Mohon tunggu...
Rinaldi Syahputra Rambe
Rinaldi Syahputra Rambe Mohon Tunggu... Pustakawan - Pustakawan Perpustakaan Bank Indonesia Sibolga

Anak desa, suka membaca, menulis dan berkebun. Penulis buku "Etnis Angkola Mandailing : Mengintegrasikan Nilai-nilai Kearifan Lokal dan Realitas Masa Kini". Penerima penghargaan Nugra Jasa Dharma Pustaloka 2023 dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ketika Usia Dijadikan Dasar Melegitimasi Kebenaran

14 April 2023   15:14 Diperbarui: 16 April 2023   14:17 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi memaksakan kehendak.  Foto: U-report

Indonesia merupakan negara multikultural yang serat dengan nilai ketimuran. Menjunjung tinggi etika dan moralitas. Memiliki tata krama yang beragam. Hampir semua etnis memiliki tata krama masing-masing.

Aturan berperilaku dan berbicara memiliki aturan yang kental dengan nilai moralitas. Sejak kecil kita terbiasa diajari sopan santun dalam bergaul dan berbicara.

Setiap orang harus menjaga sikap dan ucapannya baik itu dengan sesama teman, yang lebih muda, dan orang yang lebih tua. Setiap orang harus mampu menyelaraskan perbuatan dan ucapannya berdasarkan usia orang di sekitarnya.

Dalam budaya jawa ada aturan dalam berperilaku menghormati orang lain, kita mengenal istilah ngajeni wong liyo. Artinya keberadaan orang lain penting dan keberadaanya harus dihormati agar hidupnya bisa selaras dan diterima oleh masyarakat sekitar. Sikap hidup harus diikat oleh nilai luhur seperti sikap sopan, menghormati orang tua dan menghormati orang lebih tua.

Demikian halnya pada etnis lain, misalnya etnis batak. Dalam budaya batak terdapat aturan adat yang mengatur untuk saling menghormati. Terlebih pada orang yang lebih tua.

Bahkan dalam satu kampung harus ada orang yang dituakan yang disebut Hatobangon. Hatobangon dalam posisi adat sangat dihormati, digugu dan dicontoh.

Ilustrasi kebenaran. Foto: Unplash
Ilustrasi kebenaran. Foto: Unplash

Bahasa yang digunakan juga berbeda tergantung kepada siapa kita berbicara. Apabila bicara kepada yang lebih mudah harus diucapkan dengan kata yang memiliki konotasi sayang dan mengayomi. Tutur kata kepada teman sebaya juga harus dijaga. Terlebih pada orang yang lebih tua, tidak boleh berkata kasar baik intonasi dan makna kata yang disampaikan.

Secara nasional kemudian nilai-nilai luhur tadi telah menjadi bagian dari kehidupan kita. Sampai saat ini, nilai-nilai luhur ini masih kita temukan dan rasakan meskipun mungkin telah terjadi perubahan akibat globaliasi yang terjadi.

Namun, terkadang budaya menghormati yang lebih tua tidak selalu selaras dalam beberapa hal. Usia cenderung dijadikan sebagai alat melegitimasi kebenaran.

Usia seringkali menjadi dasar legitimasi kebenaran di banyak masyarakat. Kebiasaan ini terutama terlihat dalam budaya populer dan juga dalam kehidupan sehari-hari. Namun, apakah usia yang seharusnya menjadi faktor utama dalam menentukan kebenaran?

Dalam beberapa budaya, orang yang lebih tua dianggap sebagai sumber pengetahuan yang lebih besar dan lebih bijaksana daripada orang yang lebih muda. 

Ada keyakinan yang kuat bahwa karena mereka telah hidup lebih lama dan mengalami lebih banyak hal, mereka memiliki kebijaksanaan dan pengalaman yang lebih besar dalam menjalani kehidupan. 

Ilustrasi berbicara dengan oarang yang lebih tua.  Foto: Freepik
Ilustrasi berbicara dengan oarang yang lebih tua.  Foto: Freepik

Keyakinan ini juga berlaku dalam lingkungan akademis, di mana profesor dan guru dianggap sebagai otoritas dalam bidang mereka karena pengalaman dan pengetahuan yang luas.

Namun, legitimasi kebenaran hanya berdasarkan pada usia dapat menjadi masalah. Ini karena faktor usia saja tidak cukup untuk menentukan apakah seseorang memiliki kebijaksanaan atau pengetahuan yang lebih besar daripada orang lain. 

Ada orang yang lebih muda namun memiliki pengalaman dan pengetahuan yang lebih luas dibandingkan dengan orang yang lebih tua. Selain itu, orang yang lebih tua juga dapat mengalami perubahan dalam pemikiran mereka seiring waktu, yang membuat pandangan mereka tidak selalu lebih bijaksana atau akurat.

Ketika kita mengandalkan usia sebagai satu-satunya faktor dalam menentukan kebenaran, ini juga dapat menciptakan diskriminasi terhadap orang yang lebih muda atau kurang berpengalaman. 

Orang yang lebih muda dapat merasa tidak dihargai dan diabaikan, bahkan jika mereka memiliki ide yang baik dan pengetahuan yang luas. Hal ini dapat memicu ketidakadilan dalam banyak aspek kehidupan, seperti dalam dunia kerja atau politik.

Oleh karena itu, sebaiknya kita tidak hanya memandang usia sebagai faktor tunggal dalam menentukan kebenaran. Kita harus mempertimbangkan berbagai faktor lain, seperti pengetahuan, pengalaman, dan pemikiran kritis. 

Orang yang memiliki pandangan yang berbeda-beda dan latar belakang yang beragam harus diberikan kesempatan untuk menyatakan pendapat mereka dan didengarkan tanpa diskriminasi. Kita harus menciptakan budaya yang inklusif dan menghargai kontribusi dari berbagai generasi.

Selain itu, usia tidak bisa dijadikan tolak ukur kebenaran, sebab usia seseorang tidak menjamin perilakunya terpuji. Pasalnya, dalam kehidupan sehari-hari kita masih sering menyaksikan orang yang lebih tua tidak mampu memberi keteladanan.

Ilustrasi memaksakan kehendak.  Foto: U-report
Ilustrasi memaksakan kehendak.  Foto: U-report

Dengan dalih usia yang lebih tua, orang yang lebih muda usianya harus memaklumi tingkah laku orang yang lebih tua. Meskipun memperlihatkan perilaku yang kurang terpuji.

Ungkapan yang paling sering diutarakan "saya duluan makan garam dari pada kamu", dan ucapan lain semisalnya. Muaranya tentu menunjukkan orang yang lebih muda tidak berhak menunjukkan nilai yang benar kepada yang lebih tua.

Dalam perubahan nilai luhur sekali pun, generasi muda selalu menjadi sasaran kambing hitam perilaku moral yang kurang terpuji.  

Kita pasti sering mendengar ucapan "anak-anak sekarang moralnya sangat rendah". Tidak ada tata krama, dan seterusnya.

Lalu kemudian muncul pertanyaan, "Bukankah kerusakan moral yang terjadi diakibatkan karena kurangnya keteladanan yang diberikan orang lebih tua? Bak kata pepatah "guru kencing berdiri, murid kencing berlari".

Menghormati yang lebih tua merupakan tradisi baik yang harus dipertahankan. Itu sebabnya, orang yang lebih tua seharusnya lebih terbuka, bukan memaksakan segala sesuatu yang tidak benar.

Harus diingat, satu keteladanan lebih baik daripada seribu nasihat.

Tingkah laku dan sopan santun yang baik selayaknya ditunjukkan terlebih dahulu sebelum memberikan nasihat kepada orang lain.

Sebagai kesimpulan, usia seringkali digunakan sebagai faktor legitimasi kebenaran, kita harus mempertimbangkan bahwa faktor ini sendiri tidaklah cukup. Kita harus memandang kebenaran melalui berbagai aspek seperti pengetahuan, pengalaman, dan pemikiran kritis. Hal ini penting agar kita dapat menghargai kontribusi dari berbagai generasi dan menciptakan budaya inklusif dan adil.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun