Saat mereka berdua merayakan hari perkawinan, Jun tak menerima usapan lembut dari Darmo. “Kita sudah setahun bersama-sama, Jun.” Kalimat itu saja yang dilontarkan oleh Darmo. Lalu dia kembali tidur. Tentu saja Jun bukan seorang istri yang cengeng lalu ngambek karena tak ada sikap romantis dari suaminya. Tepat setelah Jun keguguran, ibunda Darmo datang bertandang. Jun harus istirahat total di tempat tidur akibat kelelahan. Ibunda Darmo datang bukan untuk Jun. Bagi ibunda Darmo, apalah artinya keguguran dibandingkan beratnya melahirkan. Sehingga, di malam hari saat rumah mereka begitu sunyi, lontaran kata-kata ibunda Darmo kepada Jun seperti belati yang ditusuk-tusukkan ke dadanya. “Kau akan segera hamil lagi kan Jun?”
Meski demikian, Jun memang bukan seorang istri yang gemar termehek-mehek atau ngambek pada suaminya. Luka di hati akibat kata-kata mertuanya itu ditelannya saja, bersatu dengan air liur, air putih yang masuk di kerongkongan atau terbalut oleh kunyahan kerecek kesukaannya. Bagi Jun, airmata hanya pantas dicucurkan saat dia kehilangan vitalitas hidup. Tetapi kehidupan terkadang memang menohok, suatu hari nanti luka itu tiba-tiba akan muncul lalu menjadi kendali di atas segalanya.
Terhadap kata-kata ibunya yang melukai Jun, Darmo bukannya tidak tahu. Tentu saja dia tahu karena kata-kata itu dilontarkan di depannya. Seperti biasanya, Darmo tidak pernah menurunkan dagunya. Matanya lurus memandang layar televisi di tengah mereka. Suara televisi dimatikan karena memang bukan untuk didengarkan. Televisi itu hadir di ruangan agar ada yang tampak bergerak saja meski sekadar gambar. Entah apa yang ada dalam pikiran Darmo saat mendengar kata-kata ibundanya. Saat Jun dan Darmo berada di tempat tidur, tubuhnya membelakangi Jun.
***
Seperti kita ketahui, Jun adalah perempuan jenis angin. Dia akan bergerak lebih ringan di manapun, termasuk dari masa lalunya. Setelah lima tahun berpisah dengan Darmo, baru kali ini Jun mendapati kenyataan yang di dalamnya berdiri sosok Darmo. Itu pun bukan Darmo yang semestinya. Darmo adalah lelaki yang membawakan tubuhnya dengan hati-hati dan cenderung diam. Kuda-kuda hitam, dengan rambut mereka yang berkibar-kibar, otot-ototnya yang kencang, di situlah sosok Darmo hadir.
Tetapi mengapa Jun sempat begitu girang saat kuda-kuda itu malah mengingatkannya pada Darmo yang jauh berkebalikan karakternya? Bagi seseorang yang pandai melemparkan masa lalunya jauh-jauh kedalam sanubarinya, pengalaman bertemu dengan masa lalu adalah sesuatu yang langka dan menggetarkan. Jun bukannya tidak punya perasaan. Jelas dia punya. Tetapi tubuhnya yang aktif untuk berpindah-pindah dari lingkungan maupun keadaan menyelamatkannya dari kesedihan berkepanjangan.
Jun tidak akan mudah terkuasai oleh masa lalu yang begitu kelam. Rasa terbuang, terhina dan tidak dicintai menggelung beberapa hari setelah kejadian. Lalu jika kau bayangkan sebuah kendaraan yang setiap hari melintasi jalan yang sama, seperti itulah Jun. Jalan yang mungkin menorehkan kenangan tetap terlintasi. Tetapi sekadar terlintasi untuk kemudian melaju lagi. Kendaraan itu akan berhenti saat memang harus berhenti. Untuk itulah tubuhnya sempat girang menatap kuda-kuda berlari karena ingatan tentang Darmo hadir. Sungguh peristiwa yang langka.
“Ayo, Jun...kita temui Mas Irwan. Dia sudah menunggu di bawah tuh. Menang taruhan dia, kita bakal ditraktirnya nih.” Jun tergagap saat menyadari lengannya telah digenggam oleh lelaki di sampingnya. “Hey, kau menyukai pacuan tadi kan? Ah kau melamun sejak dari tadi. Sesekali kita rayakan Valentine dengan menonton lomba pacuan kuda, Jun. Biar tak sama dengan muda-mudi zaman sekarang.” Lelaki di sampingnya berusaha untuk menyimpulkan keheranannya saat sepanjang acara pacuan saat Jun tenggelam dalam dunianya sendiri.
Tak disangkanya, lamunannya terendus semudah itu. Tergagap Jun menjelaskan pada lelaki itu, “Ah ya benar, aku melamun sedikit tadi. Tak apa, bukan berarti aku tak suka kok. Hanya saja aku baru sadar betapa indahnya ya kuda-kuda yang sedang melesat berpacu tadi. Membuatku melangut.” Jun tak malu-malu mengakui lamunannya. Lelaki di sampingnya segera mengambil lengannya, “Kapan-kapan, aku ajak lagi deh kalau ada lomba pacuan kuda lagi ya.” Jun tersenyum, angin berhembus dengan membawa sisa kepulan tanah merah dari lapangan pacuan. Para penonton pacuan membubarkan diri. Siapapun yang kalah taruhan berusaha tetap senang. Pacuan telah usai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H