Mohon tunggu...
Rina R. Ridwan
Rina R. Ridwan Mohon Tunggu... Penulis - Ibu yang suka menulis

Pembelajar Di Sekolah Kehidupan Novel: Langgas (Mecca, 2018) Sulur-sulur Gelebah (One Peach Media, 2022) Kereta (Mecca, 2023) IG: rinaridwan_23

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

"Childless By Choice", Masihkah Jadi Pilihan yang Tabu?

12 Desember 2017   06:26 Diperbarui: 12 Desember 2017   11:32 2027
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernah mendengar pilihan gaya hidup childless by choice?

Ternyata, tak semua orang merasa butuh punya anak. Merasa bahwa dunia sudah penuh sesak dan terlalu banyak anak yang ditelantarkan. Hingga merekapun memilih hidup tanpa anak.

Hal ini sebenarnya bukan hal baru yang saya ketahui, karena saat remaja dulu, salah seorang teman saya pernah mengungkap tentang salah satu cita-citanya yaitu hidup tanpa anak. Dia hanya mau menikah dengan perempuan yang punya keinginan yang sama, yaitu tanpa kehadiran anak.

Tentu saja banyak pro dan kontra menyertai keputusan berani orang-orang seperti ini, mengingat salah satu tujuan pernikahan telah mereka gugurkan. Sesuatu yang tak banyak dilakukan orang lain, selalu menimbulkan banyak pertanyaan dan pernyataan walau tanpa diminta.

Kita bisa melihat disini, betapa sibuknya para pasangan yang telah lama tak kunjung dikaruniai anak, mencari cara untuk mendapatkannya. Bahkan tak segan mengeluarkan begitu banyak biaya untuk itu. Para dokter atau klinik kesuburan tak pernah sepi peminat. Baik lelaki atau perempuan tak ada yang sudi disebut sebagai manusia mandul. Sedikit yang berani disebut sebagai manusia mandul dan menerimanya dengan baik.

Ketika anak yang diharapkan tak kunjung datang, konflik dari dalam pasangan saja sudah cukup menguras tenaga, waktu dan biaya. Belum lagi pembicaraan yang mereka dengar atau cuma mereka rasakan dari orang sekitar yang bernama keluarga, tetangga dan teman. Tentu cukup jadi alasan mengapa mereka sibuk berikhtiar untuk memiliki seorang anak.

Banyak juga yang akhirnya memungut anak secara diam-diam, bahkan dengan berpura-pura hamil agar pas dengan kelahiran bayi yang sudah di'pesan' dari rahim orang lain atau orang miskin yang anaknya banyak dan terlanjur hamil lagi,  demi mendapat predikat sebagai keluarga normal atau sempurna.

Sementara pasangan yang memilih gaya hidup childless by choice bisa saja adalah pasangan yang subur. Namun mereka dengan kesadaran sendiri mencegah terjadinya kehamilan dan memiliki anak. Sebagian menganggap mereka adalah pasangan yang aneh, egois, dan ,melanggar tujuan perkawinan yaitu mempunyai keturunan.

Tentu saja setiap keputusan punya konsekuensi, punya sisi negatif dan positif juga. Tak ada satupun keputusan apapun yang dibuat manusia dalam dalam hidup ini yang tak begitu.

Bagi yang menganggap dirinya normal yaitu keluarga yang mempunyai anak, bukanlah disebut keluarga bila tak ada yang namanya ayah, ibu dan anak-anak. Bukan pula sebuah keluarga bila tak ada perkembangan jumlah anggotanya, dan sebagainya.

Benar adanya, bahwa untuk memilih gaya hidup tanpa anak butuh keberanian. Saat usia masih muda dan kuat, mungkin tak berasa dampaknya, namun saat telah renta dan tak berdaya, siapa yang akan merawat mereka. Jawaban mereka sederhana, masih ada panti jompo yang bisa dimasuki setiap saat.

Padahal syarat utama menghuni panti jompo adalah berusia minimal 60 tahun. Jika mereka sehat dan masih mampu melakukan sendiri di usia itu, mungkin tak ada masalah, namun bila sudah sakit dan tak berdaya, siapa yang mengantar mereka? Teman saya menjawab, ya tetangga. Karena mereka akan berhubungan sebaik mungkin dengan tetangga atau paling tidak dengan anak dari saudara kandung alias keponakan mereka.

Lalu kembali tanya diajukan, bahwa untuk jadi penghuni panti jompo juga harus membayar bulanan. Mereka menjawab, tak masalah karena kami sudah punya tabungan untuk itu. Yang bertanyapun terdiam.

Di dunia barat, untuk memiliki seorang anak butuh banyak modal, karena berkaitan dengan pembiayaan kehidupannya, kesehatan juga pendidikannya sangatlah diperhatikan. Bukan asal hamil sebagaimana banyak yang terjadi disini. Mereka sangat menghargai setiap nyawa.

Saat di Australia, saat anak saya mengambil program S2 dan mengajak serta istrinya, lahirlah cucu saya. Sepulang dari rumah sakit, ada kunjungan ke rumah memeriksa kesehatan bayi kecil itu dengan seksama. Pendampingan yang disertai penyuluhan kesehatan bagi ibu dan bayi yang baru lahir. Belum lagi syarat tentang kelayakan tempat tinggal. Tak diijinkan untuk tinggal berdesakan demi pertumbuhan terbaik bagi setiap individu. Merekapun akan memeriksanya.

Sempat saya berpikir, bila ada kunjungan ke rumah untuk bayi yang baru lahir di Indonesia, wah..bisa-bisa tiap hari ada yang melahirkan nih. Namun bila ada aturan syarat kelayakan tempat tinggal, dijamin tak semua akan lolos.

Di negara-negara yang sudah maju, menjalani hidup tanpa anak bukanlah hal yang aneh apalagi mengherankan. Banyak para lansia yang hidup mandiri disana. Di Apartement atau di panti jompo. Jarang ada ketergantungan hidup bersama siapapun, bahkan bersama anaknya sekalipun. Mereka terbiasa dengan kehidupan mandiri.

Putri teman saya di Amerika, setiapSabtu atau Minggu sering dipanggil untuk sekedar menemani para lansia untuk sekedar membacakan buku atau bercerita di taman. Dan dia dibayar.

Setiap negara punya kebijakan yang berbeda, begitupun manusia, pasti punya beragam perbedaan keinginan antara satu dengan yang lainnya. Jadi, apapun pilihan orang lain, tentunya mereka sudah cukup tahu konsekuensi apa yang akan mereka hadapi nantinya. Hal terbaik yang bisa kita lakukan tentu saja menghargai dan menghormatinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun