Mohon tunggu...
Rina R. Ridwan
Rina R. Ridwan Mohon Tunggu... Penulis - Ibu yang suka menulis

Pembelajar Di Sekolah Kehidupan Novel: Langgas (Mecca, 2018) Sulur-sulur Gelebah (One Peach Media, 2022) Kereta (Mecca, 2023) IG: rinaridwan_23

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pada Saatnya, Anda Juga akan Jadi Tua

29 Juni 2018   12:32 Diperbarui: 29 Juni 2018   12:32 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sebagian besar orang di sekitar kita selalu menganggap bahwa tua adalah lemah, sakit dan tak berdaya. Menganggap bahwa orangtua tak lagi punya manfaat dan hanya jadi bagian rutin untuk tunaikan kewajiban menghidupinya tanpa 'rasa', bahkan sebagian masih memanfaatkan sebagai 'penitipan' anak-anak mereka sebagai ganti uang setoran mereka.

Bahkan tak ada undang-undang khusus yang mengatur tentang bagaimana menjadikan para 'veteran kehidupan' ini sejahtera selain aturan untuk masuk ke panti jompo minimal berusia 60 tahun. Jangankan orangtua biasa, bahkan para veteran perangpun banyak disisihkan dan hidup terlunta-lunta. Seolah apa yang mereka pernah lakukan pada bangsa dan negara tak punya arti sedikitpun. Begitupun dengan para orangtua.

Sungguh mulia ajaran Birrul walidain yang ada dalam kitab suci Alqur'an, bahwa orangtua adalah pintu surga bagi mereka yang memperlakukan mereka dengan sebaik-baik adab. Sayang, ajaran itu jarang yang mengikutinya dengan baik dan benar.

Memang benar banyak yang mengajak serta para orangtua mereka dalam kehidupannya sehari-hari. Namun perlakuan mereka hanya sekedarnya dan tak jarang cukup menyakitkan. Merasa telah memberinya tempat tidur, makan dan tempat tinggal membuat sebagian merasa bahwa mereka punya 'hak' untuk menyuruh mereka melakukan hal lain pada mereka sebagai balasan.

Lihat sekitar kita, betapa banyak orangtua yang dijadikan tempat penitipan anak-anaknya. Baik di rumah mereka ataupun dirumah orangtua itu sendiri dengan beragam dalih, dari alasan bekerja, berlibur hingga lainnya yang lebih 'manis' yaitu keamanan. Seolah mereka lupa bahwa orangtua telah merawat dan membesarkan mereka dari kandungan hingga mereka dewasa. Bukan dimuliakan dengan mengistirahatkan mereka, malah diberi beban baru merawat anak-anak mereka karena tahu bahwa orangtua pasti tak akan keberatan merawat cucunya sendiri.

Sebagian mereka menganggap hal itu 'biasa' dan wajar, terlebih bagi yang punya kelebihan materi. Mereka berikan banyak uang dan lainnya sebagai imbalan. Bagai transaksi jual beli. 

Sebagian besar berdalih dengan kata,"Mereka tak keberatan kok, bahkan meminta sendiri"hingga sampai kapanpun mereka tak akan pahami betapa 'lelah'nya jadi orangtua yang seperti itu. Sebanyak apapun materi yang diberikan anak, tak akan pernah mampu membalas jasa orangtuanya.

Saya seorang ibu dan juga nenek. Dari awal sudah saya katakan pada anak-anak, bahwa saya tak akan mau dititipin apalagi merawat anak-anak mereka yang notabene cucu saya. Karenanya mereka hingga sekarang tak melakukan hal itu. Mereka rawat sendiri agar tahu bagaimana menjadi orangtua. Bukan soal sayang atau tidak sayang, namun mereka harus tahu bahwa kehidupan ini tak ada yang ideal. Semua punya perjuangan untuk menyelaraskan saja, bukan menyempurnakan.

Hal lain yang banyak terjadi, ada anak yang menumpang di rumah orangtua, namun merasa bahwa rumah orangtua adalah rumahnya. Mereka sok merasa berkuasa hingga bila orangtuanya sabar, mereka tempatkan mereka di kamar yang paling jelek dan memperlakukan mereka layaknya pembantu rumah tangga. 

Rumah orangtua selamanya adalah hak orangtua itu sendiri hingga mereka wariskan, sementara rumah anak adalah rumah orangtua. Lo, kok enak? Begitu kata mereka. Bahkan saya pernah jadi saksi bagaimana seorang anak merebut rumah orangtuanya dan membalik namakan tanpa sepengetahuan mereka yang memang sudah uzur. Bagaimana bisa?

