Mohon tunggu...
Rina R. Ridwan
Rina R. Ridwan Mohon Tunggu... Penulis - Ibu yang suka menulis

Pembelajar Di Sekolah Kehidupan Novel: Langgas (Mecca, 2018) Sulur-sulur Gelebah (One Peach Media, 2022) Kereta (Mecca, 2023) IG: rinaridwan_23

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tahun Politik yang Menggelitik

22 Januari 2018   04:50 Diperbarui: 22 Januari 2018   05:06 1270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiap masuk tahun politik, banyak sekali kegaduhan. Baik menjelang pemilihan kepala daerah, ataupun pemilihan presiden. Semua seolah ikut serta terseret dalam alur 'pesta' demokrasi.

Di media sosial akan banyak bermunculan pengamat-pengamat politik dadakan, peramal-peramal plus pengacaunya alias perseteruan antar pendukung fanatik, baik secara implisit hingga yang vulgar perseteruannya. Semua tersaji setiap hari tanpa bisa dihentikan apalagi dihindari.

Sekarang saja, mulai banyak berwira-wiri di linimasa tulisan'..akan saya delcon yang ribut soal politik di linimasa saya'. Ini dari orang yang tak mau tahu dengan politik. Mereka muak dengan komentar-komentar yang pernah ada sebelumnya.

Di tahun politik juga, tiba-tiba banyak sekali manusia berhati mulia. Turun ke desa-desa juga kampung hingga gang terpencil menyapa penduduknya, membagi kaos atau topi, membagikan sembako, membagi kerudung, dan beramah tamah sembari menggendong bayi penduduk atau memeluk orangtua yang miskin dan kumal. Tentu sembari membawa para 'peliput'nya. Tujuannya, dapat 'pin' atau gelar merakyat atau peduli wong cilik. Nanti setelah terpilih, entah kemana semuanya.

Tiba-tiba juga banyak yang jadi relijius. Rajin menyambangi pondok pesantren seraya 'bersedekah'. Memeluk erat para kyai yang punya ribuan santri yang tentu saja sudah memiliki hak memilih. Bukan tempat penampungan anak yatim yang masih banyak anak kecilnya yang tentu saja belum punya hak memilih. Apalagi turun ke panti jompo yang dianggap kurang membawa keuntungan.

Yang tidak berjilbab, tiba-tiba saja memakai jilbab. Yang biasa tak berpeci, tiba-tiba kemana-mana berpeci dengan baju koko putih bersih licin. Semua terlihat kinclong dan santun. Bahkan yang non muslimpun tiba-tiba rajin mengunjungi pesantren dengan misi membangun modernisasi pondok, memberi ceramah dan selipan janji manis yang terkadang bisa membuat datangnya gejala kencing manis.

Di lingkungan tempat tinggal para calon, tiba-tiba rutin mengadakan pengajian dengan mendatangkan ustadz terkenal dan mengundang seluruh tetangganya yang saat menjabat nanti akan sulit bertemu dengan yang bersangkutan dengan alasan klasik'sibuk'. Asal masuk tahun politik, para orang penting tiba-tiba mudah ditemui dan mendadak merakyat dan membumi.

Tentu saja yang banyak ketiban rezeki adalah para pembuat kaos, itupun minta harga yang termurah karena dipesan dalam jumlah banyak. Juga topi, grosir jilbab, jam dinding dan penulis yang diminta untuk mem'branding' mereka. Belum lagi nanti para penyanyi yang di panggil untuk meramaikan acara-acara panggung rakyat. Acara jalan sehat bersama para kandidat tak lupa digelar dengan hadiah mobil. Kursus public speakingpun laris manis menjelang tahun politik, agar pertunjukan  nantinya berjalan lancar.

Sebagian masyarakat yang memang haus hiburan akan senang, karena banyak 'gratisan' digelar di mana-mana. Belum lagi hadiah menggiurkan dengan selubung doorprize. Begitulah fenomena tahun politik di sini.

Yang juga menonjol, tiba-tiba banyak orang tenar yang ikut mencalonkan diri. Baik dari kalangan pekerja seni hingga pengamat ini dan itu, anak tokoh ini dan itu, bahkan yang dikenal sebagai orang nyinyir sekalipun. Eh ..kata mereka bukan nyinyir tapi 'kritis'. Yang penting sudah tenar. Tentang punya ilmu atau tidak, nomor dua. Nama terkenal lebih mudah di'jual'. Apalagi bila disertai dengan good looking, keluarga harmonis, pasti lebih seru dah. Mereka akan mengumbar senyum dan beredar kemana-mana dengan rajinnya layaknya bintang-bintang di langit.

Memang tak semuanya mau saat mendapat tawaran sebuah jabatan, namun kekuasaan memang menggoda. Layaknya perempuan yang cantik dan sexyyang tersenyum manis meringis sembari tangannya melambai memanggil penuh manja pada mereka. Lalu saat dipertanyakan kapasitasnya, mereka sudah punya konsep jawaban yang mudah ditebak. Dari merasa 'terpanggil', hingga menggigil karena sudah lama merindukan panggilan menggoda ini. Atau karena memang ingin 'menyumbang' sedikit pengabdian demi bangsa dan negara.

Sungguh menyenangkan melihat semua pertunjukan di tahun politik. Semua akan mengerucut dengan kampanye hebat. Langit dipenuhi dengan janji-janji yang enteng diucap, namun mudah menguap saat nanti menjabat. Mereka seperti lupa adanya malaikat sang pencatat setiap ucapan yang telah dimuntahkan, baik dengan cara berbisik hingga berkoar lantang di hadapan ribuan orang.

Kebenaran yang harusnya tampak terang, saat langit dikotori ucapan janji manis, seolah jadi kelabu warnanya. Ya..karena yang mengucapkan belum tentu menegakkan janjinya, amanahnya, juga kebenaran yang harusnya dijunjung. Banyak yang menjual kebenaran karena ketakutan-ketakutan pada hukum manusia. Ketakutan untuk dibenci, ketakutan untuk disisihkan, ketakutan untuk dikeluarkan dari kelompoknya, dan yang paling utama adalah ketakutan menjadi miskin kembali.

Manusia lebih kuat menahan kemiskinan, dibanding menahan hilangnya kekayaan yang sudah digenggamnya. Perhatikan yang dulunya miskin dan diberi jabatan, rasanya sudah tak ada yang ingin kembali miskin. Itulah kenapa dikatakan bahwa jabatan itu godaan. Karena dengan jabatan banyak hal yang bisa didapatkan. Bahkan banyak yang tak mampu menghentikan godaan ini hingga tua sekalipun. Kata lainnya, lupa batas waktu pensiun.

Sempat saya berpikir, jika terus haus jabatan hingga tua, kapan menikmati hasil jerih payahnya tersebut? Mereka ingin anak cucunya terjamin hidupnya dengan simpanan yang terus menumpuk, itu salah satu alasannya. Semua sah-sah saja. Banyak yang lupa, terkadang rencana manusia tak selalu sama dengan rencana Tuhan. Karena sebanyak apapun harta bisa habis.

Tahun politik selalu punya banyak kehebohan. Bagi para oportunis, apapun harus dilakukan, termasuk untuk membeli suara. Sekarang tinggallah masyarakat yang harus pandai-pandai memilih yang terbaik dan punya sikap terbaik. Sayangnya masyarakat belum sepintar itu, terutama yang tak tahan godaan dan berpengetahuan sedikit. Uang amplopan sebesar Rp 50.000,- saja bisa mengubah pilihan. Padahal apa yang didapat yang terpilih selama 5 tahun kedepan, akan mendapat jutaan kali dari itu.

Jadi ingat tulisan ini. "Jika suaramu sendiri bisa dibeli, jangan pernah bermimpi punya wakil rakyat yang baik. Never!" -- Joko Santoso Handipaningrat.

Semoga masyarakat semakin cerdas dan menyadari betapa berharganya sebuah suara dengan tidak menjualnya dengan harga semurah kaos oblong, topi, jilbab, jam dinding, dan sebagainya. Selamat berpesta!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun