Sudah sepuluh tahun saya menekuni kepenulisan dan menghasilkan buku-buku popular serta banyak artikel. Hampir 4 tahun ini saya fokus menulis buku ajar untuk Tingkat sekolah menengah Atas (khususnya kejuruan). Tentu saja banyak ilmu baru yang didapatkan dengan menulis buku-buku tersebut. Empat tahun terakhir ini sudah lima buku ajar yang terbit. Menulis buku tersebut karena ada permintaan dari sebuah penerbit mayor yang menerbitkan buku-buku pelajaran.
Tahun 2024 ini saya mendapatkan proyek baru lagi menulis buku ajar masih untuk SMK dengan judul-judul yang berbeda dari sebuah penerbit besar khusus buku-buku pelajaran. Penerbit ini sudah sangat terkenal dan legendaris di negeri ini. Bersyukur sekali saya bisa menjadi bagian dari anggota keluarga bari di penerbit besar tersebut. Insya Allah tahun ajaran baru 2025 buku hasil karya saya akan beredar.
Hal penting yang akan saya sampaikan di sini adalah ternyata banyak penerbit yang membutuhkan banyak guru untuk menulis buku ajar sesuai bidang studi guru tersebut. Sayangnya, banyak guru yang tidak mau dan mengaku tidak mampu menulis buku. Padahal buku yang ditulis tersebut adalah materi yang ia sampaikan sehari-hari di kelas.
Mengapa para guru tidak mau menulis buku khususnya buku ajar? Berikut ini alasan-alasan yang sering terjadi:
1. Tidak punya banyak waktu
Diakui memang guru zaman sekarang sangat sibuk. Keterbatasan waktu membuat mereka sulit menyisihkan waktu khusus untuk menulis. Guru sering kali sibuk dengan jadwal mengajar, administrasi, dan tugas tambahan di sekolah. Kesibukan tersebut tentu saja sangat melelahkan badan dan pikiran. Sehingga para guru tidak terpikir untuk menulis buku.
2. Tidak punya kemampuan menulis
Tidak semua guru terbiasa menuangkan ide-idenya dalam bentuk tulisan. Apalagi menulis dengan teknik menulis ilmiah atau popular. Kesulitan semakin menjadi karena memang tidak terlatih untuk menulis dan kurangnya sarana untuk belajar menulis karya ilmiah maupun populer. Banyak yang mengatakan bahwa menulis itu adalah bakat, padahal menulis itu bukan bakat melainkan keterampilan yang bisa diasah oleh siapapun yang memiliki minat.
3. Kurangnya Motivasi dan Dukungan
Guru mungkin tidak merasa didorong oleh lingkungan mereka untuk menulis. Tidak semua sekolah atau lembaga pendidikan menyediakan pelatihan menulis atau dukungan untuk guru yang ingin menulis buku. Selain itu peraturan guru dilarang menjual buku pelajaran menambah mereka menjadi makin tidak berminat menjadi penulis buku.
4. Tidak Percaya Diri
Guru merasa tidak memiliki kemampuan untuk menulis. Mereka juga tidak paham bahwa pengalaman-pengalaman dan ilmu yang dimilikinya bisa dijadikan ide menulis yang menarik. Rasa tidak percaya diri itulah yang menjadi hambatan mereka untuk mulai menulis karya ilmiah atau popular. Padahal, kegiatan sehari-hari di sekolah bersama siswa/inya merupakan gudang bahan menulis. Belum lagi bidang keahlian yang diampu, banyak yang bisa dijadikan bahan tulisan.
5. Tidak memahami manfaat secara langsung
Guru kurang informasi mengenai manfaat menulis secara langsung. Hal yang paling sederhana manfaat menulis yang bisa dirasakan secara langsung adalah akan menambah banyak wawasan, karena dengan menulis berarti ia akan banyak membaca sumber-sumber yang mendukung bahan tulisannya. Ada pula yang anggapan bahwa fokus mengajar lebih penting daripada menulis. Beberapa guru merasa bahwa menulis buku tidak memberikan manfaat yang signifikan bagi karir mereka, terutama dengan penambahan finansial. Kemampuan menulis bagi guru bisa dijadikan sebagai sumber penghasilan tambahan, semakin sering menulis akan semakin banyak manfaat yang dirasakan.
6. Malas Berpikir
Karena beratnya beban pekerjaan, energi yang sudah terkuras habis dengan banyaknya jadwal mengajar juga menumpuknya tugas administrasi menambah turunnya semangat para guru untuk menulis, malas berpikir. Belum lagi tugas-tugas tambahan membuat para guru semakin tidak memiliki waktu untuk mengembangkan kemampuan berpikirnya. Jarang membaca buku dan malas berpikir untuk menuangkan ide-ide briliannya.
7. Takut Terhadap Kritik
Ketakutan ini sering kali timbul karena kaitannya dengan tidak ada kepercayaan diri, sehingga menjadi penghambat untuk memulai. Beberapa guru khawatir bahwa karya mereka akan dikritik oleh pembaca atau rekan sejawat. Mereka tidak siap dengan reaksi negatif dari rekan sejawat dan juga lingkungan sekitar jika karyanya terbit.
Untuk mengatasi hal-hal tersebut di atas tentu perlu kerjasama dengan berbagai pihak, baik dengan keluarga juga lembaga pendidikan yang menaungi guru tersebut. Untuk membangkitkan semangat dan motivasi para guru untuk menulis diperlukan pelatihan, waktu yang dialokasikan khusus untuk menulis, dan penghargaan atas karya guru yang berhasil diterbitkan. Dengan cara ini, guru dapat lebih termotivasi untuk menulis buku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H