Tentu saja bisa karena sang anak adalah seorang sarjana hukum yang tahu betul bagaimana seluk beluk ganti nama yang sah secara hukum. Ilmu yang dia dapat hanya untuk membohongi dan mengkhianati orangtuanya sendiri. Ibu kandungnya tak lagi diijinkan menempati rumah tersebut dan hidup dalam kost yang dibayar dari pensiun suaminya yang sudah wafat hingga sang ibu itu meninggal dunia tanpa diketahui anak-anak durhakanya disebuah kota kecil.

Di dekat saya tinggalpun, ada orangtua perempuan yang sudah meninggal suaminya yang setiap hari dibentak-bentak anaknya sendiri, sampai saya risih mendengarnya. Padahal itu rumah milik orangtua, sementara anaknya adalah janda tak punya anak. 

Sang ibu yang suka bersih-bersih rumah itu, biasanya hanya diam saat diperlakukan seperti itu. Beliau sempat 'curhat' pada saya sambil menangis dan mengingat anak salihnya yang sudah meninggal dunia mendahuluinya. Tentu saja menangisi anak salihnya itu adalah'pembanding' dengan putrinya yang tak bosan membentaknya. 

Bagaimanapun buruknya perlakuan anak, seorang ibu selalu menahan diri untuk tak membicarakannya pada siapapun. Menahan lidahnya untuk tak 'mengutuk' agar tak jadi penderitaan bagi sang anak akibatnya.

Yang juga banyak terjadi di sini adalah, orangtua perempuan(istri) banyak yang ikut anaknya dibanding orangtua lelaki(suami). Mereka merasa baik-baik dan normal saja, karena kalimat surga ada di telapak kaki ibu. Sementara Ibu mertua diasingkan, dibiarkan mengontrak. Ironisnya orangtua pihak perempuan mendukung dan tak merasa bersalah sedikitpun.

Ingat wahai perempuan. Saat kau menjadi istri, maka surgamu berada pada keridhaan suamimu, bukan lagi pada orangtuamu. Ingatlah satu lagi, bahwa surga suamimu ada pada ibunya!

Orangtua suami yang lebih berhak tinggal bersama anak lelakinya dibanding orangtua istri. Karena rumah anak lelaki itu adalah milik ibunya. Lo, kok enak? Pasti seperti itu pikiran para istri yang sudah mabuk materi dan duniawi.

Jangan pernah coba-coba musuhi ibu suamimu, jika ingin keselamatan hidup didunia hingga akhirat. Tanpa ibunya, suami kamu tak ada. Betapa saya banyak melihat bagaimana akhir dari rumah tangga dimana segala yang hak dan batil tak diperlakukan dengan benar. Durhaka pada orangtua, bukan hanya diakhirat mendapat azabnya, di duniapun sudah ditimpakan dan ditampakkan.

Wahai para lelaki, jika hidupmu tiba-tiba dihinakan dari yang awalnya tampak begitu sempurna dan bahagia, periksa bagaimana kau perlakukan orangtuamu, terutama ibumu. Masih beruntung bila beliau masih hidup hingga kau bisa memohon maaf dan ampunannya. Jika sudah meninggal?

Wahai lelaki, kalian adalah imam, jangan sampai membalikkan dirimu jadi yang diimami dengan menjadi suami yang takut istri dan selalu mengikuti semua permintaan istri tanpa filter. Terlebih bila kau sampai berani abaikan ibu kandungmu. Janji Allah itu pasti terjadi. Jangan pernah bermain-main dengan masa depanmu sendiri.

Doa orangtua itu menembus langit, walau hanya lewat ucapan kecil. Jangan pernah menyakitinya. Jangan pernah katakan'ah' pada mereka. Ridha Allah ada pada ridha orangtua. Jangan pernah sepelekan mereka. Menganggap mereka hanya barang rongsokan yang tak berharga. Pandai-pandailah mendengar apa kata hati ibumu.

Pelajari kitab sucimu baik-baik dan jangan hanya jadi hiasan semata. Segala sesuatu ada ilmunya. Jangan hanya belajar pada'katanya'. Jangan malas belajar, karena ilmu adalah cahaya yang akan menyelamatkan kita.

Tempatkan segala sesuatunya pada yang seharusnya, bukan karena dalih demi ini dan itu selain demi Allah. Apalgi demi kata kiwari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun