Mohon tunggu...
Kurniasih
Kurniasih Mohon Tunggu... Administrasi - pengajar dan penulis

Rinai Kinasih adalah Kurniasih. Menulis adalah untuk berbahagia. Tak lupa juga untuk mencintai pepohonan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bermain-Main dengan Angin

24 Februari 2017   21:06 Diperbarui: 25 Februari 2017   18:00 608
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kulitnya yang hitam legam berkilat-kilat terkena sorot matahari yang terik. Kepulan debu merah sesekali menghalangi pandangan. Jun memaku tubuhnya agar tampak senormal mungkin. Sempat tubuhnya hendak melonjak menatap kuda-kuda hitam berlari di pacuan itu. Bukan karena menjagokan salah satu kuda itu tetapi karena dia tak melihatnya sebagai kuda-kuda. Bagaimana mungkin tubuh kuda-kuda itu berganti menjadi tubuh Darmo? Tak ada ceritanya Jun menyaksikan Darmo berlari di lapangan manapun. Darmo adalah lelaki Jawa yang dididik oleh ibunya untuk berperilaku sebagai seorang priayi. 

Dagunya tidak pernah turun atau menunduk bahkan saat menyeruput kopi. Selama hidup bersama Darmo, Jun tak pernah melihat tubuh Darmo bergerak lincah. Tubuh bagi Darmo seperti sebatang lilin menyala yang harus tegak dan tertata agar nyalanya utuh. Untuk kesehatan, Darmo lebih sering berada di ruang Gym. Itu pun dilakukannya hanya karena kawan-kawan sekantornya tengah ramai-ramai membentuk otot agar tampak maskulin.

Ruangan tertutup adalah surga bagi Darmo. Tubuhnya terpaku di kursi kerja yang kaku. Matanya begitu tekun menatap layar komputer di hadapannya. Gerak rutin yang lekat dengan Darmo adalah melirik jam tangannya. Selain itu, jika Anda pembaca berada di depan Darmo, mungkin akan teringat pada gunung. Ya, gunung. Gunung bahkan tidak pernah bergerak, mengapa disamakan dengan Darmo? Gunung tampak bergerak saat kita memalingkan pandangan darinya. Gunung seakan bergerak di dalam penglihatan kita. Kurang lebih, Darmo pun demikian. Tidak persis sama.

Sebagai suami, Darmo memiliki gerak tubuh dan tatapan seorang suami yang baik dan santun. Dagunya tidak pernah turun sehingga siapapun  yang melihatnya tidak akan berani melecehkan eksistensinya. Meski tidak tampak arogan, Darmo jelas-jelas merupakan gambaran seorang lelaki yang punya harga diri. Saat duduk di sofa, Darmo tidak pernah menaruh tubuh seenaknya. Angin, sofa, meja makan, hujan, ataupun meja kerja baginya seperti sebuah panggung. Tubuhnya dipasang dengan seksama dan terlatih. 

Oleh karena itu, para tetangga yang sesekali menemukannya di depan pagar sebelum berangkat ke kantor akan segera mengangguk sopan. Lalu Darmo akan membawa kendaraannya dengan tatapan mata tegak lurus seperti berjaga. Tetapi sekali lagi, karena telah terlatih, gerak-gerik Darmo tetap terlihat luwes.

Saat pertama kali berkenalan dengan Darmo, Jun belum terbiasa dengan gesture Darmo. Terlebih, Darmo mempunyai sikap andalan yang pas untuk Jun. Setelah mereka resmi menjadi sepasang kekasih, Darmo suka membelai kepala Jun seperti kepada anak-anak. Mengapa Jun menyukainya? Jun adalah seorang perempuan yang mandiri sejak lulus sekolah menengah atas. Dia membiayai sendiri kuliahnya dengan berdagang bersama teman-temannya. Jun luwes dalam berhubungan dengan orang-orang. 

Barang apa pun yang ia jajakan untuk dijual tak usah menunggu waktu segera dimiliki pembeli. Jun telah terbiasa menempatkan diri dengan cair di antara orang-orang yang tak dikenalnya seakan mereka bukan orang asing. Air, jalanan, pertokoan, terik matahari, maupun ruang tengah di rumahnya adalah ruang-ruang dan lingkungan yang hangat untuk Jun. Saat membawa tubuhnya kemanapun, Jun seperti angin yang tak pandang bulu untuk akrab.

Akan halnya dengan usapan lembut di kepala Jun, sederhana saja mengapa menjadi istimewa. Jun telah lama tidak punya seorang bapak. Sejak SMA, Jun hanya tinggal berdua dengan sang ibu. Diam-diam, Jun rindu kebijaksanaan seorang bapak. Meskipun bukan berarti ibunya bukan orang yang perkasa. Dalam beberapa hal, kita mempunyai kerinduan yang latar belakangnya sederhana saja, yaitu karena ketidakhadiran. Sehingga, ketidakhadiran itu akan menjelma menjadi usapan lembut di kepala. Atau bahkan di sore yang manis itu, tiba-tiba saja Jun menyadari tubuh-tubuh kuda hitam legam yang berlari kencang itu berganti menjadi tubuh Darmo. 

Jun menatap lekat kuda-kuda yang berbalapan saling mengejar. Mengapa tak sejak dulu aku menonton pacuan kuda? Jawabannya mudah saja yaitu karena kehidupan selalu memberikan sesuatu, datang dan pergi, berbeda-beda lalu mendamparkan kita pada sebuah kesadaran tertentu. Seperti halnya Jun, subtitusi mendadak dari tubuh kuda menjadi tubuh Darmo sebenarya mendamparkannya pada sebuah kenyataan yang menakutkan.

Bagaimanakah cara menilai kekuatan seorang lelaki? Cukupkah otot keras yang terpahat di tubuh mereka menjadi andalan penilaian? Mari kita tengok sebuah peristiwa saat Darmo dan Jun baru saja merayakan perkawinan mereka yang pertama kali. Hari perayaan perkawinan mereka, sesungguhnya bernada kelabu. Beberapa minggu sebelumnya, Jun mengalami keguguran akibat terlalu kelelahan. Tak dapat dipungkiri bahwa Jun adalah seorang perempuan yang tak bisa berdiam lama di sebuah ruangan atau tempat yang sama. Di perkawinan mereka yang baru berusia satu tahun, Jun telah berhasil memiliki sebuah usaha jual beli alat perkantoran. 

Jun berhubungan dengan berbagai perusahaan atau sekolah yang telah menjadi rekanan untuk memenuhi kebutuhan alat tulis kantor. Jun akan berbelanja, menenteng barang yang masih sanggup dibawanya, lalu bernegosiasi dengan rekanan sendirian. Tak ada keluhan untuk semua itu karena Jun memang perempuan angin yang mudah saja bergerak ke sana kemari. Jun tak menyadari kelelahan yang melandanya sore itu bukan kelelahan yang biasa. Janin berusia dua bulan kurang itu terhentak ke sana kemari tak kuat mengikuti gerak-gerik lincah sang ibu.

Saat mereka berdua merayakan hari perkawinan, Jun tak menerima usapan lembut dari Darmo. “Kita sudah setahun bersama-sama, Jun.” Kalimat itu saja yang dilontarkan oleh Darmo. Lalu dia kembali tidur. Tentu saja Jun bukan seorang istri yang cengeng lalu ngambek karena tak ada sikap romantis dari suaminya. Tepat setelah Jun keguguran, ibunda Darmo datang bertandang. Jun harus istirahat total di tempat tidur akibat kelelahan. Ibunda Darmo datang bukan untuk Jun. Bagi ibunda Darmo, apalah artinya keguguran dibandingkan beratnya melahirkan. Sehingga, di malam hari saat rumah mereka begitu sunyi, lontaran kata-kata ibunda Darmo kepada Jun seperti belati yang ditusuk-tusukkan ke dadanya. “Kau akan segera hamil lagi kan Jun?”

Meski demikian, Jun memang bukan seorang istri yang gemar termehek-mehek atau ngambek pada suaminya. Luka di hati akibat kata-kata mertuanya itu ditelannya saja, bersatu dengan air liur, air putih yang masuk di kerongkongan atau terbalut oleh kunyahan kerecek kesukaannya. Bagi Jun, airmata hanya pantas dicucurkan saat dia kehilangan vitalitas hidup. Tetapi kehidupan terkadang memang menohok, suatu hari nanti luka itu tiba-tiba akan muncul lalu menjadi kendali di atas segalanya.

Terhadap kata-kata ibunya yang melukai Jun, Darmo bukannya tidak tahu. Tentu saja dia tahu karena kata-kata itu dilontarkan di depannya. Seperti biasanya, Darmo tidak pernah menurunkan dagunya. Matanya lurus memandang layar televisi di tengah mereka. Suara televisi dimatikan karena memang bukan untuk didengarkan. Televisi itu hadir di ruangan agar ada yang tampak bergerak saja meski sekadar gambar. Entah apa yang ada dalam pikiran Darmo saat mendengar kata-kata ibundanya. Saat Jun dan Darmo berada di tempat tidur, tubuhnya membelakangi Jun.

***

Seperti kita ketahui, Jun adalah perempuan jenis angin. Dia akan bergerak lebih ringan di manapun, termasuk dari masa lalunya. Setelah lima tahun berpisah dengan Darmo, baru kali ini Jun mendapati kenyataan yang di dalamnya berdiri sosok Darmo. Itu pun bukan Darmo yang semestinya. Darmo adalah lelaki yang membawakan tubuhnya dengan hati-hati dan cenderung diam. Kuda-kuda hitam, dengan rambut mereka yang berkibar-kibar, otot-ototnya yang kencang, di situlah sosok Darmo hadir.

Tetapi mengapa Jun sempat begitu girang saat kuda-kuda itu malah mengingatkannya pada Darmo yang jauh berkebalikan karakternya? Bagi seseorang yang pandai melemparkan masa lalunya jauh-jauh kedalam sanubarinya, pengalaman bertemu dengan masa lalu adalah sesuatu yang langka dan menggetarkan. Jun bukannya tidak punya perasaan. Jelas dia punya. Tetapi tubuhnya yang aktif untuk berpindah-pindah dari lingkungan maupun keadaan menyelamatkannya dari kesedihan berkepanjangan.

Jun tidak akan mudah terkuasai oleh masa lalu yang begitu kelam. Rasa terbuang, terhina dan tidak dicintai menggelung beberapa hari setelah kejadian. Lalu jika kau bayangkan sebuah kendaraan yang setiap hari melintasi jalan yang sama, seperti itulah Jun. Jalan yang mungkin menorehkan kenangan tetap terlintasi. Tetapi sekadar terlintasi untuk kemudian melaju lagi. Kendaraan itu akan berhenti saat memang harus berhenti. Untuk itulah tubuhnya sempat girang menatap kuda-kuda berlari karena ingatan tentang Darmo hadir. Sungguh peristiwa yang langka.

“Ayo, Jun...kita temui Mas Irwan. Dia sudah menunggu di bawah tuh. Menang taruhan dia, kita bakal ditraktirnya nih.” Jun tergagap saat menyadari lengannya telah digenggam oleh lelaki di sampingnya. “Hey, kau menyukai pacuan tadi kan? Ah kau melamun sejak dari tadi. Sesekali kita rayakan Valentine dengan menonton lomba pacuan kuda, Jun. Biar tak sama dengan muda-mudi zaman sekarang.” Lelaki di sampingnya berusaha untuk menyimpulkan keheranannya saat sepanjang acara pacuan saat Jun tenggelam dalam dunianya sendiri. 

Tak disangkanya, lamunannya terendus semudah itu. Tergagap Jun menjelaskan pada lelaki itu, “Ah ya benar, aku melamun sedikit tadi. Tak apa, bukan berarti aku tak suka kok. Hanya saja aku baru sadar betapa indahnya ya kuda-kuda yang sedang melesat berpacu tadi. Membuatku melangut.” Jun tak malu-malu mengakui lamunannya. Lelaki di sampingnya segera mengambil lengannya, “Kapan-kapan, aku ajak lagi deh kalau ada lomba pacuan kuda lagi ya.” Jun tersenyum, angin berhembus dengan membawa sisa kepulan tanah merah dari lapangan pacuan. Para penonton pacuan membubarkan diri. Siapapun yang kalah taruhan berusaha tetap senang. Pacuan telah usai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun