Mohon tunggu...
Rina R. Ridwan
Rina R. Ridwan Mohon Tunggu... Penulis - Ibu yang suka menulis

Pembelajar Di Sekolah Kehidupan Novel: Langgas (Mecca, 2018) Sulur-sulur Gelebah (One Peach Media, 2022) Kereta (Mecca, 2023) IG: rinaridwan_23

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kita Semua adalah Guru

6 Februari 2018   14:26 Diperbarui: 6 Februari 2018   14:31 485
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Begitu hebatnya pemberitaan tentang murid yang menganiaya gurunya hingga tewas, hingga hampir semua orang bereaksi, tentu dengan caranya masing-masing. Yang pasti, sayapun tak kalah prihatinnya dengan semua orang. Sama terkejutnya juga. Namun entah bagaimana kejadian ini seperti menarik saya pada jangkar ingatan saat  masih di sekolah dasar.

Tentu saja, saya sangat menghormati seorang guru. Karena kecintaan saya pada guru-guru sekolah dasar saya yang hampir semuanya baik, setiap kali ditanya apa cita-cita saya, selalu menjawab menjadi guru. Allah ijinkan saya menjadi guru beberapa tahun, walau hanya sebagai guru private musik dibawah label yang cukup dikenal di Indonesia.

Bisa jadi karena adanya media sosial, berita kematian guru menjadi begitu luar biasa hebohnya. Kejadian ini mengingatkan saya pada suatu masa, dimana salah satu kakak kelas saya meninggal dunia di karenakan kelalaian seorang guru. Sebuah peristiwa yang tak akan pernah saya lupakan sampai kapanpun.

Saat itu sedang jam istirahat,  terdengar suara mobil menderu begitu kerasnya yang sesaat kemudian bannya mencuit-cuit, dan terlihat pemandangan tubuh seorang anak terbang dan begitu turun kembali terdengar suara mengerikan akibat kepala yang terlindas mobil. Jarak halaman sekolah kami dengan jalan tersebut kurang lebih sekitar 7 meter. Terlihat jelas semuanya.

Tak lama, jeritan anak-anak terdengar beriring tangisan pilu. Ada yang pingsan di tempat demi melihat darah hitam yang menggenang, sementara mobil yang menabrak terus melaju dengan kencang hingga kemudian terdengar suara ledakan karena mobil menabrak pohon besar dan ringsek. Pengemudinya menurut kabar tewas di tempat.

Semua murid berhamburan ingin melihat, namun kepala sekolah kami langsung menutup akses ke tempat kejadian dengan membunyikan lonceng untuk masuk ke kelas masing-masing. Kecuali kelas murid yang tertabrak tadi.

Waktu itu, ada jalan raya yang baru selesai dibangun di depan sekolah kami. Aspal masih bagus dan mulus dan masih jarang mobil yang melintas. Atas dasar itulah, guru olahraga mengajak anak-anak kelas 4 berolahraga di sana. Entah bagaimana jam olahraga yang seharusnya sudah selesai, murid-murid sebagian masih ada yang bertahan di sana hingga terjadilah peristiwa tersebut.

Guru olahraga kami pucat sekali menyaksikan kejadian tersebut. Orang komplek perumahan sekitar yang ikut mengetahui langsungmerubungtempat kejadian, guru kami yang tak beralas kaki saat itu tampak sangat terpukul. Bersyukur orang komplek bukanlah orang-orang bersumbu pendek. Semua menyerahkan urusan tersebut pada aparat yang tak lama kemudian datang.

Guru olahraga kami minta diantar ke rumah orangtua murid dan sujud meminta maaf sebelum digelandang aparat. Pelajaran sekolah berakhir dan semua murid dipulangkan. Kami semua menuju rumah Aini, begitu nama kakak kelas saya, yang juga tetangga kami. Menunggu kedatangan jenazahnya.

Orangtua Aini, sang ibu yang sedang mengandung dan ayahnya yang pendiam adalah pemeluk Islam taat. Mereka memang terkejut dan juga terpukul, namun tak sedikitpun menampakkan kemarahan pada guru kami. Mereka sadar semua terjadi karena kehendak Allah. Entah bagaimana perasaan guru kami yang terlihat jauh lebih terpukul karena merasa bersalah, yang mungkin akan dibawa sepanjang hidupnya. Menurut kabar, pengemudi yang tewas tersebut dalam keadaan mabuk saat mengendarai mobil.

Tentu saja kejadian ini tak seviral kematian guru di Madura, karena terjadi di sekitar tahun 70-an, saat belum ada media sosial. Andai ada, saya yakin tak akan kalah hebohnya berita kejadian yang menimpa kakak kelas saya. Apa yang terjadi di Madura, sungguh tak kalah memilukan dengan apa yang pernah menimpa guru kami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun