Setiap masuk tahun politik, banyak sekali kegaduhan. Baik menjelang pemilihan kepala daerah, ataupun pemilihan presiden. Semua seolah ikut serta terseret dalam alur 'pesta' demokrasi.
Di media sosial akan banyak bermunculan pengamat-pengamat politik dadakan, peramal-peramal plus pengacaunya alias perseteruan antar pendukung fanatik, baik secara implisit hingga yang vulgar perseteruannya. Semua tersaji setiap hari tanpa bisa dihentikan apalagi dihindari.
Sekarang saja, mulai banyak berwira-wiri di linimasa tulisan'..akan saya delcon yang ribut soal politik di linimasa saya'. Ini dari orang yang tak mau tahu dengan politik. Mereka muak dengan komentar-komentar yang pernah ada sebelumnya.
Di tahun politik juga, tiba-tiba banyak sekali manusia berhati mulia. Turun ke desa-desa juga kampung hingga gang terpencil menyapa penduduknya, membagi kaos atau topi, membagikan sembako, membagi kerudung, dan beramah tamah sembari menggendong bayi penduduk atau memeluk orangtua yang miskin dan kumal. Tentu sembari membawa para 'peliput'nya. Tujuannya, dapat 'pin' atau gelar merakyat atau peduli wong cilik. Nanti setelah terpilih, entah kemana semuanya.
Tiba-tiba juga banyak yang jadi relijius. Rajin menyambangi pondok pesantren seraya 'bersedekah'. Memeluk erat para kyai yang punya ribuan santri yang tentu saja sudah memiliki hak memilih. Bukan tempat penampungan anak yatim yang masih banyak anak kecilnya yang tentu saja belum punya hak memilih. Apalagi turun ke panti jompo yang dianggap kurang membawa keuntungan.
Yang tidak berjilbab, tiba-tiba saja memakai jilbab. Yang biasa tak berpeci, tiba-tiba kemana-mana berpeci dengan baju koko putih bersih licin. Semua terlihat kinclong dan santun. Bahkan yang non muslimpun tiba-tiba rajin mengunjungi pesantren dengan misi membangun modernisasi pondok, memberi ceramah dan selipan janji manis yang terkadang bisa membuat datangnya gejala kencing manis.
Di lingkungan tempat tinggal para calon, tiba-tiba rutin mengadakan pengajian dengan mendatangkan ustadz terkenal dan mengundang seluruh tetangganya yang saat menjabat nanti akan sulit bertemu dengan yang bersangkutan dengan alasan klasik'sibuk'. Asal masuk tahun politik, para orang penting tiba-tiba mudah ditemui dan mendadak merakyat dan membumi.
Tentu saja yang banyak ketiban rezeki adalah para pembuat kaos, itupun minta harga yang termurah karena dipesan dalam jumlah banyak. Juga topi, grosir jilbab, jam dinding dan penulis yang diminta untuk mem'branding' mereka. Belum lagi nanti para penyanyi yang di panggil untuk meramaikan acara-acara panggung rakyat. Acara jalan sehat bersama para kandidat tak lupa digelar dengan hadiah mobil. Kursus public speakingpun laris manis menjelang tahun politik, agar pertunjukan  nantinya berjalan lancar.
Sebagian masyarakat yang memang haus hiburan akan senang, karena banyak 'gratisan' digelar di mana-mana. Belum lagi hadiah menggiurkan dengan selubung doorprize. Begitulah fenomena tahun politik di sini.
Yang juga menonjol, tiba-tiba banyak orang tenar yang ikut mencalonkan diri. Baik dari kalangan pekerja seni hingga pengamat ini dan itu, anak tokoh ini dan itu, bahkan yang dikenal sebagai orang nyinyir sekalipun. Eh ..kata mereka bukan nyinyir tapi 'kritis'. Yang penting sudah tenar. Tentang punya ilmu atau tidak, nomor dua. Nama terkenal lebih mudah di'jual'. Apalagi bila disertai dengan good looking, keluarga harmonis, pasti lebih seru dah. Mereka akan mengumbar senyum dan beredar kemana-mana dengan rajinnya layaknya bintang-bintang di langit.
Memang tak semuanya mau saat mendapat tawaran sebuah jabatan, namun kekuasaan memang menggoda. Layaknya perempuan yang cantik dan sexyyang tersenyum manis meringis sembari tangannya melambai memanggil penuh manja pada mereka. Lalu saat dipertanyakan kapasitasnya, mereka sudah punya konsep jawaban yang mudah ditebak. Dari merasa 'terpanggil', hingga menggigil karena sudah lama merindukan panggilan menggoda ini. Atau karena memang ingin 'menyumbang' sedikit pengabdian demi bangsa dan negara.