Dalam konteks penelitian atau analisis, terlalu banyak subjektivitas dapat mengurangi validitas dan reliabilitas hasil. Penelitian yang tidak objektif mungkin tidak bisa dipercaya dan sulit untuk direplikasi. Subjektivitas yang berlebihan dapat menyebabkan ketidakadilan, di mana keputusan atau penilaian tidak merata dan tidak adil bagi semua pihak yang terlibat.Â
Ini bisa menciptakan ketidakpuasan dan konflik. Keputusan yang didasarkan pada subjektivitas mungkin tidak menyelesaikan masalah secara efektif karena tidak memperhitungkan semua fakta yang relevan. Ini bisa memperburuk masalah atau menciptakan masalah baru.
Dalam pembacaan saya terhadap statemen yang salah satunya ditandatangani oleh Dr. drh. H. Chaidir, MM., jika menganggap ketidak-cermatan dan ketidak-bijakan kedua partai dalam menjaring dan disebabkan karena Muhammad Nasir; a) tidak memiliki hubungan historis dan ikatan emosional secara langsung dengan Riau, b) yang bersangkutan juga memiliki rekam jejak yang tidak terpuji, c) sangat jauh dari kriteria dan persyaratan kepemimpinan Melayu Riau, dan d) selama 3 (tiga) periode yang bersangkutan duduk sebagai wakil rakyat di DPR RI Daerah Pemilihan Riau tidak pernah memberikan kontribusi yang nyata dan berarti bagi pembangunan daerah Riau.
Maka sudah barang tentu kajian ilmiah terhadap 4 hal dimaksud terlebih awal telah disampaikan jauh-jauh hari kepada seluruh partai yang ada di Riau, karena bisa jadi hanya merupakan pendapat subjektif yang ke-objektivannya rendah. Menurut saya, jika dimiliki indikator-indikator penilaian secara ilmiah terhadap justifikasi diatas, harusnya disasarkan kepada seluruh bakal calon yang muncul, tidak hanya kepada  satu orang saja.Â
Sehingga kemudian menjadi suatu yang ambigu, keadaan di mana suatu kata, frasa, kalimat, atau situasi memiliki lebih dari satu makna atau interpretasi, sehingga dapat menimbulkan kebingungan atau ketidakjelasan. Ambiguitas sering terjadi dalam bahasa karena kata-kata atau struktur kalimat yang tidak cukup spesifik atau kontekstual untuk memberikan satu makna yang jelas.
"Kedatangan kami di Lembaga Adat Melayu Riau ini memohon bimbingan dan arahan kepada kami. Agar kami tak salah langkah, sebagai tunjuk ajar kami dalam memimpin Riau ke depan jika kami nantinya diberi amanah," kata Muhammad Nasir, Rabu ( 19/6/24), seperti dimuat dalam portal Riau Terkini.Â
Kedatangan Muhammad Nasir dan Muhammad Wardan ke Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) itu, diterima Ketua Majlis Kerapatan Adat (MKA) LAMR Raja Marjohan Yusuf. Kemudian Sekretaris Umum LAM Riau, Alang Rizal beserta sejumlah pengurus adat yang hadir.Â
Kunjungan tersebut mendapatkan kritik, di saat dia datang dengan permohonan untuk dibimbing dan diarahkan agar tidak salah langkah. Dapat dikatakan, merupakan kunjungan bakal calon Gubernur Riau periode 2024 -- 2029 yang pertama dari beberapa bakal calon yang muncul saat ini.
Kini Muhammad Nasir dan Wardan, pasangan NAWAITU telah memenuhi syarat berlayar. Gerindra dan Demokrat masing-masing memiliki delapan kursi kursi di DPRD Riau, dan PPP satu kursi. Dikutip dari Wikipedia, Â Muhammad Nasir dilahirkan di Bangun, Siantar, Simalungun, Sumatera Utara pada 23 Juli 1973. Ia mengenyam pendidikan di SD Siantar (1985), SMP Swasta GUPPI Simalungun (1991), dan Paket C PKBM Pemnas Medan (2007).Â
Ia meraih gelar Sarjana Hukum dari Universitas Tama Jagakarsa pada 2013. Ia memulai karier politik dengan mendaftar sebagai kader Partai Demokrat pada 2004 dan diangkat sebagai Sekretaris Dewan Pimpinan Daerah Partai Demokrat Provinsi Riau periode 2004--2009.Â
Selanjutnya pada 2009, ia diangkat sebagai pimpinan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat periode 2009--2012. Pada pemilihan umum 2009, Nasir terpilih sebagai Anggota DPR-RI dari Partai Demokrat untuk daerah pemilihan Riau II dengan meraih 52.926 suara dan ditempatkan di Komisi IX. Pada pemilihan umum 2014, ia kembali terpilih di DPR-RI dengan meraih 48.906 suara dan duduk di komisi VII. Pada pemilihan umum 2019, ia terpilih untuk periode ketiga di DPR-RI dengan meraih 42.334 suara.