Mohon tunggu...
Rinaldi Panji Putra
Rinaldi Panji Putra Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Masih belajar untuk berbagi

Pemimpi(n) yang tak sempurna. Imajinasi lebih hebat daripada pengetahuan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ada Apa dengan Masyarakat Modern Indonesia?

22 April 2016   15:29 Diperbarui: 22 April 2016   15:33 1164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kini, zaman telah berubah drastis. Sisi individualistis sangat menonjol sekali dalam tatanan masyarakat sosial. Terlihat sekali, bagaimana egosentris ditonjolkan hanya untuk kepentingan pribadi tanpa pernah mau berpikir mengenai kepentingan orang banyak. Inilah suatu tanda yang nyata bahwa budaya ketimuran yang menjadi ciri masyarakat Indonesia, untuk saat ini perlahan-lahan mulai tergerus oleh efek pertukaran budaya yang merupakan dampak dari globalisasi, khususnya dalam ranah ideologi.

Budaya Indonesia, yang katanya, menjunjung tinggi keramah tamahan, gotong royong, hanya menjadi kata “pemanis” ditengah hirup pikuk kehidupan sosial yang tak menentu dan lebih tidak manusiawi.

Hal-hal kecil saja, seperti membuang sampah pada tempatnya, mengantri, atau mengucapkan “permisi” ketika melewati sekumpulan orang, kini sudah menjadi barang langka yang sepertinya agak sulit untuk diucapkan atau dipraktekan oleh manusia modern yang sudah tergerus oleh arus budaya ke-akuan yang kuat. Dari hal-hal kecil saja sudah tidak lagi diperhatikan, apalagi jika ia memandang mengenai hal-hal besar lainnya.

Pandangan ke-akuan yang kuat sedikit demi sedikit akan melemahkan pandangan kultural bangsa Indonesia mengenai arti dari suatu kata gotong royong. Gotong royong yang secara tidak langsung menjadi bagian dari budaya bangsa ini, akan tergerus zaman jika budaya individu mengakar pada diri orang-orang di Republik ini.

Pada dasarnya, aspek ke-akuan tidak akan pernah berkembang jika dapat diantisipasi se-dini mungkin dari lingkungan sekitar, terlebih Indonesia merupakan negara dengan tingkat pemahaman paternalistik yang cukup tinggi. Sekiranya lingkungan dapat mendeteksi hal ini sedini mungkin. Namun kenyataan berkata lain, lingkungan justru menjadi faktor yang tidak memiliki upadaya kuat dalam mengatasi problema individualistis yang kuat ini.

Hal yang perlu diingat adalah, bagaimana masalah kecil seperti ini yang notabene menjadi landasan untuk menghadapi masalah yang lebih besar dan kompleks, hanya dijadikan sebagai formalitas yang tidak pernah dikupas. Teori buang sampah pada tempatnya, yang sepertinya menjadi teori usang tetap tidak dapat menarik minat para pelajar atau bahkan guru-gurunya untuk membuang sampah pada tempatnya. Entah apa yang menjadikan teori ini seakan-akan dikatakan sebagai teori yang sama halnya seperti teori-teori filsafat karya Aristoteles yang pembahasannya terkesan “berat.”

Padahal hanya mengajarkan untuk membuang sampah pada tempatnya, tidak lebih dari itu. Namun sulit sekali untuk dilakukan. Sama halnya dengan mengantri, baik mengantri ketika membeli makanan atau ketika mengantri ketika membeli bahan bakar di SPBU. Ada sebagian oknum masyarakat yang dengan santainya masuk kedalam antrian, padahal ia tahu bahwa ia sudah mendahului orang yang sudah lama mengantri. Hal ini patut dicermati juga sebagai hal-hal yang terlupakan dalam suatu kesatuan budaya timur.

Ini merupakan dampak konstruktif dari globalisasi, arus informasi yang mengalir cepat dari seluruh dunia ke belahan dunia yang lain juga faktor pendukung yang tidak bisa tidak dihindari. Dampak-dampak negatif ini sebenarnya bisa kita filter dengan pemahaman budaya yang kuat, sekaligus diperkuat oleh faktor spiritual yang menjadi fondasi dasar dari lubuk hati seorang manusia.

Begitulah keadaan masyarakat sosial kita saat ini. Kita tidak menampik hal ini, karena realita di lapangan sudah menunjukkan hal ini. Dan tidak bisa kita bayangkan seandainya budaya individualistis seperti ini dapat bertahan lama dan perlahan menjadi akar dari proses pemikiran bangsa ini. Dimana hal itu akan membuat masyarakat kita menjadi individualistis dengan proses berpikir pribadi dan sama sekali tidak akan pernah memperhatikan keadaan kelompok atau mungkin negara tempat ia tinggal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun