Mohon tunggu...
Humaniora Artikel Utama

Perniagaan Paling Menguntungkan adalah Menjadi Ibu

18 Desember 2018   14:45 Diperbarui: 18 Desember 2018   20:46 890
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(intisari-online.com)

Di zaman yang terus berkembang ini, tiap anak membutuhkan pola sendiri-sendiri yang tidak seragam. Saya meyakini sekali hal itu. Saya putuskan untuk menjadi ibu yang sangat memanjakan mereka dengan dekapan dan sentuhan, serta menghujani mereka pujian dan membiarkan kamar tidur kami menjadi tempat paling berantakan sepanjang hari karna merangkap ruang bermain bagi mereka.

Sebagai orangtua, sudah menjadi kewajiban kami memenuhi kebutuhan mereka. Kami juga harus adil sesuai kebutuhan. Kami hampir tidak pernah membeli barang untuk mereka dua atau tiga sekaligus atas nama keadilan. Bagi saya, loving is caring and sharing sehingga penting bagi mereka untuk tumbuh dengan semangat saling mengasihi dan berbagi.

Saya sempat mengalami masa-masa "jahiliyah sebagai orangtua. Kala itu, dalam ketidaktahuan, saya merasa memarahi dan membentak bahkan sesekali mencubit itu adalah bentuk pendidikan disiplin kepada anak. Duuh malu dan sesak sekali dada ini mengenang itu. 

Saya ingat, suatu malam dalam sujud hening saya dengan sungguh-sungguh berjanji kepada Dia pemilik sesungguhnya anak-anak saya untuk berubah, untuk berbenah sebagai orangtua. Saya mohon ampun atas segala kekeliruan dalam mengasuh mereka selama ini. Saya berjanji tidak akan lagi membentak dan melukai hati dan anggota tubuh mereka---dengan cubitan sekecil apa pun itu.

Astaghfirullah ... Awalnya saya berpikir, menjadi ibu itu adalah sebuah pengorbanan, dan menyimpan ijazah di lemari itu adalah salah satu wujud nyatanya. Itu awalnya. 

Suatu hari, saya pernah merasakan ngilu di ulu hati dibarengi rasa minder ketika melihat teman teman sepertinya sangat berhasil dengan karier profesionalnya dengan dandanan khas eksekutif muda. Sementara saya, dalam balutan penampilan yang kental aroma rumah tangga dengan anak-anak balita dan suami yang masih merangkak menggapai asa, sungguh terlihat jomplang dibandingkan mereka. 

Meskipun begitu, entah bagaimana, pendirian saya tak goyah. Perasaan minder dan jomplang itu hanya mampir sebentar untuk kemudian terbang jauh tanpa pamit. Ya, saya putuskan untuk mengikhlaskan semuanya sebagai wujud npengorbanan saya sebagai ibu, sebagai istri.

Lalu apakah semuanya menjadi lebih mudah? Iya, pasti.  Tapi jujur saya harus akui, terkadang saya masih juga marah dan biasanya berujung sedih ketika mendapati kenyataan bahwa menjadi ikhlas itu tidaklah mudah. 

Saya tidak ingat persis kapan mulainya. Yang jelas, setelah saya renungi, ternyata saya malah menjadi semakin egois. Iya, egois. Semakin egois! Saya akan terlebih dahulu mempertimbangkan perasaan saya untuk semua keputusan yang diambil, dan kemudian berujung dengan berubahnya cara pandang saya tentang profesi tidak profesional yang terlanjur saya tekuni. 

Saya tidak lagi memandangnya sebagai pengorbanan, melainkan pilihan yang menguntungkan saya sebagai istri dan ibu. Iya, saya mengibaratkannya bisnis perdagangan dan keegoisan dengan gembira mendorong saya untuk mengeruk untung besar dalam pilihan ini. Ya, saya akan melakukan apa pun agar pilihan ini memberi banyak kebaikan, keuntungan dan kebahagian bagi saya.  Salah? 

Tentu saja dengan percaya diri dan lantang saya jawab, "Tentu saja tidak!" Dan ... sejak saat itu, ijazah yang laminatingnya hampir lengket di tas dokumen itu, sungguh tidak lagi pernah mengusik saya, it's my choice and i'm the big boss!'

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun