Kotawaringin Barat merupakan sebuah kabupaten di Kalimantan Tengah yang pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2010 pernah mencatatkan sebuah keputusan diskualifikasi oleh Mahkamah Konstitusi dengan berhasilnya pemohon saat itu meyakinkan majelis hakim MK. Terlepas dari  perdebatan publik pasca keputusan dimaksud, langkah pemohon bersama kuasa hukumnya dalam menyakinkan majelis hakim saat itu dengan 68 orang saksi patut menjadi pembelajaran bagi kita semua. Putusan Mahkamah Agung nomor Nomor 45/PHPU.D-VIII/2010, terhadap perkara Perselisihan Hasil  Pemilihan  Umum  Kepala  Daerah  dan  Wakil  Kepala  Daerah  Kabupaten Kotawaringin Barat  Tahun 2010, yang diajukan oleh Dr. H. Ujang Iskandar, ST., M.Si dan Bambang Purwanto, S.ST., amat menggoncangkan banyak pihak. Bagaimana tidak, H.Sugianto dan H. Eko Soemarno,SH sebagai Paslon nomor urut 1 telah berhasil memperoleh suara tertinggi dengan 67.199 suara atau 54,87% kemudian disusul oleh Dr.H.Ujang Iskandar,ST.,M.SI dan Bambang Purwanto,S.ST., dengan perolehan 55.281 suara atau sejumlah 45,13 % dari suara sah. Hal ini dimuat dalam Surat Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) kabupaten Kotawaringin Barat nomor 62/Kpts-KPU-020.435792/2010. Tentang Penetapan Hasil Perolehan Suara Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kotawaringin Barat dalam Pemilihan Umum Bupati dan Wakil Bupati Kotawaringin Barat tahun 2010 tertanggal 12 Juni 2010,serta Surat Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Kotawaringin Barat Nomor 63/kpts-kpu-020.435792/2010 tentang Penetapan Pasangan Calon  Bupati Dan Wakil Bupati Kotawaringin Barat Tahun 2010 sebagai Pasangan Calon Terpilih Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Kotawaringin Barat Tahun 2010 dengan perolehan suara sah sebesar 67.199 suara atau sebesar 54,87 %, perolehan suara mana jauh melebihi perolehan suara Pemohon yang hanya sebesar 55.281, dimana terdapat selisih yang sangat signifikan, yakni sebesar 11.918 suara.
Dalam amar putusannya, Mahkamah Konstitusi memutuskan:
- Mengabulkan  permohonan Pemohon untuk seluruhnya;Â
- Membatalkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum/KPU Kotawaringin Barat Nomor 62/Kpts-KPU-020.435792/2010 tanggal 12 Juni 2010 tentang Penetapan Hasil Perolehan Suara Pasangan Calon Bupati Dan Wakil Bupati Dalam Pemilihan Umum Bupati Dan Wakil Bupati Kotawaringin Barat Tahun 2010, dan Berita Acara Nomor 367/BA/VI/2010 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih Dalam Pemilihan Umum Bupati dan Wakil Bupati Kotawaringin Barat, tertanggal 12 Juni 2010, sepanjang mengenai perolehan suara Pasangan Calon Nomor Urut 1 atas nama H. Sugianto dan  H. Eko Soemarno, SH;
- Mendiskualifikasi  Pasangan Calon Nomor Urut 1 atas nama, H. Sugianto dan  H. Eko Soemarno, SH., sebagai Pemenang Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Kotawaringin Barat;
- Memerintahkan KPU Kabupaten Kotawaringin Barat untuk menerbitkan surat Keputusan yang menetapkan Pasangan Calon Nomor Urut 2 yaitu  Dr. H. Ujang Iskandar, ST., M.Si dan Bambang Purwanto, S.ST. sebagai  Bupati dan Wakil Bupati Terpilih dalam Pemilihan Umum Kepala 194 Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Kotawaringin Barat  Tahun 2010.
Seperti halnya tulisan kami pada artikel sebelumnya, Hakim Mahkamah Konstitusi saat ini sudah lebih maju dalam memandang persoalan permohonan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah tidak lagi berkutat pada selisih angka sebagaimana yang dicantumkan pada syarat formil ambang batas sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 158 UU No. 10 Tahun 2016 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada). Pasal 158 UU Pilkada mengatur pasangan calon kepala daerah dapat mengajukan permohonan pembatalan keputusan penetapan hasil penghitungan suara oleh KPUD Provinsi/Kabupaten/Kota dengan ketentuan bila memenuhi syarat selisih suara mulai 2 persen hingga 0,5 persen tergantung dari jumlah penduduk di provinsi/kabupaten/kota yang bersangkutan. Hal inilah yang menjadi alasan bagi Ketua Tim Sukses Agung Nugroho - Markarius Anwar (AMAN), Ayat Cahyadi, berkomentar di media bahwa, menurutnya untuk kasus di Pekanbaru, ambang batas yang diterima ialah 0,5 persen. Sedangkan selisih suara penggugat dengan Agung-Markarius mencapai 26 persen. Sepertinya mantan Wakil Walikota Pekanbaru melupakan apa yang terjadi pada dirinya bersama Firdaus pada Pilkada kota Pekanbaru tahun 2011. Dalam Pilkada yang digelar 18 Mei 2011 tersebut, Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Pekanbaru menetapkan Firdaus-Ayat Cahyadi memperoleh 153.943 suara atau sekitar 58,93 persen suara sah. Â Sedangkan pasangan Setina-Erizal Muluk nomor urut 2 hanya memperoleh 107.268 suara atau sekitar 41,07 persen. Ada jarak 11% antara perolehan suara Pemohon dengan pasangan yang ditetapkan sebagai peraih suara tertinggi. Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Selanya Nomor 63/PHPU.D-IX/2011 memutuskan:
- Membatalkan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Umum Walikota dan Wakil Walikota Pekanbaru Tahun 2011 di Tingkat Kota oleh Komisi Pemilihan Umum Kota Pekanbaru, tanggal 24 Mei 2011 yang ditetapkan oleh Termohon;
- Memerintahkan kepada Komisi Pemilihan Umum Kota Pekanbaru untuk melakukan pemungutan suara ulang Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kota Pekanbaru Tahun 2011 di seluruh TPS se-Kota Pekanbaru;
- Memerintahkan Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilihan Umum, Komisi Pemilihan Umum Provinsi Riau, dan Panitia Pengawas Pemilihan Umum Kota Pekanbaru untuk mengawasi pemungutan suara ulang tersebut sesuai dengan kewenangannya;
- Melaporkan kepada Mahkamah Konstitusi hasil pemungutan suara ulang tersebut selambat-lambatnya 90 (sembilan puluh) hari setelah putusan ini diucapkan.
Syahdan, terlepas dari proses setelahnya, dan jarak perolehan suara sebanyak 11% antara Firdaus - Ayat Cahyadi dan Septina - Erizal Muluk yang saat itu belum menjadi acuan syarat formil gugatan, hakim Mahkamah Konstitusi saat itu, dapat dikatakan yakin terhadap materi gugatan yang disampaikan oleh pemohon tentang adanya pelanggaran yang bersifat Terstruktur, Sistematis, dan Massif. Â Â
Dua persoalan tersebut memiliki karakter yang sama, yaitu permohonan perselisihan dengan landasan kecurangan TSM. Namun keduanya memiliki jenis keputusan yang berbeda; yang pertama keputusan diskualifikasi terhadap paslon yang ditetapkan sebagai pemeroleh suara terbanyak dan Calon Kepala Daerah terpilih, dan yang kedua adalah dilakukannya Pemungutan Suara Ulang (PSU) yang diputus dalam putusan sela Hakim Mahkamah Konstitusi.Â
Menyoal hasil Pilkada Pekanbaru yang sedang diajukan permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah oleh Pasangan Calon nomor urut 1, Muflihun, S.STP., M.AP., dan Ade Hartati, M.Pd., apakah akan mungkin ada keputusan yang identik dengan salah satu diantara kedua hal diatas? Apapun keputusannya, Tentulah permohonan yang diajukan mesti lolos tahapan dismissal. Namun, Guru saya, almukarrom Ayat Cahyadi, S.Si., jangan terlalu gegabah menuduh permohonan Paslon nomor urut 1 tanpa alasan. Singkatnya, mungkinkah MK akan mendiskualifikasi Agung Nugroho dan Markarius Anwar? atau malah Mahkamah Konstitusi memutuskan dilaksanakannya PSU? Â atau malah tidak melanjutkan pemeriksaan permohonan ke pokok perkara dan gugatan kandas dalam tahapan dismissal? Kita akan lihat nanti. Karena sepertinya pilihan-pilihan tersebut sangat mungkin untuk terjadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H