Perilaku menyimpang yang semakin marak akhir-akhir ini sangat memuakkan kita semua. Pelbagai penyimpangan yang terjadi secara nyata begitu menyayat hati, memekakan telinga, dan menyakitkan mata. Apa yang terjadi adalah para pelaku penyimpangan justru melibatkan individu-individu yang berpendidikan.
Pendidikan, yang seharusnya menjadi fondasi utama dalam membentuk karakter yang baik, telah menjadi paradoks dalam praktiknya. Semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin diharapkan perilaku yang baik, namun kenyataannya sangat bertolak belakang dengan apa yang terjadi saat ini.
Kasus korupsi melibatkan profesor, kasus bullying siswa yang melibatkan guru, kasus pencabulan santri yang melibatkan ustadz, dan berbagai perilaku buruk lainnya yang melibatkan individu-individu yang terdidik menjadi bukti nyata betapa rendahnya tingkat integrasi ilmu dan etika  dalam kehidupan nyata.
Di sisi lain, fenomena ini bukan hal yang baru. Penyimpangan integrasi ilmu pengetahuan sudah terjadi sejak lama, lazim disebut dengan kaum "sofis". Istilah "sofis" mengacu pada individu berpendidikan tinggi yang menjual ilmu dan keahliannya demi keuntungan pribadi, baik itu berupa materi maupun kekuasaan.
Meskipun pada awalnya istilah "sofis" merujuk pada para cendikiawan yang memiliki pengetahuan tentang filsafat dan ilmu lainnya, fenomena kaum sofis sebenarnya sudah ada sejak abad ke-5 SM. Selain kaum sofis, perilaku serupa juga dapat ditemui dalam cerita-cerita kuno, seperti pada zaman Fir'aun, di mana fenomena semacam ini juga diceritakan. Salah satu kisah yang terkenal adalah kisah Haman sebagai penasihat kerajaan Fir'aun. Dia digambarkan sebagai orang pintar yang memberikan nasihat kepada penguasa yang zalim (Fir'aun).
Hal ini menunjukkan bahwa paradoks integrasi ilmu dalam kehidupan telah lama terjadi. Orang yang memiliki pengetahuan yang baik belum tentu memiliki perilaku yang baik.
Pendidikan seharusnya menjadi sarana untuk membentuk individu yang memiliki integritas tinggi, namun kenyataannya kita masih dihadapkan pada kasus-kasus penyimpangan yang melibatkan orang-orang berpendidikan.
Acemoglu dan Robinson dalam bukunya, "Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty," menjelaskan bahwa ada hasrat para pemimpin untuk membatasi kemajuan suatu daerah demi mendapatkan legitimasi kekuasaan yang lebih lama. Para pemimpin ini seringkali adalah individu terdidik yang berkuasa di daerah tersebut.
Di berbagai wilayah di Indonesia, terutama daerah-daerah tertinggal, seringkali kita menyaksikan perilaku seperti ini. Individu-individu yang seharusnya menjadi garda depan dalam pembangunan dan perubahan malah terjerat dalam ambisi pribadi seperti korupsi, kolusi, nepotisme dan menggunakan wewenang dengan sewenang-wenang.
Otonomi daerah tidak serta merta menjamin kemajuan. Dalam praktiknya menjadikan penguasa lokal yang berkuasa lupa diri. Membentuk dinasti baru yang kerap kali menjadi akar masalah pembangunan suatu daerah.
Fenomena ini menggambarkan betapa pentingnya pendidikan karakter. Tidak hanya fokus pada aspek akademik pendidikan, tetapi juga pentingnya pembentukan karakter dan nilai-nilai moral yang kuat dalam proses pendidikan. Pendidikan yang baik seharusnya melibatkan pembelajaran tidak hanya dalam bidang akademik, tetapi juga dalam pembentukan etika, moralitas, dan integritas.
Sekolah mampu menghasilkan siswa yang pintar, namun tidak dapat menjamin bahwa mereka akan menjadi individu yang jujur dan berintegritas. Seperti yang pernah diungkapkan oleh Bung Hatta, "Kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar, kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman. Namun tidak jujur sulit diperbaiki."
Untuk mengatasi paradoks pendidikan ini, perlu adanya perubahan dalam sistem pendidikan yang lebih holistik. Selain memberikan pengetahuan akademik yang memadai, pendidikan juga harus fokus pada pengembangan karakter dan nilai-nilai moral yang kuat. Hal ini dapat dilakukan melalui integrasi materi pendidikan dengan pembelajaran tentang etika, tanggung jawab sosial, empati, dan kejujuran.
Selain itu, penting juga untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang mendukung integritas. Guru dan tenaga pendidik harus menjadi contoh teladan yang jujur dan berintegritas bagi siswa. Selain itu, pengawasan yang ketat dan tindakan disiplin terhadap pelanggaran etika dan integritas harus diterapkan secara konsisten.
Peran masyarakat juga sangat penting dalam menekankan nilai-nilai integritas dalam pendidikan. Dukungan dan partisipasi aktif dari orang tua, komunitas, dan lembaga masyarakat lainnya dapat membantu menciptakan lingkungan pendidikan yang berfokus pada pembentukan karakter yang baik.
Dalam menghadapi paradoks pendidikan ini, upaya kolaboratif dari pemerintah, institusi pendidikan, tenaga pendidik, siswa, orang tua, dan masyarakat secara keseluruhan diperlukan. Hanya dengan kerja sama yang kuat dan komitmen bersama, kita dapat mengatasi paradoks pendidikan dan memastikan bahwa pendidikan benar-benar menjadi sarana yang efektif untuk membentuk individu yang berintegritas tinggi.
Kiranya, fenomena kaum "sofis" tidak terus terjadi. Agar pembangunan bangsa berjalan dengan semestinya. Perbaikan karakter sebaiknya kita mulai dari diri sendiri untuk kemudian disampaikan kepada orang lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H