Mohon tunggu...
Rinaldi
Rinaldi Mohon Tunggu... Lainnya - Pembelajar

“You learn something every day if you pay attention”

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Perppu 1/2020 adalah Bagian Sejarah Kebijakan Ekonomi Indonesia

13 Mei 2020   07:28 Diperbarui: 13 Mei 2020   07:40 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Saya teringat ketika belajar ekonomi makro di bangku kuliah, salah satu bab yang paling menarik respon mahasiswa baik dalam hal menyampaikan opini, pertanyaan bahkan hingga berdebat adalah sub bab krisis.

Dalam Buku Macroeconomics buah karya Olivier Blanchard dan David R johnson Sub Bab Krisis ada di Chapter 9 dalam pembahasan The Medium Run. 

Krisis sebagaimana ditulis dalam buku ini adalah pembelajaran tentang bagaimana sebuah negara mengambil kebijakanuntuk mengembalikan outpot ke level natural. 

Menurut buku ini, Kebijakan yang diambil oleh Pemerintah atau pun Bank Sentral dalam mengatasi krisis selalu terbatas pada dua hal, yaitu Kebijakan moneter terbatas pada adanya ancaman adanya perangkap likuiditas (liquidity trap) dan Kebijakan fiskal yang terbatas oleh keberadaan tingkat hutang publik yang tinggi (high level of public debt).

Kebijakan yang diambil tiap negara dalam menghadapi dampak krisis tentu berbeda-beda, karena tidak semua negara dihadapkan pada kondisi perekonomian yang sama. 

Namun satu hal yang pasti adalah, sebuah krisis akan membangkitkan masalah keuangan yang serius yang dampaknya tidak hanya dirasakan oleh generasi sekarang, namun juga generasi yang akan datang.

Krisis Global 2008

Patut dilihat bagaimana dampak krisis Global ke negara-negara di dunia. Krisis yang terjadi pada kuartal ke 3 tahun 2008. 15 September 2008, sebuah Bank Besar bernama Lehman Brothers bangkrut dan menimbulkan dampak sistemik tidak hanya bagi Amerika Serikat namun menjalar ke seluruh belahan dunia, dari sebuah krisis keuangan menjadi krisis ekonomi global. 

Rata-rata pertumbuhan ekonomi dunia yang pada tahun 2000-2007 berkisar di 3,2%, turun menjadi 1,5% di 2008 bahkan mencapai titik terendah pada 2009 menjadi -2,3%. 

Namun setelah krisis berlalu, pertumbuhan ekonomi dunia mulai membaik, pada 2010 berada di level 4% dan terakhir di tahun 2019, IMF memprediksi pertumbuhan ekonomi global mencapai 2,9%.

Sepanjang 2010-2019, berbagai kebijakan fiskal dan moneter yang diambil berbagai negara di dunia membawa dampak yang positif bagi pertumbuhan ekonomi secara global, walaupun mungkin masih ada beberapa negara yang mengalami pertumbuhan ekonomi yang negatif dalam satu dekade terakhir.

Pandemi Covid-19 dan dampaknya

Masa-masa indah pertumbuhan ekonomi positif dunia kembali mendapatkan cobaan pada awal tahun 2020. Cobaan itu bernama virus corona yang dinyatakan sebagai Pandemi oleh WHO pada tanggal 11 Maret 2020.sebuah virus yang bisa mengakibatkan kematian dan menyebar dengan cepat ke seluruh belahan di dunia.

Per tanggal 9 Mei 2020, WHO mencatat 3,8 juta orang dinyatakan terkena atau positif Covid-19, dengan angka kematian mencapai 265 ribu jiwa.

Covid-19 yang awalnya merupakan krisis kesehatan dengan sangat cepat berkembang menjadi momok bagi sektor ekonomi yang bisa menimbulkan resesi atau perlambatan.

IMF baru saja merilis data outlook pertumbuhan ekonomi global yang diperkirakan mengalami kontraksi cukup dalam ke level -3%. Resesi dan ancaman stabilitas sistem keuangan di berbagai negara menjadi nyata dan lagi-lagi kemampuan suatu negara dalam menghadapi kondisi extraordinary seperti ini kembali diuji.

Kebijakan Ekonomi yang diambil beberapa Negara dalam menghadapi Covid-19

193 negara telah mengeluarkan total stimulus sebesar lebih dari US$ 8 Triliun, atau hampir setara 10% PDB Dunia. Kebijakan yang diambil antara lain dari mulai meningkatkan social safety net, insentif pajak, subsidi upah, jaminan pinjaman untuk bisnis, penurunan tingkat suku bunga, fasilitas pinjaman ke Bank, kebijakan ini diambil oleh Australia dengan nilai dukungan mencapai 16,4% PDB-nya. 

Selain itu,  unlimited Quantitative Easing sebagaimana yang dilakukan oleh Amerika Serikat, ditambah insentif bagi perusahaan dan fasilitas pinjaman bagi UMKM dengan total nilai dukungan mencapai 11% PDB Amerika Serikat.

Beralih ke negara tetangga, Malaysia menggelontorkan 17% dari PDB-nya dengan kebijakan Social safety net, penundaan pajak, bantuan pembayaran upah, subsidi tagihan listrik, penurunan suku bunga dan penangguhan pinjaman dan restrukturisasi.

Bagaimana dengan China yang merupakan episentrum penyebaran Covid-19? Negara tirai bambu ini menggelontorkan 1,2% dari PDB-nya dengan kebijakan seperti pembebasan pajak dan kontribusi jaminan sosial.

Kebijakan ekonomi yang diambil Indonesia dalam menghadapai Covid-19

Sampai dengan awal Mei 2020, sudah ada 3 stimulus yang dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia untuk menanggulangi dampak Covid-19. Stimulus pertama bernilai Rp 10 Triliun melalui belanja untuk memperkuat perekonomian domestik Tahun 2020, termasuk di dalamnya percepatan pencairan belanja modal, percepatan pencairan belanja sosial, dan percepatan transfer ke daerah dan dana desa.

Kemudian Stimulus ke dua pada 13 Maret 2020, yang bernilai Rp 22,9 Triliun yang fokus kepada menjaga daya beli masyarakat dan kemudahan ekspor-impor, diantaranya PPh pasal 21 untuk wajib pajak dengan penghasilan max 200 juta setahun akan di tanggung Pemerintah, Pembebasan PPh Pasal 22 impor, pengurangan PPh Pasal 25 untuk sektor tertentu, dan Percepatan restitusi PPN bagi 19 sektor tertentu untuk menjaga likuiditas perusahaan. 

Namun, kehadiran kedua stimulus ini dianggap banyak pihak belum mampu menangkal dampak Pandemik Covid-19, sehingga Pemerintah mengambil jalan yang nantinya penulis yakini akan menjadi bagian sejarah dari kebijakan ekonomi makro di Indonesia. Jalan inilah yang menjadi Stimulus ketiga dari Pemerintah dalam bentuk Perppu nomor 1 tahun 2020.

Inilah peraturan pengganti undang-undang pertama dalam tahun 2020 yang dikeluarkan oleh Pemerintah dalam hal ini Presiden Jokowi dengan judul kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan pandemi Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan.

Ada 2 hal besar yang diatur dalam Beleid yang pembahasannya di selesaikan hanya dalam beberapa minggu pembahasan. Yang pertama dalam hal kebijakan keuangan keuangan negara, yang meliputi pendapatan negara, termasuk perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk keuangan daerah dan kebijakan pembiayaan. 

Satu hal yang banyak menyita perhatian adalah terdapat aturan dimana Pemerintah berwenang untuk menetapkan batasan defisit anggaran, sehingga Pemerintah lebih leluasa dalam mengatur porsi anggaran yang dibutuhkan dalam penanganan Covid-19, hal ini adalah satu hal baru dimana selama ini defisit yang diperbolehkan sesuai dengan UU 17/2003 tentang keuangan negara adalah maksimal 3 persen dari PDB. 

Relaksasi defisit ini mutlak di perlukan Pemerintah mengingat jumlah tambahan anggaran yang diperlukan untuk menangani covid-19 adalah sebesar 405 T, dengan rincian untuk bidang kesehatan Rp 75 Triliun, social safety net sebesar Rp. 110 Triliun, insentif perpajakan dan KUR sebesar Rp. 70,1 Triliun, dan yang terakhir pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional sebesar Rp. 150 Triliun. Tambahan anggaran Rp. 405 Triliun ini diperkirakan bakal mendongkrak defisit APBN 2020 ke angka 5,07%.

Hal kedua yang diatur dalam Perppu 1/2020 ini adalah kebijakan stabilitas sistem keuangan yang meliputi kebijakan untuk penanganan permasalahan lembaga keuangan yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. 

Dalam bagian ini, banyak juga pasal yang nantinya berpotensi menjadi sejarah dalam perekonomian Indonesia, salah satunya adalah diperbolehkannya Bank Indonesia membeli Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara berjangka panjang di pasar perdana dalam hal pasar tidak bisa menyerap seluruh SBN yang diterbitkan oleh Pemerintah, dan peran BI dalam hal ini adalah sebagai the last resort.

Perppu 1/2020 sebagai bagian dari Sejarah Ekonomi Makro Indonesia 

Ada sebuah quote dari Goenawan Muhammad, seorang sastrawan terkemuka Indonesia, ""Tapi barangkali sejarah memang terdiri dari penemuan-penemuan separuh benar, atau separuh salah, hingga kemajuan terjadi".

Penanganan dampak Covid-19 yang dilakukan Pemerintah dalam Perppu 1/2020 tidak hanya sebagai suatu usaha Pemerintah untuk mencegah krisis ekonomi, namun lebih dari itu, usaha ini adalah untuk mencegah keparahan dan krisis kesehatan-kemanusiaan, krisis sosial dan krisis ekonomi. 

Kita memang belum tahu apakah Perppu 1/2020 ini akan berhasil membawa Indonesia untuk tidak masuk ke dalam krisis keuangan, namun paling tidak Perppu ini menjadi bagian dari sejarah Ekonomi Indonesia, dimana kelak, anak-anak kita atau generasi mendatang akan menjadikan Perppu 1/2020 ini menjadi sebuah pembelajaran, bahwa Indonesia sudah melakukan suatu kebijakan yang jauh dari kata normal atau kebijakan yang extraordinary dalam menghadapi kondisi yang juga extraordinary yaitu Pandemi Covid-19.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun