Begitu keluar dari kamar, aku langsung diserbu oleh pertanyaan Bu Sri. “Mbak Riska, ini keresek sampahmu bukan? Nih coba diperiksa, ada bekas teh tubruk, bungkus kopi instans, tisu dan bekas bungkus kue. Coba mbak diperiksa, itu punyamu bukan? Kok ya ditaruh di atas sumur toh?” aku segera saja kikuk. Kucoba dengan keras untuk mengingat kantong keresek sampahku sendiri. Sebelum aku yakin dengan ingatanku sendiri, aku segera menjawab sembari menurut untuk menengok sejenak isi keresek yang Bu Sri sodorkan, “Oh bukan Bu, bukan punyaku.” Begitu masuk ke kamar mandi, mulutku tiba-tiba terasa kecut karena teringat semalam sempat menyeduh kopi instans dan kue persis seperti yang ada di dalam kantong yang disodorkan Bu Sri.
Begitu aku masuk ke dalam kamar kudengar umpatan Bu Sri, “Enggak ada yang mau ngaku siapa yang naruh kantong keresek di atas sumur! Kurang ajar, emangnya aku ini apa? Pembantu? Setan barangkali yang naruh kantong ini.” Aku terduduk merasa bersalah tetapi sebal dengan umpatan Bu Sri yang Wong Cilik itu. Hingga sore datang aku tak keluar kamar lagi. Tubuhku meringkuk seperti tubuh yang terpenjara. Kepalaku terasa berat. Di luar kamar, ada saja yang diatur oleh Bu Sri. Anak kos yang menaruh motor di garasi sembarangan segera dipanggil untuk membenahi.
Matahari senja tanpa hujan selalu saja cantik ditonton. Bu Sri dan kawan-kawannya sesama penjaga kos seringkali duduk-duduk di depan rumah menikmati senja. Terdengar dari kamarku tawa mereka yang lepas. Sementara mataku mulai terasa sakit karena menangis akibat bosan sendirian.
***
Bu Sri memang Wong Cilik. Tetapi ketika bos-nya datang menengok rumah dan menarik uang sewa, suaranya tetap lebih banyak mengisi udara. “Itu lo Cik, pompanya rusak lagi, aku jadi enggak bisa pulang ke Magelang. Padahal ada tetangga yang mau hajatan. Aku pulang Minggu depan ya Cik. Tilpun juga rusak Ci, aku enggak akan nunggu tilpun diperbaiki. Lah wong kemarin aku juga nungguin tukang buat betulin antena tipi jeh. Oalah lama Cik kepulanganku ini tertunda.” Bos-nya, Tante Cik tak banyak bersuara. Tubuh perempuan Tionghoa yang ringkih itu berjalan perlahan-lahan menengok isi lemari es. Matanya tampak lelah karena setua itu masih mengurusi bisnisnya. Hanya sesekali saja terdengar, “Iya Mbak Sri, iya.”
Saat Bu Sri bagus perasaannya, aku bisa mengobrol dengannya. Sambil makan siang di depan televisi, dia akan bercerita banyak tentang dirinya sendiri, dan tentang anak-anak kos yang dinilainya bandel. Dia sempat bercerita anak kos yang membuat masalah di kos bisa dia usir dari kos. Misalnya anak kos yang kepergok mengadukan dirinya kepada ibunya. Aku sempat bergidik menyadari kekuasaannya. Meskipun aku sedang tak ingin mendengarkan kisahnya, aku tak bisa menolak.
Berita hangat tentang penyanyi dangdut yang baru saja bercerai dari suaminya, tak dapat kunikmati lagi. “Oh gitu Bu... oh gitu ya Bu...Kok bisa ya Bu?...” Sebisa mungkin aku mengeluarkan komentar agar perasaannya tetap nyaman. “Aku ini kan punya hipertensi mbak, kalau ada keberatan ya harus aku omongkan. Kalau enda, bisa naik tensi darahku toh? Lah ngurusi anak 15 orang itu enda gampang. Kalau banyak uneg-uneg kupendem, bisa-bisa jadi nanah di hatiku kan mbak? Nanti tambah besar perutku ini karena ditambah hati yang bengkak karena mendem. Ya toh Mbak?” tanyanya. “Iya Bu.” Sahutku.
Di malam hari, saat Bu Sri sudah berangkat tidur aku baru bisa lega untuk berpikir. Kubuka program power point untuk presentasi esok hari. Sejenak kuperiksa kembali makalah untuk dibagikan kepada para peserta seminar berjudul, “Suara Feminis Virginia Woolf dalam Karya Sastra.” Membayangkan Virginia yang bisa menelurkan banyak karya penting membuatku bersemangat. Tetapi tiba-tiba terbayang raut wajahnya yang suram, pipinya yang tirus, tatapan matanya yang kosong, dan ketakutannya kepada para pembantunya. Lalu kematiannya yang tragis dengan cara menghanyutkan diri di sungai belakang rumahnya.
Wajah Bu Sri, Ibuku, dan Virginia bersatu dalam imajinasiku. Siapakah di antara mereka yang paling memiliki kebebasan? Lalu aku terpesona dengan salah satu cerita Bu Sri tentang bagaimana dia bertahan hidup dengan suami yang pekerja biasa dengan penghasilan kecil padahal ada lima anak yang harus diberi makan. Bu Sri bercerita tentang suka dukanya mengurus lima anak dan menjahit untuk menambah uang dapur. “Aku mbak, dulu kalau masak ya suka dibantuin sama suamiku. Kerja jahit kan lumayan capek mbak. Jadi, suamiku sering bantu di dapur juga. Suatu hari kapan itu, pernah kepergok sama tetangga pas suamiku sedang ngupas bawang. Dia isin tapi ya cuma sebentar saja.”
Hubungan Bu Sri dengan suaminya yang sudah meninggal itu begitu mesra, sampai-sampai suaminya mau membantunya di dapur. Terbayang Bu Sri selalu berusaha melegakan hatinya, menekan tekanan darahnya agar tidak melonjak dengan cara selalu ngomong segala isi hatinya kepada suaminya. Aku sempat bertanya, “Bu Sri sama suami galak nda?” Dia menjawab, “Ya enda mbak. Tapi sebisanya aku ngajak ngobrol suamiku. Suamiku itu baik mbak orangnya. Tapi yo, Gusti Allah itu suka manggil orang yang baik cepet ke sisi-Nya ya mbak?”
Setelah berbincang dengan Bu Sri, aku tergerak untuk membuka catatan harian yang baru terisi seperempatnya. Di sana kusapa laki-laki tercinta secara panjang lebar seakan-akan aku benar-benar tengah berbicara dengannya. Kubaca tentang keberatan-keberatanku kepadanya: Sayang, matamu tadi saat tengah bersamaku lari-lari pada perempuan cantik yang hanya numpang lewat depan kita. Saat kita tengah makan malam pun kau bisa-bisanya sibuk dengan ponselmu.