Mohon tunggu...
rina hutajulu
rina hutajulu Mohon Tunggu... lainnya -

an independent researcher for the Dekker Center focusing on political studies of civil society movements and environmental issue in Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Dukungan Politik yang Ambigu untuk Greenpeace di Indonesia

17 Januari 2014   13:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:45 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejumlah politikus Filipina sepakat dengan seruan Greenpeace untuk sama-sama menentang pengembangan bioteknologi di pertanian. Petisi mereka rancang dan berakhir pada kisah pengadilan Filipina mengabulkan tuntutan mereka agar peneliti lokal menghentikan uji coba bioteknologi. Pada kasus ini Greenpeace berhasil memperoleh dukungan politik. Bukan tidak mungkin hal serupa bisa terjadi di Indonesia.

Bila kita ingat pada zaman Orde Baru, LSM pada masa itu identik dengan kelompok antipemerintah atau oposan bahkan dituduh sebagai agen asing. Baru semenjak reformasi, di mana ada kebebasan politik, LSM dianggap sebagai salah satu bagian kelembagaan politik yang diakui.Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat LSM telah tumbuh dari hanya berjumlah sekitar 10.000 di tahun 1996 menjadi sekitar 70.000 di tahun 2000. Penambahan jumlah LSM dipicu oleh ekspansi demokratik secara global yang menuntut kebebasan politik, representasi, partisipasi, dan akuntabilitas.

Hal ini mendorong munculnya teori masyarakat dan gerakan sosial di mana kekuatan-kekuatan sosial, bukan lagi kelas-kelas sosial, mengisi hubungan negara dan masyarakat. Tidak mengherankan LSM mendapat julukan “Sektor Ketiga”, setelah Pemerintah dan swasta atau industri, yang misinya mengedepankan kepedulian sosial, lingkungan, dan isu-isu khusus lainnya yang dipandang menyangkut kehidupan khalayak.

Momen reformasi di Indonesia yang berlangsung pada tahun 1997-1998 pun menjadi momen tepat bagi LSM-LSM asing menjajaki negara ini. Salah satunya adalah Greenpeace yang hadir sejak tahun 2000. Indonesia memang adalah salah satu negara yang menjadi fokus LSM asal Eropa ini, selain Filipina.

Keberadaan Greenpeace di Indonesia saat ini bisa dibilang di atas angin. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono(SBY) dalam pidato peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia di Istana Negara secara khusus menyebut dan mengundan Greenpeace untuk menjalin kerja sama dengan Indonesia. Sebagai bentuk membuka diri, SBY menyempatkan waktunya untuk mengunjungi kapal Rainbow Warrior yang berlabuh di Pelabuhan Tanjung Priok pada pertengahan tahun 2013. Belum lama ini, pada akhir November 2013, SBY kembali menekankan pentingnya bermitra dengan LSM-LSM lingkungan di hadapan para pengusaha sawit pada acara Konferensi Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) IX.

Bila kita lihat, atau baca di media-media, Greenpeace, alih-alih membela lingkungan justru meluncurkan kampanye negatif. Di Filipina, isu yang mereka gunakan adalah pengembangan bioteknologi di sektor pertanian yang mereka sebut berbahaya bagi kesehatan manusia dan lingkungan. Sementara di Indonesia, Greenpeace menyebut industri sawit sebagai penyumbang deforestasi, kebakaran hutan, dan konflik lahan antar masyarakat lokal/adat dan perusahaan.

Namun gerakan Greenpeace di Indonesia hingga mampu memengaruhi politikus untuk membuat gerakan sosial semacam petisi seperti di Filipina belum terjadi. Greenpeace tampaknya masih harus berusaha keras untuk menghadapi sikap politikus Indonesia yang secara umum menolak kehadiran Greenpeace. Disahkannya UU No 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas) merupakan salah satu cara untuk menekan gerakan ormas, termasuk di dalamnya LSM asing.

Menteri Hukum dan HAM, Amir Syamsuddin, mengakui, kampanye Greenpeace di Indonesia kerap mengganggu dunia usaha dan mencium kesan adanya kepentingan asing yang disuarakan Greenpeace. Usulan untuk membekukan dan mencabut izin Greenpeace Indonesia pun tengah dikaji.

Tidak semua politikus tidak mendukung Greenpeace. Dalam konteks ini, SBY yang tergabung dalam Partai Demokrat sebagai Ketua Umum terang-terangan membuka diri pada Greenpeace. Apakah ini mewakili sikap partai yang dia wakili? Kemungkinan besar iya, sebab tidak mungkin anggota partai berlawanan sikap dengan ketuanya. Jadi pernyataan Syamsuddin, Ketua Dewan Kehormatan Partai Demokrat, sebelumnya jelas bersebrangan dengan atasannya sendiri, SBY.

Kita dapat memaklumi hal itu karena kapasitas Syamsuddin saat berpendapat Greenpeace mengganggu adalah sebagai wakil pemerintah. Tapi, di sinilah terlihat jelas bahwa saat ini dukungan politik untuk Greenpeace di Indonesia masih ambigu. Dengan kata lain, organisasi ini secara politis sebenarnya masih belum mendapat ‘kepercayaan’ dari politikus Indonesia.

Apa yang membuat politikus Indonesia belum bisa terperdaya oleh Greenpeace? Apakah karena tidak ada ‘politik transaksi’ yang bisa Greenpeace tawarkan? Atau memang politikus Indonesia memiliki kesadaran penuh bahwa lebih penting mendukung kemajuan industri nasional? Membutuhkan telaah lebih lanjut untuk mengetahui jawaban akhirnya. Namun, satu hal yang pasti, gerakan Greenpeace di Indonesia saat ini baru sebatas cukup berhasil menarik perhatian publik.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun