Mohon tunggu...
Rinaldi Panji Putra
Rinaldi Panji Putra Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Masih belajar untuk berbagi

Pemimpi(n) yang tak sempurna. Imajinasi lebih hebat daripada pengetahuan.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pembangunan berpusat di Desa. Anugerah atau Masalah?

6 Juli 2016   19:34 Diperbarui: 6 Juli 2016   19:52 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Beberapa hari yang lalu di Perpustakaan, saya lupa tanggal dan hari waktu itu. Kalau tidak salah, waktu itu saya telah mengembalikan buku yang sudah saya pinjam. Lalu saya sempatkan untuk membaca koran yang tersedia di Perpustakaan, karena sudah cukup lama saya tidak lagi membaca koran di Perpustakaan.

Pada hari itu, lampu di Perpustakaan sudah dimatikan dan jam sudah menunjukkan pukul 14:30 WIB, pertanda bahwa pelayanan Perpustakaan  sudah tutup. Namun karena saya masih penasaran dengan konten koran, saya teruskan saja memilah rubrik demi rubrik mencari rubrik yang menarik dan bermanfaat untuk saya baca. Hingga akhirnya, saya menemukan rubrik “OPINI” yang berada di Koran Pikiran Rakyat.

Hal yang pertama kali saya lsayakan sebelum membaca isi rubrik adalah melihat judul opini tersebut, kemudian saya memeriksa siapakah yang menulis Opini tersebut. Waktu itu, tema opini berhubungan dengan Pelaksanaan UU No. 6 Tahun 2014 yang ditulis oleh salah satu Guru Besar Universitas Padjadjaran yakni Prof. Dr. Dede Mariana., M.Si.

Dan menurutku ini tema yang cukup menarik, karena undang-undang ini berkaitan dengan sistem pembangunan yang ada di Desa pasca dilaksanakannya sistem otonomi daerah atau desentralisasi pembangunan. Jujur saja, tulisan ini mengingatkanku agar ikut membantu dan mengawasi pola pembangunan yang ada di Desa, khususnya desa yang saya tinggali.

Lebih lanjut, Prof. Dede menerangkan bahwa UU No. 6 Tahun 2014 membuat pola pembangunan bukan saja terletak di daerah saja, tapi juga lebih terfokus pada tataran birokrasi yang lebih kecil, yaitu Pemerintah Desa. Dimana di Desa-lah masyarakat banyak bersosialisasi dan membangun sistem fondasi dalam bermasayarakat. Pola inilah yang menurutku menjadi alasan utama terciptanya UU No. 6 Tahun 2014.

Pola pembangunan yang pada zaman Presiden Soeharto terfokus di Jakarta, kemudian pasca reformasi berubah haluan untuk melaksanakan otonomi daerah. Kini belasan tahun setelah reformasi, pola pembangunan lebih terfokus lagi dengan diawali dari proses pembangunan yang ada di Desa. Pola pembangunan seperti ini menandakan bahwa Republik ini sudah menggunakan pola bottom up, dimana jika pembangunan di desa berhasil maka pembangunan pada tataran negara juga akan berhasil. Pola seperti ini dirasa efektif karena sesuai dengan kondisi riil yang ada di desa.

Berbanding terbalik ketika Soeharto masih menakhodai negeri ini. Dimana pola top down dengan selingan ABS (Asal Bapak Senang) sangat mudah terdeteksi. Dan jika pembangunan di pusat berhasil maka akan menjalar juga pada tingkatan yang lebih kecil, hingga pada tingkat desa. Namun pola seperti ini tidak efektif diterapkan, karena pada pelaksanaannya, pembangunan terkadang tidak sesuai dengan kondisi riil yang ada di desa.

Keuangan Desa

Salah satu poin yang paling krusial dalam UU No. 6 Tahun 2014 yaitu alokasi anggaran untuk desa, di dalam penjelasan pasal 72 Ayat 2 tentang Keuangan Desa. Jumlah anggaran dana yang langsung ke desa ditetapkan sebesar 10% dari dan di luar dana transfer daerah. Juga tidak lupa mempertimbangkan aspek geografis beserta kesulitannya, jumlah penduduk, angka kemiskinan, dan luas wilayah.

Sesuai dengan pasal 72 Ayat 2 tentang Keuangan Desa yaitu 10% dari dan trasnfer daerah menurut APBN dan juga 10% dana dari APBD. Maka Rp 59,2 triliun dana dari APBN, ditambah dengan dana Rp 45,4 triliun dana dari APBD, maka total dana untuk 72 ribu desa diseluruh Tanah Air ada sekitar Rp 104,6 triliun. Dan setelah dihitung-hitung, setiap desa di seluruh Indonesia akan menerima paling tidak sekitar Rp 1,4 Miliar.

Rp 1,4 miliar per tahun merupakan dana yang tidak sedikit, anggaran ini khusus ditujukan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat desa sesuai dengan skala prioritas pembangunan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, yang terlebih dahulu dimusyawarahkan bersama Badan Permusyawaratan Desa.

Kesempatan-Tantangan Undang-undang Desa

Dalam UU No.6 Tahun 2014 Pasal 39 Ayat 1 & 2, pemimpin tertinggi desa, yaitu Kepala Desa akan memegang jabatan selama 6 tahun, dan dapat menjabat maksimal tiga kali masa jabatan secara berturut-turut. Dengan masa jabatan 6 tahun dan dapat menjabat paling banyak tiga kali berturut-turut, maka diharapkan Kepala Desa dapat menentukan pola pembangunan desa saat ini dan dimasa depan agar lebih terarah dan terencana, dimana jika memungkinkan dibuat semacam grand designagar proses pembangunan sesuai dengan apa yang dibutuhkan masyarakat desa.

Namun disisi lain, UU No. 6 Tahun 2014 sedikit membuka kekhawatiran mengenai produk tirani yang ada di desa. Mungkin ini hanya asumsi saya saja. Tapi saya agak khawatir, jika nanti dapat melahirkan dinasti politik desa. Hal ini jugalah yang menjadi tantangan dimasa depan, dimana KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) akan berubah dan berkembang pada tataran pemerintah desa.

Dengan segala kesempatan dan tantangannya, UU No. 6 Tahun 2014 memiliki tujuan agar Desa memiliki hak usul dan hak tradisional dalam mengurus dan mengatur kepentingan masyarakatnya guna berperan didalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan berdasarkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Oleh karena itu, kita sebagai masyarakat di desanya masing-masing dirasa perlu untuk bersama-sama membantu dan mengawasi pelaksanaan UU No. 6 Tahun 2014 demi tercapainya pola pembangunan desa sesuai dengan apa yang telah direncanakan. Jangan sampai program pembangunan desa gagal yang berakibat pada tidak mulusnya pembangunan di desa tersebut, yang membuat pembangunan di desa tidak lagi semulus wajah para kembang desa.

Sumber: Opini Pikiran Rakyat oleh Prof. Dede Mariana

Wikipedia>>UU. No. 6 Tahun 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun