Minimnya partisipasi pemilih pada pilkada  tahun 2024 berpengaruh pada legitisimasi pemerintah.
Pemilihan kepala daerah yang dilakukan secara serentak di Tanah Air telah selesai dilaksanakan.Pada tanggal 27 November 2024 kemarin adalah salah satu hari yang  ditunggu-tunggu oleh sebagian masyarakat Indonesia,dimana kali kedua hari demokrasi nasional dilaksanakan setelah kita ketahui bahwa tanggal 14 Februari 2024 juga serentak dilaksanakannya Pemilihan Presiden.
Namun ada yang berbeda pada pelaksanaan Pilkada serentak tahun ini.Â
Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU), tingkat partisipasi pemilih kali ini berada di bawah 70 persen. Angka ini menunjukkan penurunan drastis dibandingkan Pilkada 2020 yang mencapai 76,09 persen.
Sebagai negara yang dipuja dengan "Negara Demokrasi terbesar di Asia Tenggara."Kondisi ini mencerminkan penurunan minat masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses politik yang seharusnya menjadi bagian dari kedaulatan rakyat.
Partisipasi rendah dapat menciptakan persepsi bahwa pemimpin terpilih tidak mendapatkan dukungan mayoritas dari masyarakat.Imbasnya hubungan kausalitas antara masyarakat dan pemerintah menjadi lemah.
Menurut Nawawi (2012), legitimasi adalah fondasi awal kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan yang menerapkan prinsip tata kelola pemerintahan baik (good governance).
Pemimpin yang memiliki legitimasi kuat cenderung mampu menciptakan perubahan signifikan di daerah mereka. Namun, rendahnya partisipasi pemilih dapat menjadi indikator ketidakpuasan masyarakat terhadap kualitas calon kepala daerah. Banyak masyarakat merasa bahwa calon yang tersedia tidak merepresentasikan kebutuhan dan aspirasi mereka.
Beberapa faktor diantaranya yang memengaruhi minimnya pemilih pada Pilkada 2024.Salah satu yang utama adalah kelelahan pemilih akibat pelaksanaan Pemilu nasional dan Pilkada pada tahun yang sama. Kondisi ini menurunkan antusiasme, tidak hanya di kalangan masyarakat, tetapi juga penyelenggara dan partai politik.Â
Selain itu, proses pencalonan kepala daerah yang bersifat sentralistis turut menjadi masalah.Â
Pengurus pusat partai politik memiliki kendali penuh dalam menentukan kandidat, sering kali mengabaikan aspirasi masyarakat lokal. Akibatnya, calon yang diusung tidak selalu mencerminkan kebutuhan daerah.Â