Mohon tunggu...
Rinaldi Syahputra Rambe
Rinaldi Syahputra Rambe Mohon Tunggu... Pustakawan - Pustakawan Perpustakaan Bank Indonesia Sibolga

Anak desa, suka membaca, menulis dan berkebun. Penulis buku "Etnis Angkola Mandailing : Mengintegrasikan Nilai-nilai Kearifan Lokal dan Realitas Masa Kini". Penerima penghargaan Nugra Jasa Dharma Pustaloka 2023 dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas).

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mengembalikan Tradisi Wisuda ke Khittahnya

21 Juni 2023   11:16 Diperbarui: 21 Juni 2023   11:21 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi wisuda.    Foto: Shutterstock

Polemik mengenai perayaan wisuda di jenjang pendidikan TK sampai SMA telah menjadi topik yang hangat dalam masyarakat belakangan ini. Terjadi perdebatan mengenai penting atau tidaknya melakukan prosesi wisuda untuk tingkat TK hingga SMA.

Polemik ini muncul karena semakin banyak sekolah tingkat TK hingga SMA yang melaksanakan kegiatan wisuda. Pada masa lalu, wisuda hanya diadakan untuk merayakan kelulusan mahasiswa di perguruan tinggi. Sedangkan untuk tingkat TK hingga SMA, merayakan kelulusan sekolah dilakukan dengan acara perpisahan sekolah, seperti makan bersama, sukuran, atau pertemuan antara guru, orang tua, dan murid. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, terjadi pergeseran kebiasaan tersebut.

Pergeseran Paradigma 

Hari ini prosesi wisuda untuk tingkat TK-SMA telah menjadi tradisi yang dilakukan nyaris di semua sekolah. Prosesinya hampir serupa dengan wisuda di perguruan tinggi, seperti mengenakan jubah, toga, dan sejenisnya.

Adanya  pergeseran paradigma di masyarakat kita bahwa semua jenjang pendidikan harus dirayakan dengan wisuda. Sayangnya, pergeseran paradigma ini tidak sepenuhnya memperhatikan nilai-nilai yang terkandung dalam wisuda itu sendiri. Mengadopsi tradisi tertentu tanpa memperhatikan nilai-nilai yang seharusnya disampaikan.

Secara historis, wisuda telah ada sejak abad ke-12. Wisuda adalah perayaan untuk orang-orang yang telah menyelesaikan pendidikan tinggi. Setiap asesoris yang digunakan dalam prosesi wisuda memiliki makna “filosofi” tersendiri.

Wisuda TK.   Foto: tribunnews.com
Wisuda TK.   Foto: tribunnews.com

Mengembalikan Kembali ke Khittahnya

Saya berpendapat jika dilihat dari segi manfaatnya, wisuda TK sampai SMA tidak terlalu penting. Tradisi ini seolah mengaburkan nilai kesakralan ilmu pengetahuan itu sendiri. Sebab, prosesi wisuda secara simbolis mencerminkan seseorang yang secara resmi memiliki keilmuan tertentu dan berhak mendapatkan gelar atas ilmunya.

Apakah kita juga akan memberikan gelar pada anak TK yang sudah diwisuda? Apa gelar yang pantas kita berikan kepada mereka? Keilmuan apa yang sudah mereka miliki?. Begitu juga dalam jenjang pendidikan menengah pertama dan menengah atas. Apakah kita juga akan memberikan gelar keahlian atau keilmuan kepada mereka?.

Setiap bagian dari prosesi wisuda mengandung filosofi yang tak bisa kita pisahkan dari realitasnya. Misalnya, pemindahan tali toga dari kiri ke kanan memiliki filosofi bahwa peran otak kanan harus lebih dominan dalam kehidupan masyarakat. Artinya seseorang yang belajar di perguruan tinggi didorong untuk menggunakan otak kiri dalam hal sikap kritis dan ilmu pengetahuan. Kemudian setelah ia wisuda dianggap telah cukup dan saatnya ilmu yang didapatkan diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat.

Salah satu argumen yang sering diajukan bagi mereka yang setuju dengan pelaksanaan “wisuda” pada tingkat pendidikan TK sampai SMA adalah dapat memberi motivasi kepada anak-anak. Mereka menyakini wisuda dapat menjadi momen istimewa yang menghargai prestasi akademik di setiap jenjang pendidikan.

Selain itu, ada pula yang berpendapat bahwa perayaan wisuda tingkat TK sampai SMA memiliki nilai simbolis dan membangun rasa percaya diri bagi anak-anak. Wisuda menjadi momen di mana mereka merasa diakui atas usaha dan prestasi selama masa sekolah. Acara tersebut juga dapat menjadi pengalaman yang berkesan dan menginspirasi mereka untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Di sisi lain, argumen ini terkesan klise. Tidak melihat realitas yang terjadi. Apakah anak-anak benar-benar termotivasi atau merasa istimewa dengan prosesi wisuda dilakukan?. Apakah mereka tau makna yang terkandung dengan kebiasaan ini?. Jangan sampai anak-anak kita paksakan mengikuti sesuatu yang tidak mereka mengerti.

Selain itu, penambahan biaya yang timbul akibat perayaan wisuda TK sampai SMA juga menjadi masalah baru bagi banyak orang tua. Persiapan seperti membeli jubah, toga, seragam, cenderamata, dan lainnya dapat memberikan beban finansial yang cukup besar, terutama jika memiliki lebih dari satu anak yang akan mengikuti prosesi wisuda.

Bukankah seharusnya jauh lebih bermanfaat jika uang tersebut digunakan untuk persiapan pendidikan jenjang selanjutnya. Toh tidak semua anak berasal dari keluarga yang financialnya baik. Jangan sampai sekolah hanya menjadi tempat bagi mereka yang punya “duit”. Adalah kewajiban negara untuk menjamin kesempatan yang sama dalam hal pendidikan.

Agar polemik ini dapat diatasi, penting untuk mencari jalan tengah yang mempertimbangkan kedua perspektif. Sekolah dan lembaga pendidikan dapat mengkaji kembali pelaksanaan wisuda tingkat TK sampai SMA. Para pemangku kepentingan dan pembuat kebijakan juga harus memperhatikan realitas yang terjadi. Bila perlu dibuatkan regulasi yang mengatur agar tidak menjadi polemik berkepanjangan.

Selain itu, perlu adanya pemahaman yang lebih luas di masyarakat mengenai arti sebenarnya dari wisuda dan pentingnya menjaga khittah tradisi tersebut. Hal ini dapat dilakukan melalui penyuluhan dan komunikasi yang efektif antara sekolah, orang tua, dan siswa. Dengan begitu, tradisi wisuda dapat dikembalikan kepada khittah yang sebenarnya, yaitu sebagai penghormatan atas prestasi akademik dan perjalanan pendidikan yang berharga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun