Mohon tunggu...
Rinaldi Sutan Sati
Rinaldi Sutan Sati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Owner Kedai Kapitol

Pemerhati sosial, politik, dan ekonomi

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kepemilikan Lahan Pertanian Melebihi 20 Hektar dan Ketentuan Pidananya

10 Juni 2024   09:10 Diperbarui: 10 Juni 2024   09:25 681
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia, sebagai negara agraris dengan kekayaan alam yang melimpah, menghadapi tantangan serius dalam hal penguasaan tanah. Dominasi kepemilikan tanah oleh segelintir pihak telah menciptakan kesenjangan sosial yang mendalam dan menghambat kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, melawan dominasi penguasaan tanah menjadi suatu keharusan untuk mewujudkan keadilan sosial dan pemerataan ekonomi di Indonesia.

Sejak era kolonial, penguasaan tanah di Indonesia telah mengalami ketimpangan yang signifikan. Tanah-tanah subur dikuasai oleh pihak-pihak kolonial dan pengusaha besar, sementara rakyat kecil hanya mendapatkan sedikit akses terhadap lahan pertanian. Setelah kemerdekaan, Pemerintah Indonesia berusaha mengatasi masalah ini melalui berbagai kebijakan, termasuk penerapan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 yang bertujuan untuk menciptakan keadilan dalam kepemilikan tanah.

Persoalan dominasi kepemilikan tanah, terjadi bukan baru belakangan ini. Tahun 1979 silam, Indonesia digegerkan dengan kasus penyitaan tanah milik seorang Yusri Ardisoma. Tanah warisan dari orang tuanya, alm. Dukrim, seluas 277.647 hektare dirampas untuk negara. 

Perkara yang sudah lama terjadi ini memang tidak banyak dijelaskan bagaimana awal muasalnya, sehingga urusan tanah itu masuk pengadilan. Yang pasti, perampasan tanah warisan tersebut terjadinya didasarkan pada putusan Pengadilan Negeri Subang. Jaksa mengeksekusi lahan pertanian luas itu pada 13 September 1979. 

Kejadian ini, belaku sebelum ada KUHAP 1981 dan orang tua Pemohon dijadikan tersangka/terdakwa dalam perkara pidana nomor 38/1979/Pidana/PN Subang yang diputus pada tanggal 24 Maret 1981 dengan amar putusan diantaranya dirinya dinyatakan bersalah karena telah memiliki tanah seluas 277.645 hektar dan dijatuhi hukuman kurungan selama 3 (tiga) bulan. 

Hakim memerintahkan bahwa hukuman tersebut tidak usah dijalankan kecuali jika dikemudian hari dengan putusan hakim diperintahkan lain disebabkan terdakwa dalam masa percobaan selama enam bulan melakukan suatu tindak pidana atau tidak mencukupi suatu syarat khusus yang telah ditentukan. 

Dengan legal standing dirinya, tahun 2007, Yusri mengajukan Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor  56 PRP Tahun 1960 Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian terhadap Undang-Undang Dasar 1945 ke Mahkamah Konstitusi.

Saat itu, Yusri mengharapkan majelis hakim Mahkamah Konstitusi dapat berkenan untuk memberikan putusan diantaranya  menerima dan mengabulkan permohonan dirinya selaku pemohon. Kemudian menyatakan materi muatan dalam Pasal 10 ayat (3) penjelasan Pasal 10 ayat (3) dan Pasal 10 ayat (4), Penjelasan Pasal 10 ayat (4) UndangUndang Nomor 54 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian bertentangan terhadap Pasal 28H ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945.  

Lalu menyatakan materi muatan Pasal 10 ayat (3) penjelasan Pasal 10 ayat (3) dan Pasal 10 ayat (4), Penjelasan Pasal 10 ayat (4) Undang-Undang Nomor 54 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya. Akan tetapi, Hakim Mahkamah Konstitusi menolak permohonan dirinya.

Merujuk laman Mahkamah Agung Republik Indonesia pada tahun 2019, di provinsi Riau, tepatnya kabupaten Rokan Hilir, Winarto, seorang warga Medan, memberikan kuasa kepada H. Refman Basri, S.H., dan kawankawan, masing-masing Advokat dari Law Office H. Refman Basri, S.H., MBA- Zulchairi, S.H., & Rekan guna mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Rokan Hilir terhadap Dewi Maya Tanjung (tergugat I), Bastian (tergugat II), Herlina (Turut tergugat I), Sumarto (turut tergugat II), Antoni (turut tergugat III) dan Toni (turut tergugat IV). Singkat cerita, Winarto memenangkan gugatannya di Pengadilan Negeri Rokan Hilir, lalu dikuatkan dengan putusan Pengadilan Tinggi Riau di Pekanbaru, namun kemudian dinyatakan sebagai pihak yang kalah serta dihukum untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan. 

Kasasi Dewi Maya Tanjung diterima, putusan Pengadilan Tinggi Pekanbaru Nomor 90/PDT/2020/PT PBR tanggal 29 Juni 2020 yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Rokan Hilir Nomor 2/Pdt.G/2019/PN Rhl tanggal 31 Oktober 2019 dibatalkan. Yang menarik dari putusan kasasi ini adalah, Hakim Majelis yang mengadili perkara dimaksud, dalam pertimbangannya memuat aturan tentang kepemilikan lahan pertanian (kebun) berdasarkan ketentuan pasal 3 ayat (3) Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2016 tentang Pengendalian Penguasaan Tanah Pertanian, yang menyatakan antara lain bahwa; Pembatasan kepemilikan tanah pertanian untuk perorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dengan ketentuan huruf a sampai dengan d untuk daerah padat paling luas (maximal) seluas 20 (dua puluh) hektar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun