian elit kelompok tersebut.

Mereka diberi bekal agar punya keberanian bicara di manapun, terutama media sosial, walau tanpa data apapun, ilmupun sebatas gelar yang tanpa makna, karena banyak yang ngawur alias asal bicara plus menyebar kebohongan semata. Ironisnya, begitu banyaknya yang ikut bereaksi pada kebohongan demi kebohongan yang terus terjadi.

Maka keniscayaan gaduhpun tak terhindari.

Teladan baikpun ditenggelamkan oleh ego-ego kelompok yang merasa mendapat dukungan A dan B. Jadikan keramaian sebagai bagian keseharian. Bahwa diam itu emas, sudah tak lagi dipercaya. Bahwa'bicaralah yang baik atau diam'pun dianggap kuno. Kebebasan bicarapun melesat tanpa rem sedikitpun. Blong!

Ini tanggal 28 Oktober, di mana sumpah muda terjadi. Bahwa semua putra dan putri Indonesia bertekad ada dalam ikatan satu tanah air, bangsa dan bahasa, yaitu Indonesia. Entah di hati pemuda-pemudi mana gaung sumpah itu masih ada. Kebanyakan sudah tak lagi jadi pemuda/pemudi yang punya identitas diri sebagai Indonesia dalam banyak langkahnya.

Gaya yang dianggap kekinian, jadi puja-puji dalam langkahnya sehari-hari. Bahwa hedonisme, kebebasan berekspresi yang tak lagi berpagar hingga melecehkan apapun menjadi sebuah trend, segala hal jadi permisif bahkan masih pacaranpun sudah berdua kemanapun dan orangtua seolah tak punya fungsi lagi.

Pergaulan bebas hingga siswa yang masih di sekolah menengah pertama berombongan hamil diluar nikah tak menggelitik kesadaran sedikitpun bahwa ada yang salah dengan negeri ini. Melupakan sejarah dianggap 'biasa', bahkan kebenaran sejarahpun dipertanyakan untuk sebuah pembenaran versi mereka.

Entah tanah air mana yang mereka pijak, jika sedikit saja terjadi gesekan perbedaan, yang satu merasa berhak untuk mengusir yang lain. Entah bangsa yang mana kini yang mereka banggakan ketika segala branded luar lebih dianggap bergengsi dari segala hasil karya anak bangsa sendiri, pun bahasa mana yang sekarang mereka gunakan ketika segala umpatan dan bahasa yang jauh dari kesantunan telah dijadikan kebiasaan terucap setiap harinya.

Lalu mereka ingin disebut sebagai generasi kuat yang membanggakan?

Kuat pada apa, jika kemampuannya hanyalah meniru segala sesuatu yang datang dari luar tanpa perlu disaring. Lihat bagaimana segala produk luar seolah memperbudak mereka untuk selalu mengikuti hanya karena ingin dilabeli sebagai anak zaman now. Terombang-ambing dengan kata-kata indah sok bijak yang menyesatkan. Jargon yang hanya sekedar tempelan mulut, dan kebohongan yang terus didengungkan. Lalu di manakah kepribadian mereka?

Masihkah pantas disebut ketimuran, jika dengan bangga mempertontonkan diri berduaan di kolam renang dengan setengah telanjang bersama yang bukan pasangan resminya dan dipajang untuk ditonton jutaan mata.

Masihkah pantas disebut ketimuran, bila segala sesuatu yang harusnya konsumsi pribadi diuar tiap hari tanpa merasa malu, baik kata-kata, terlebih juga perbuatan?

Lalu kemana ketimuran itu?  kemanakah adab itu?

Jika memang generasi ini punya kepribadian yang kuat, tak akan mudah dipecah belah. Tak akan mudah tersulut dengan kebohongan para pencari sensasi. Apalagi bersibuk 24 jam hanya untuk mengisi kotak  what's on your mind  atau mengupload apapun demi sebuah love, like dan sebagainya.

Semuanya ingin serba instant, tak lagi punya daya juang apalagi menghargai sebuah proses untuk menjadi sukses. Lalu ketika melihat orang sukses, bukan belajar untuk mencari jalan baru, namun hanya bisa mengekor tanpa berpikir, bahwa apa yang cocok dengan orang lain belum tentu cocok dengan diri sendiri. Kreativitas terpotong karena malasnya budaya berpikir.

Bicara, bicara dan hanya bicara, baik lewat forum maupun tulisan. Sedikit saja keberhasilan awal dicapai, sudah cepat lupa diri dan narsistik akut, merasa telah menguasai dunia.

Berkepribadian kuat, adalah orang yang bukan hanya punya prinsip, namun tak takut mengambil resiko dan bahkan berani berdiri sendirian, di saat yang lain sibuk mencari kelompok untuk saling melindungi. Hanya sedikit yang tahu menghargai kekuatan dirinya sendiri.

Ya, hanya sedikit yang seperti itu. banyak yang lupa, bahwa gerombolan kambing sebanyak apapun, tak ada yang takut melewatinya bahkan melibasnya. Namun singa yang berjalan sendirian, bahkan hanya duduk saja, semua berpikir untuk berani melintasinya.

Pemuda dan pemudi yang suka dengan segala yang bersifat instant, mudah sekali di dikte, di cekoki dengan uang mudah bergebok-gebok, tak lagi mengenal harga diri, berani membolak-balikkan kebenaran bersama kepandaiannya bersilat lidah, dan malupun tak dikenalnya. Yang penting muda kaya raya, tua tetap bisa foya-foya dan berharap surga diakhirnya.

Lalu kemana gaung bertanah air satu, tanah air Indonesia, ketika pulau-pulau kecil dijual belikan mereka tak tahu bahkan tak peduli.

Berbangsa satu, bangsa Indonesia, namun suka sekali disuapin bangsa asing dengan kenyang, tanpa mau berpikir akan pamrih mereka dibelakangnya.

Berbahasa satu, bahasa Indonesia, yang sekarang telah banyak dilupakan dengan makin seringnya umpatan, isi kebun binatang dan bahasa kemarahan lewat sumpah serapah yang tak terdengar Indonesia sama sekali, jadi bahasa keseharian.

Jika sebuah peristiwa sejarah perjuangan menjadi bangsa merdeka dan berdaulat tak lagi dihargai, bahkan di suruh menyebut isi sumpah pemuda itu sendiri banyak yang lupa, lalu apa yang tersisa dari perjuangan para pahlawan kita?

Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa para pahlawannya, bukan jasa titipan para antek pemecah belah bangsa ini yang berkedok kata persatuan, harga mati dan lainnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun