Seringkali kita mendengar percakapan yang akhirnya berujung pada berapa jumlah uang yang harus diberikan sebagai tolak ukur untuk memilih seorang pemimpin. Berbagai kalimat seperti "baik diambil atau tidak, mereka tetap akan seperti itu" atau "kalau tidak diambil, kapan lagi kita mendapatkan uang dari pejabat." Ini adalah kesempatan! Dua kalimat ini seolah-olah menggambarkan bahwa politik uang tidak berpengaruh terhadap pembangunan bangsa di masa depan.
Sebenarnya, persoalan seperti ini adalah lingkaran setan yang tidak akan pernah putus sampai kita semua mengubah perilaku. Tidaklah adil jika kita menyebut para pejabat sebagai "bedebah" sementara kita sendiri ikut terlibat dalam persoalan ini.
Pejabat yang terpilih melalui "politik uang" tidak akan mampu melayani rakyat dengan sepenuh hati. Sejak awal, mereka telah membayar masyarakat untuk menerima konsekuensi apa pun yang terjadi akibat kepemimpinannya.
Pada akhirnya, masyarakatlah yang menjadi korban. Mereka menjadi pelaku dan korban sekaligus. Para pejabat akan terus merayakan dengan fasilitas dan tunjangan yang mereka peroleh.
Logika sederhananya, uang yang telah dikeluarkan tidak mungkin tidak digantikan. Bagaimanapun juga, modal politik yang mahal harus kembali. Faktor inilah yang menyebabkan maraknya praktik korupsi.
Oleh karena itu, semua elemen masyarakat harus bersama-sama menolak politik uang. Mari kita menentukan pilihan berdasarkan kapasitas calon, bukan berdasarkan jumlah uang yang akan kita terima.
Jika hal ini tidak dilakukan, mustahil persoalan korupsi akan teratasi di negeri ini. Seperti yang dikatakan oleh Einstein, "kegilaan adalah melakukan hal yang sama berulang-ulang dan mengharapkan hasil yang berbeda." Bersikap jujur harus dimulai dari diri kita sendiri. Menolak politik uang adalah tanggung jawab kita bersama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H